Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » Kaidah Dhomir

Kaidah Dhomir


KAIDAH DHAMIR[1]

A.    Pendahuluan
Melihat betapa penting dan sentralnya posisi sebuah penafsiran atas kitab suci Alqur’an, maka penafsiran terhadapnya perlu dilakukan secara hati-hati dan penuh kesungguhan, yaitu dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah atau pedoman-pedoman serta prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi sebuah penafsiran. Di dalam hal ini salah satu kaidah itu adalah kaidah dhamir. Kajian mengenai dhamir sangat penting dipelajari dan dikuasai oleh seorang mufasir, karena pemahaman suatu ayat atau kalimat sering tergantung kepada penggunaan terhadap komponen tersebut.

B.     Pembahasan
Secara bahasa dhamir berasal dari kata dasar al-dhumur yang berarti kurus kering, sebab dilihat dari segi bentuknya memang terlihat ringkas dan kecil. Kata dhamir juga bisa diambil dari kata al-idhmar, yang berarti tersembunyi, sebab banyak yang tidak tampak bentuk nyatanya. Sedangkan menurut istilah dhamir adalah lafal yang digunakan sebagai pengganti, baik kata ganti untuk orang pertama (dhamir mutakallim), orang kedua (dhamir mukhattab), maupun orang ketiga (dhamir ghaib).[2]
Umumnya sebuah Bahasa di dunia memakai kata ganti (dhamir). Dalam hal ini tidak terkecuali bahasa Arab yang telah menjadi basa Alqur’an. Oleh karena itu, Alqur’an dalam menyampaikan informasi juga sering menggunakan kata ganti (dhamir) sebagaimana diterapkan dalam bahasa Arab tersebut. Kata ganti dalam bahasa mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya untuk meringkaskan suatu pembicaraan tanpa mengurangi makna yang dikandungnya dan sekaligus menghemat serta menghindari kebosanan sebab sebuah dhamir dapat berfungsi menggantikan kedudukan sejumlah kata tanpa merusak makna yang dikandungnya sedikit pun.[3] Dhamir ”هم” (mereka) dalam firman Allah   اعدالله لهم مغفرة واجرا عظيماdi ujung ayat 35 dari al-Ahzab, misalnya, menempati tempat dua puluh kata yang disebutkan sebelumnya, yaitu:
¨bÎ) šúüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#ur šúüÏZÏB÷sßJø9$#ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur tûüÏGÏZ»s)ø9$#ur ÏM»tFÏZ»s)ø9$#ur tûüÏ%Ï»¢Á9$#ur ÏM»s%Ï»¢Á9$#ur tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur ÏNºuŽÉ9»¢Á9$#ur tûüÏèϱ»yø9$#ur ÏM»yèϱ»yø9$#ur tûüÏ%Ïd|ÁtFßJø9$#ur ÏM»s%Ïd|ÁtFßJø9$#ur tûüÏJÍ´¯»¢Á9$#ur ÏM»yJÍ´¯»¢Á9$#ur šúüÏàÏÿ»ptø:$#ur öNßgy_rãèù ÏM»sàÏÿ»ysø9$#ur šúï̍Å2º©%!$#ur ©!$# #ZŽÏVx. ÏNºtÅ2º©%!$#ur £tãr& ª!$# Mçlm; ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $VJÏàtã ÇÌÎÈ    
”Sesungguhnya orang-orang muslim laki-laki dan perempuan, orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, orang-orang taat laki-laki dan perempuan, orang-prang jujur laki-laki dan perempuan, orang-orang sabar laki-laki dan perempuan, prang-orang bersedekah laki-laki dan perempuan, orang-orang berpuasa laki-laki dan perempuan, dan orang yang sering sekali menyebut (mengingat) Allah laki-laki dan perempuan, Allah telah menyediakan bagi mereka kemampuan dan upah yang besar”.

Tampak dengan gamblang kepada kita bahwa dhamir هم tersebut menggantikan kata المسلمين terus sampai الذكرة sebanyak 20 buah. Jika tidak menggunakan dhamir, maka semua kata dua puluh itu harus diulang. Hal itu mungkin akan menimbulkan kebosanan dan keborosan. Jelaslah bahwa dhamir dalam berkomunikasi mempunyai peran yang amat penting.
Namun yang menjadi permasalahan di sini adalah madlul (yang ditunjuk oleh) dhamir tersebut atau sering juga disebut marji’ (tempat kembali) dhamir. Dalam hal ini ada beberapa macam,[4] antara lain:
1.      Disebut secara eksplisit sebelumnya
Kaidah umum yang ditetapkan oleh para ulama ahli bahasa adalah tempat kembalinya dhamir ghaib harus mendahuluinya, hal ini dimaksudkan agar apa yang dimaksud dapat diketahui lebih dahulu. Demikian juga, harus sesuai dengan apa yang disebutkan baik dalam hal mudzakar, muannats, mufrad, tatsniyah, maupun jamak-nya. Dhamir ghaib tidak boleh kembali kepada lafal yang terkemudian, baik dalam pengucapan dan kedudukannya, kecuali ada qarinah-qarinah yang menyatakan lain, misalnya:(QS Hud [11]: 42).

3yŠ$tRur îyqçR ¼çmoYö/$# ….

Dhamir ه pada ابنه kembali kepada نوح . dengan demikian ayat itu dapat diartikan “Dan Nuh telah memanggil-manggil putranya”.
2.      Tidak disebut secara eksplisit melainkan dibayangkan saja, misalnya dalam QS al-Maidah [5]: 8
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (...
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.

Dhamir هو di ujung ayat itu menunjuk kepada lafal yang disebutkan sebelumnya, yaitu lafal العدل (kedilan) yang terkandung dalam lafal اعدلوا .
3.      Disebutkan sesudah dhamir
Meskipun kaidah yang umum mengatakan bahwa marji’ dhamir ghaib  harus kembali kepada lafal yang telah disebutkan sebelumnya, namun dalam Alqur’an juga ditemukan bahwa marji’ dhamir kadang-kadang terletak sesudah dhamir itu sendiri. Hal ini terjadi hanya dalam pengucapannya, bukan dalam kedudukannya, [5]seperti dalam ayat 67 dari Thaha
}§y_÷rr'sù Îû ¾ÏmÅ¡øÿtR ZpxÿÅz 4ÓyqB ÇÏÐÈ  

Dhamir ه pada نفسه menunjuk kepada موسى yang terletak sesudahnya. Dengan begitu ayat itu dapat diterjemahkan “Maka Musa merasa takut di dalam hatinya”. Pola kalimat serupa ini biasa dijumpai dalam kalimat bahasa Arab, karena meskipun dalam urutan letak kata , lafal Musa ditempatkan setelah dhamir, namun pada hakikatnya ia bertempat sebelum dhamir karena jabatannya ialah subyek (fa’il) dari kata kerja aujasa. Dalam kondisi serupa ini dhamir boleh kembali kepada kata yang terletak sesudahnya. Contoh lain, misalnya, dhamir هو dalam firman Allah قل هوالله احد juga kembali kepada kata yang terletak sesudahnya, yakni lafal mulia الله .
Kendati demikian, adapula lafal yang datang sesudah dhamir menunjukkan marji’ dhamir itu. Seperti firman Allah dalam QS al-Waqi’ah [56]: 83
Iwöqn=sù #sŒÎ) ÏMtón=t/ tPqà)ù=çtø:$# ÇÑÌÈ  
Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan”.

Dhamir rafa’ yang tersimpan di sini ditunjukkan oleh lafal الحلقوم , yang dinyatakan secara lengkap, maka akan berbunyi: فلولااذبلغت الروح الحلقوم  .

Marji’ adakalanya dapat dipahami dari konteksnya. Seperti dalam QS al-Rahman [55]: 26-27
@ä. ô`tB $pköŽn=tæ 5b$sù ÇËÏÈ   4s+ö7tƒur çmô_ur y7În/u rèŒ È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ  
”Semua yang ada di bumi itu akan binasa (26) dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)”.

Dhamir ha yang terdapat pada lafal  عليهاdalam ayat di atas kembali kepada lafal  الأرض (bumi) . Dengan demikian semua yang ada di bumi akan binasa.
Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam bukunya Metodologi Penafsiran Alqur’an juga memberikan contoh dalam kaitannya pembahasan kaidah ini, diantaranya:
¢OèO $oY÷Wyèt/ .`ÏB NÏdÏ÷èt/ 4ÓyqB šcr㍻ydur 4n<Î) tböqtãöÏù ¾Ïm'ƒZ~tBur $uZÏG»tƒ$t«Î/ (#rçŽy9õ3tGó$$sù (#qçR%x.ur $YBöqs% tûüÏB͍÷gC ÇÐÎÈ  
”Kemudian sesudah Rasul-rasul itu, Kami utus Musa dan Harun kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, Maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa”. (QSYunus [10]: 75)
§NèO $oY÷Wyèt/ .`ÏB NÏdÏ÷èt/ 4ÓyqB !$oYÏF»tƒ$t«Î/ 4n<Î) tböqtãöÏù ¾Ïm'ƒZ~tBur (#qßJn=sàsù $pkÍ5 ( öÝàR$$sù y#øx. šc%x. èpt7É)»tã tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÊÉÌÈ  
”Kemudian Kami utus Musa sesudah Rasul-rasul itu dengan membawa ayat-ayat Kami kepada Fir'aun  dan pemuka-pemuka kaumnya, lalu mereka mengingkari ayat-ayat itu. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang membuat kerusakan”. (QS al-A’raf [7]: 103)
!$yJsù z`tB#uä #ÓyqßJÏ9 žwÎ) ×p­ƒÍhèŒ `ÏiB ¾ÏmÏBöqs% 4n?tã 7$öqyz `ÏiB šcöqtãöÏù óOÎg'ƒZ~tBur br& óOßgoYÏGøÿtƒ 4 ¨bÎ)ur šcöqtãöÏù 5A$yès9 Îû ÇÚöF{$# ¼çm¯RÎ)ur z`ÏJs9 tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÑÌÈ  
”Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam Keadaan takut bahwa Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir'aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. dan Sesungguhnya Dia Termasuk orang-orang yang melampaui batas”. (QS Yunus [10]: 83)

Ketiga ayat yang dikutip di atas berkenaan dengan kisah Nabi Musa bersama kaumnya dan Fir’aun. Walaupun keseluruhan ayat tersebut mengacu kepada kisah itu, namun redaksinya tidak sama. Hal ini disebabkan karena pada kedua ayat yang pertama digunakan kata ganti (dhamir) tunggal “ ه” pada ملئه sementara pada ayat terakhir (Yunus:83), kata yang sama menggunakan kata ganti jamak هم.
Jika diperhatikan dengan cermat, terjadinya perbedaan tersebut, bukan karena secara kebetulan, melainkan ada maksud tertentu yang tak ada di dalam redaksi lain. Dengan perkataan lain, walaupun sepintas redaksi ayat-ayat itu tampak mirip, namun di dalam kemiripan itu tersirat makna yang berbeda. Karena itulah, pengungkapannya mengalami pula sedikit perbedaan, kalau tidak, tentu tidak akan dipahami dengan baik pesan yang dibawanya, dan tidak mustahil pula pemahamannya menjadi keliru.
Pesan yang dibawa oleh redaksi kedua ayat yang pertama ialah menjelaskan bahwa Nabi Musa dan Nabi Harun diutus Allah untuk menyeru Fir’aun dan dan pemuka-pemuka kaumnya agar mereka beriman kepada Allah. Dengan demikian sangat tepat pemakaian kata tunggal di dalam redaksi ayat-ayat tersebut karena yang ditujunya ialah Fir’aun sendiri. Seandainya redaksi itu menggunakan kata ganti jamak maka dapat membuat pengertiannya menjadi keliru serta pemahamannya tidak jelas karena sebelum kata ganti tersebut ada tiga nama yang disebutkan secara tegas yaitu Musa, Harun, dan Fir’aun. Akan tetapi dengan dipakainya kata ganti tunggal maka jelas yang dimaksud adalah Fir’aun sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa Arab yang telah disebutkan pada pembahasan di atas tadi.
Adapun ayat 83 dari surat Yunus tadi menjelaskan bahwa yang beriman kepada Nabi Musa hanyalah anak-anak keturunan bangsanya sendiri dalam keadaan takut kepada Fir’aun dan pemuka kaum kaum mereka. Jadi ayat itu menginformasikan keadaan kaum Nabi Musa, bukan berbicara tentang Fir’aun. Oleh karena itu dhamir jamaklah yang tepat digunakan di sini supaya serasi dengan kata “kaum” yang berarti orang banyak, yang terletak sebelumnya. Namun juga tidak salah dhamir jamak seperti هم itu dikembalikan kepada kata tunggal (Fir’aun) karena sebagai diakui oleh Ibn Qutaybat cara seperti itu sering digunakan oleh para raja seperti dikatakan “kami telah berbuat” padahal yang berkata sendirian.[6]Wa Allah A’lam.

C.    Kesimpulan
Setelah dipaparkan isi makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwasannya kaidah-kaidah kebahasaan yang salah satunya adalah dhamir sangatlah besar pengaruhnya dalam rangka mengambil makna dari sebuah penafsiran Alqur’an. Apa yang berlaku dalam kaidah bahasa Arab, secara umum juga berlaku dalam Alqur’an, karena Alqur’an sebagaimana diketahui memang diturunkan dalam bahasa Arab. Jika tanpa mengetahui bahasa Arab secara baik, seseorang akan sulit dalam memahami Alqur’an.



[1]Makalah ini dipresentasikan oleh Muhammad  Zaini pada tanggal 10 Mei 2011 pada mata kuliah Tafsir
[2] Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 31
[3] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 290-291
[4] Ibid., h. 292. Lihat juga Al Fatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir,(Yogyakarta: Teras, 2010), h. 62

[5] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit., h. 41
[6] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 110-112
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved