KAIDAH DHAMIR[1]
A. Pendahuluan
Melihat
betapa penting dan sentralnya posisi sebuah penafsiran atas kitab suci
Alqur’an, maka penafsiran terhadapnya perlu dilakukan secara hati-hati dan
penuh kesungguhan, yaitu dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah atau pedoman-pedoman
serta prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi sebuah penafsiran. Di dalam
hal ini salah satu kaidah itu adalah kaidah dhamir. Kajian mengenai dhamir
sangat penting dipelajari dan dikuasai oleh seorang mufasir, karena pemahaman
suatu ayat atau kalimat sering tergantung kepada penggunaan terhadap komponen
tersebut.
B. Pembahasan
Secara
bahasa dhamir berasal dari kata dasar al-dhumur yang berarti
kurus kering, sebab dilihat dari segi bentuknya memang terlihat ringkas dan
kecil. Kata dhamir juga bisa diambil dari kata al-idhmar, yang
berarti tersembunyi, sebab banyak yang tidak tampak bentuk nyatanya. Sedangkan
menurut istilah dhamir adalah lafal yang digunakan sebagai pengganti,
baik kata ganti untuk orang pertama (dhamir mutakallim), orang kedua
(dhamir mukhattab), maupun orang ketiga (dhamir ghaib).[2]
Umumnya
sebuah Bahasa di dunia memakai kata ganti (dhamir). Dalam hal ini tidak
terkecuali bahasa Arab yang telah menjadi basa Alqur’an. Oleh karena itu,
Alqur’an dalam menyampaikan informasi juga sering menggunakan kata ganti (dhamir)
sebagaimana diterapkan dalam bahasa Arab tersebut. Kata ganti dalam bahasa
mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya untuk meringkaskan suatu
pembicaraan tanpa mengurangi makna yang dikandungnya dan sekaligus menghemat
serta menghindari kebosanan sebab sebuah dhamir dapat berfungsi
menggantikan kedudukan sejumlah kata tanpa merusak makna yang dikandungnya
sedikit pun.[3] Dhamir
”هم” (mereka) dalam firman Allah اعدالله لهم
مغفرة واجرا عظيماdi ujung
ayat 35 dari al-Ahzab, misalnya, menempati tempat dua puluh kata yang
disebutkan sebelumnya, yaitu:
¨bÎ) úüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#ur úüÏZÏB÷sßJø9$#ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur tûüÏGÏZ»s)ø9$#ur ÏM»tFÏZ»s)ø9$#ur tûüÏ%Ï»¢Á9$#ur ÏM»s%Ï»¢Á9$#ur tûïÎÉ9»¢Á9$#ur ÏNºuÉ9»¢Á9$#ur tûüÏèϱ»yø9$#ur ÏM»yèϱ»yø9$#ur tûüÏ%Ïd|ÁtFßJø9$#ur ÏM»s%Ïd|ÁtFßJø9$#ur tûüÏJÍ´¯»¢Á9$#ur ÏM»yJÍ´¯»¢Á9$#ur úüÏàÏÿ»ptø:$#ur öNßgy_rãèù ÏM»sàÏÿ»ysø9$#ur úïÌÅ2º©%!$#ur ©!$# #ZÏVx. ÏNºtÅ2º©%!$#ur £tãr& ª!$# Mçlm; ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $VJÏàtã ÇÌÎÈ
”Sesungguhnya orang-orang muslim
laki-laki dan perempuan, orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,
orang-orang taat laki-laki dan perempuan, orang-prang jujur laki-laki dan
perempuan, orang-orang sabar laki-laki dan perempuan, prang-orang bersedekah
laki-laki dan perempuan, orang-orang berpuasa laki-laki dan perempuan, dan
orang yang sering sekali menyebut (mengingat) Allah laki-laki dan perempuan,
Allah telah menyediakan bagi mereka kemampuan dan upah yang besar”.
Tampak dengan gamblang
kepada kita bahwa dhamir هم tersebut menggantikan kata المسلمين terus sampai الذكرة sebanyak 20 buah. Jika tidak
menggunakan dhamir, maka semua kata dua puluh itu harus diulang. Hal itu
mungkin akan menimbulkan kebosanan dan keborosan. Jelaslah bahwa dhamir
dalam berkomunikasi mempunyai peran yang amat penting.
Namun yang menjadi
permasalahan di sini adalah madlul (yang ditunjuk oleh) dhamir
tersebut atau sering juga disebut marji’ (tempat kembali) dhamir.
Dalam hal ini ada beberapa macam,[4]
antara lain:
1. Disebut secara
eksplisit sebelumnya
Kaidah umum yang ditetapkan oleh para ulama ahli
bahasa adalah tempat kembalinya dhamir ghaib harus mendahuluinya, hal
ini dimaksudkan agar apa yang dimaksud dapat diketahui lebih dahulu. Demikian
juga, harus sesuai dengan apa yang disebutkan baik dalam hal mudzakar,
muannats, mufrad, tatsniyah, maupun jamak-nya. Dhamir ghaib
tidak boleh kembali kepada lafal yang terkemudian, baik dalam pengucapan dan
kedudukannya, kecuali ada qarinah-qarinah yang menyatakan lain, misalnya: ” (QS
Hud [11]: 42).
3y$tRur… îyqçR ¼çmoYö/$# ….
Dhamir ه pada ابنه kembali kepada نوح . dengan demikian
ayat itu dapat diartikan “Dan Nuh telah memanggil-manggil putranya”.
2. Tidak disebut secara
eksplisit melainkan dibayangkan saja, misalnya dalam QS al-Maidah [5]: 8
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (
wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4
(#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 (
(...
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa”.
Dhamir هو di ujung ayat itu menunjuk kepada lafal yang disebutkan
sebelumnya, yaitu lafal العدل (kedilan) yang terkandung dalam
lafal اعدلوا .
3. Disebutkan sesudah dhamir
Meskipun kaidah yang umum mengatakan bahwa marji’ dhamir
ghaib harus kembali kepada lafal yang
telah disebutkan sebelumnya, namun dalam Alqur’an juga ditemukan bahwa marji’
dhamir kadang-kadang terletak sesudah dhamir itu sendiri. Hal ini
terjadi hanya dalam pengucapannya, bukan dalam kedudukannya, [5]seperti
dalam ayat 67 dari Thaha
}§y_÷rr'sù Îû ¾ÏmÅ¡øÿtR ZpxÿÅz 4ÓyqB ÇÏÐÈ
Dhamir ه pada نفسه menunjuk kepada موسى
yang terletak sesudahnya. Dengan begitu ayat itu dapat diterjemahkan “Maka
Musa merasa takut di dalam hatinya”. Pola kalimat serupa ini biasa dijumpai
dalam kalimat bahasa Arab, karena meskipun dalam urutan letak kata , lafal Musa
ditempatkan setelah dhamir, namun pada hakikatnya ia bertempat sebelum dhamir
karena jabatannya ialah subyek (fa’il) dari kata kerja aujasa. Dalam
kondisi serupa ini dhamir boleh kembali kepada kata yang terletak
sesudahnya. Contoh lain, misalnya, dhamir هو dalam firman
Allah قل هوالله احد juga kembali kepada
kata yang terletak sesudahnya, yakni lafal mulia الله .
Kendati demikian, adapula
lafal yang datang sesudah dhamir menunjukkan marji’ dhamir itu.
Seperti firman Allah dalam QS al-Waqi’ah [56]: 83
Iwöqn=sù #sÎ) ÏMtón=t/ tPqà)ù=çtø:$# ÇÑÌÈ
“Maka mengapa
ketika nyawa sampai di kerongkongan”.
Dhamir rafa’
yang tersimpan di sini ditunjukkan oleh lafal الحلقوم
, yang dinyatakan secara lengkap, maka akan berbunyi: فلولااذبلغت الروح الحلقوم .
Marji’ adakalanya dapat dipahami
dari konteksnya. Seperti dalam QS al-Rahman [55]: 26-27
@ä. ô`tB $pkön=tæ 5b$sù ÇËÏÈ 4s+ö7tur çmô_ur y7În/u rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
”Semua
yang ada di bumi itu akan binasa (26) dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan (27)”.
Dhamir ha
yang terdapat pada lafal عليهاdalam ayat di atas kembali kepada lafal الأرض (bumi) .
Dengan demikian semua yang ada di bumi akan binasa.
Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam bukunya Metodologi Penafsiran Alqur’an
juga memberikan contoh dalam kaitannya pembahasan kaidah ini, diantaranya:
¢OèO
$oY÷Wyèt/ .`ÏB
NÏdÏ÷èt/ 4ÓyqB crã»ydur
4n<Î)
tböqtãöÏù
¾Ïm'Z~tBur $uZÏG»t$t«Î/ (#rçy9õ3tGó$$sù (#qçR%x.ur
$YBöqs% tûüÏBÍ÷gC ÇÐÎÈ
”Kemudian sesudah Rasul-rasul
itu, Kami utus Musa dan Harun kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan
(membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, Maka mereka menyombongkan diri
dan mereka adalah orang-orang yang berdosa”. (QSYunus [10]: 75)
§NèO
$oY÷Wyèt/ .`ÏB
NÏdÏ÷èt/ 4ÓyqB !$oYÏF»t$t«Î/
4n<Î)
tböqtãöÏù
¾Ïm'Z~tBur (#qßJn=sàsù $pkÍ5 ( öÝàR$$sù
y#øx.
c%x. èpt7É)»tã tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÊÉÌÈ
”Kemudian
Kami utus Musa sesudah Rasul-rasul itu dengan membawa ayat-ayat Kami kepada
Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya, lalu
mereka mengingkari ayat-ayat itu. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang membuat kerusakan”. (QS
al-A’raf [7]: 103)
!$yJsù
z`tB#uä #ÓyqßJÏ9 wÎ)
×pÍhè `ÏiB
¾ÏmÏBöqs% 4n?tã
7$öqyz
`ÏiB
cöqtãöÏù
óOÎg'Z~tBur
br& óOßgoYÏGøÿt
4 ¨bÎ)ur
cöqtãöÏù
5A$yès9 Îû ÇÚöF{$#
¼çm¯RÎ)ur z`ÏJs9
tûüÏùÎô£ßJø9$# ÇÑÌÈ
”Maka tidak ada yang beriman kepada
Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam Keadaan takut bahwa
Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya
Fir'aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. dan Sesungguhnya Dia Termasuk
orang-orang yang melampaui batas”. (QS Yunus [10]: 83)
Ketiga
ayat yang dikutip di atas berkenaan dengan kisah Nabi Musa bersama kaumnya dan
Fir’aun. Walaupun keseluruhan ayat tersebut mengacu kepada kisah itu, namun
redaksinya tidak sama. Hal ini disebabkan karena pada kedua ayat yang pertama
digunakan kata ganti (dhamir) tunggal “ ه” pada ملئه sementara pada ayat
terakhir (Yunus:83), kata yang sama menggunakan kata ganti jamak هم.
Jika
diperhatikan dengan cermat, terjadinya perbedaan tersebut, bukan karena secara
kebetulan, melainkan ada maksud tertentu yang tak ada di dalam redaksi lain.
Dengan perkataan lain, walaupun sepintas redaksi ayat-ayat itu tampak mirip,
namun di dalam kemiripan itu tersirat makna yang berbeda. Karena itulah,
pengungkapannya mengalami pula sedikit perbedaan, kalau tidak, tentu tidak akan
dipahami dengan baik pesan yang dibawanya, dan tidak mustahil pula pemahamannya
menjadi keliru.
Pesan
yang dibawa oleh redaksi kedua ayat yang pertama ialah menjelaskan bahwa Nabi
Musa dan Nabi Harun diutus Allah untuk menyeru Fir’aun dan dan pemuka-pemuka
kaumnya agar mereka beriman kepada Allah. Dengan demikian sangat tepat
pemakaian kata tunggal di dalam redaksi ayat-ayat tersebut karena yang
ditujunya ialah Fir’aun sendiri. Seandainya redaksi itu menggunakan kata ganti
jamak maka dapat membuat pengertiannya menjadi keliru serta pemahamannya tidak
jelas karena sebelum kata ganti tersebut ada tiga nama yang disebutkan secara
tegas yaitu Musa, Harun, dan Fir’aun. Akan tetapi dengan dipakainya kata ganti
tunggal maka jelas yang dimaksud adalah Fir’aun sesuai dengan kaidah yang
berlaku dalam bahasa Arab yang telah disebutkan pada pembahasan di atas tadi.
Adapun
ayat 83 dari surat Yunus tadi menjelaskan bahwa yang beriman kepada Nabi Musa
hanyalah anak-anak keturunan bangsanya sendiri dalam keadaan takut kepada
Fir’aun dan pemuka kaum kaum mereka. Jadi ayat itu menginformasikan keadaan
kaum Nabi Musa, bukan berbicara tentang Fir’aun. Oleh karena itu dhamir
jamaklah yang tepat digunakan di sini supaya serasi dengan kata “kaum” yang
berarti orang banyak, yang terletak sebelumnya. Namun juga tidak salah dhamir
jamak seperti هم itu dikembalikan kepada kata tunggal (Fir’aun) karena sebagai
diakui oleh Ibn Qutaybat cara seperti itu sering digunakan oleh para raja
seperti dikatakan “kami telah berbuat” padahal yang berkata sendirian.[6]Wa
Allah A’lam.
C. Kesimpulan
Setelah
dipaparkan isi makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwasannya
kaidah-kaidah kebahasaan yang salah satunya adalah dhamir sangatlah
besar pengaruhnya dalam rangka mengambil makna dari sebuah penafsiran Alqur’an.
Apa yang berlaku dalam kaidah bahasa Arab, secara umum juga berlaku dalam
Alqur’an, karena Alqur’an sebagaimana diketahui memang diturunkan dalam bahasa
Arab. Jika tanpa mengetahui bahasa Arab secara baik, seseorang akan
sulit dalam memahami Alqur’an.
[1]Makalah
ini dipresentasikan oleh Muhammad Zaini
pada tanggal 10 Mei 2011 pada mata kuliah Tafsir
[3] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 290-291
[4] Ibid., h. 292. Lihat juga Al Fatih Suryadilaga, Metodologi
Ilmu Tafsir,(Yogyakarta: Teras, 2010), h. 62
[5]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit., h. 41
[6]
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 110-112
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !