A.
Pendahuluan
Sebagaimana diyakini bahwa al-Quran diturunkan Allah SWT sebagai
petunjuk dan pembimbing makhluk-makhluk-Nya disetiap ruang dan waktu. Al-Quran
juga akan mengantarkan dan mengarahkan mereka ke jalan yang lurus, firman Allah
pada surat al-Isra’ ayat 9
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r&
çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷èt
ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZÎ6x.
ÇÒÈ
9. “Sesungguhnya Al Quran
Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar
gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar”
Agar
fungsi-fungsi al-Quran tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan
makna-makna firman Allah saat menafsirkan, sebagai mana yang telah dilakukan
oleh para sahabat Nabi. Mereka tidak akan melanjutkan bacaannya sebelum
memahami dengan tepat makna ayat-ayat yanng dibaca oleh mereka, baik yang
terkait dengan masalah keimanan, ilmu atau amaliyah. Maka disini kita akan
mengkaji tentang penempatan kosa
kata (di depan atau di belakang ) suatu kata. Karena pemahaman mengenai
bahasan ini tidak cukup hanya berpatokan dengan al-Quran saja, tetapi juga
harus memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang di tunjuk oleh
redaksi ayat-ayat al-Quran.
B.
Pembahasan
1.
Penempatan Kosa Kata (di depan atau di belakang ) Suatu Kata
Di dalam al-Quran sering terdapat kata-kata tertentu yang memiliki
kesamaan tetapi posisinya berbeda. Menurut imam al-Suyuthi dalam karyanya yang
berjudul Al-Itqan fi Ulum al-Quran diterangkan sedikitnya ada kajian
pokok yang perlu diperhatikan, salah satunya tentang penempatan kosa kata (di
depan atau di belakang) suatu kata, yaitu tentang kajian yang terkait
dengan teks al-Quran yang secara zhahir sulit dipahami maknanya, namun setalah
diketahui bahwa teks tersebut termasuk uslub (gaya bahasa) penempatan
kosa kata (di depan atau di belakang ) suatu kata, maka menjadi jelas
dan hilanglah kesulitan dalam memahami teks al-Quran yang dimaksud.[1] Ada
kata-kata tertentu yang sama di dalam al-Quran, tetapi posisi masing- masing
berbeda. Pada salah satu redaksi,
misalnya kata tersebut terletak terkemudian (penempatan kosa kata di depan
suatu kata). Contohnya QS. Saba’ : 3 dan 22;
tA$s%ur
tûïÏ%©!$#
(#rãxÿx.
w $oYÏ?ù's? èptã$¡¡9$# ( ö@è% 4n?t/ În1uur
öNà6¨ZtÏ?ù'tGs9 ÉOÎ=»tã É=øtóø9$# ( w
Ü>â÷èt çm÷Ztã ãA$s)÷WÏB ;o§s Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
wur
Îû
ÇÚöF{$#
Iwur ãtóô¹r&
`ÏB
Ï9ºs Iwur çt9ò2r&
wÎ) Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÌÈ
3. ”Dan
orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang
kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui
yang ghaib, Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. tidak ada
tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di
bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar,
melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)",
È@è% (#qãã÷$# úïÏ%©!$# LäêôJtãy `ÏiB Èbrß
«!$# ( w
cqà6Î=ôJt tA$s)÷WÏB ;o§s Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
wur
Îû
ÇÚöF{$#
$tBur öNçlm; $yJÎgÏù
`ÏB
78÷Å°
$tBur ¼çms9
Nåk÷]ÏB `ÏiB 9Îgsß ÇËËÈ
22. “Katakanlah: " Serulah mereka yang
kamu anggap (sebagai Tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan)
seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu
sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara
mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya”.
Juga
dalam QS. Yunus: 61
$tBur
ãbqä3s? Îû 5bù'x© $tBur
(#qè=÷Gs?
çm÷ZÏB
`ÏB
5b#uäöè%
wur tbqè=yJ÷ès?
ô`ÏB @@yJtã wÎ) $¨Zà2
ö/ä3øn=tæ #·qåkà
øÎ) tbqàÒÏÿè? ÏmÏù
4 $tBur
Ü>â÷èt `tã y7Îi/¢ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§s Îû
ÇÚöF{$#
wur
Îû
Ïä!$yJ¡¡9$#
Iwur ttóô¹r&
`ÏB
y7Ï9ºs Iwur uy9ø.r&
wÎ) Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7B ÇÏÊÈ
61. “Kamu
tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula)
yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata
(Lauh mahfuzh)”.
Dalam
QS. Ali-‘Imran: 5
¨bÎ) ©!$# w
4xÿøs Ïmøn=tã
ÖäóÓx«
Îû
ÇÚöF{$#
wur
Îû
Ïä!$yJ¡¡9$#
ÇÎÈ
5. “ Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi
di bumi dan tidak (pula) di langit”.
Tampak jelas di dalam surat diatas
terdapat penempatan kosa kata terdahulu dan terkemudiankan karena pada ayat
yang pertama lafal al-ardli terletak terkemudian dari lafal as-sama’
dan sebaliknya pada ayat yang kedua pada contoh diatas terdahulu darinya.
Inilah yang disebut dengan penempatan kosa kata (di depan atau di belakang)
suatu kata.[2]
Analisisnya adalah jika hal tersebut dilakukan pengkajian yang lebih mendalam,
maka akan menemukan terjadinya perbedaan cara pengungkapan. Karena cara
pengungkapan seperti contoh ayat diatas mempunyai arti tersendiri meskipun
kelihatannya secara lahiriyah tidak membawa kepada perubahan makna yang
mendasar. Pada ayat yang pertama dan
kedua didahulukan kata as-samawat dari kata al-ardli adalah agar
serasi dengan pembukaan surat Saba’ tersebut yang berbunyi
ßôJptø:$# ¬!
Ï%©!$# ¼çms9
$tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
$tBur
Îû
ÇÚöF{$#
ã&s!ur
ßôJptø:$# Îû ÍotÅzFy$# 4 uqèdur ÞOÅ3ptø:$#
çÎ7sø:$# ÇÊÈ
“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. dan Dia-lah yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui”.
Dengan demikian akan terasa
meresapnya kedalam jiwa suatu keharmonisan keakraban bahasa al-Quran itu.[3]
Sedangkan ayat ketiga dan keempat pada surat Yunus dan Ali-Imran mendahulukan al-ardli
dari as-sama’. Jika diperhatikan dengan seksama timbulnya
permasalahn seperti itu ada kaitannya dengan perbuatan manusia di muka bumi.
Indikasi kearah itu terlihat dengan nyata di ayat ketiga surat Yunus, ayat
tersebut diawali Allah dengan pernyataan bahwa semua perbuatan dan tingkah laku
manusia dibumi ini selalu diawasi oleh Allah tanpa sesaat Allah tak lupa dan
tak lalai dari segala tindakan makhluknya.
Di dalam al-Quran pada penempatan
suatu kata bukanlah suatu kebetulan, tetapi hal tersebut dibuat oleh Allah
untuk menyampaikan pesan pada manusia untuk menuju kejalan yang benar.
Sebenarnya terjadi perbedaan antara
mufasir satu dengan yang lainnya tentang penyebab kata as-sama’ didahulukan
dari pada kata al-ardli , akan tetapi disini Rasyid Ridha berpendapat
lebih jelas, “ didahulukan lafal as-sama’ karena lafal itu diungkapkan
dalam rangka sanjungan Allah terhadap dirinya dan menggambarkan keluasan
ilmu-Nya. Maka dari itu sangatlah cocok didahulukan lafal as-sama’,
karena ruang lingkupnya sangat besar (luas). Di dalamnya terdapat sejumlah
matahari dan galaksi lainnya, yang jarak antara satu galaksi dengan galaksi
yang lainnya (mencapai) jutaan tahun diukur dengan kecepatan cahaya”.
Adapun untuk ayat yang mendahulukan
lafal al-ardli dari as-sama’ pada dua ayat yang terakhir tidak
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para mufasir, bahkan bisa dikatakan
mereka sepakat untuk mengatakan bahwa kontek ayat itu berkaitan erat dengan
permasalahn kehidupan manusia dimuka bumi ini.
Adanya kajian tentang penempatan kosa kata (di
depan atau di belakang ) suatu kata atau penempatan kosa kata yang
didahulukan atau yang diakhirkan suatu kata ini, al-Allamah Syams al-Din bin
al-Sha’igh mengarang sebuah kitab yang berjudul al-Muqaddimah fi Sirr
al-Alfazh al-Muqaddimah. Melihat judul karya tersebut, jelas didalamnya
lebih banyak dibahas tentang rahasia-rahasia atau hikmah khusus yang dapat
dipelajari tentang penggunaan teks-teks al-Quran yang didahulukan atau Penempatan
kosa kata di depan atau di belakang suatu kata.[4] Beberapa
contoh yang lebih terkait dengan rahasia secara global adalah QS. Al -A’la: 4-5
üÏ%©!$#ur ylt÷zr&
4ÓtçöpRùQ$#
ÇÍÈ
¼ã&s#yèyÚsù ¹ä!$sWäî
3uqômr& ÇÎÈ
4. “Dan
yang menumbuhkan rumput-rumputan,
5. Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering
kehitam-hitaman”.
Lafal ghutsa’ pada
ayat tersebut berarti kering dan layu. Sedangkan lafal ahwa berarti
rumput yang semula hijau kemudian berubah menjadi kehitam-hitaman. Sebelum
rumput menjadi hitam, sudah barang tentu ia berwarna hijau, jadi maksudnya
adalah Allah menumbuhkan rerumputan yang semula berwarna hijau, kemudian
berubah menjadi kehitam-hitaman. Lafal gutsa’ didahulukan lalu lafal ahwa
diakhirkan karena antara keduanya terdapat pemisah.[5]
C.
Kesimpulan
Pada bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa letak kata pada
ayat-ayat al-Quran bukan hanya kebetulan, tetapi karena sengaja diungkapkan
seperti tersebut agar dapat menyampaikan pesan yang di bawanya secara tepat,
yang jika tidak demikian susunannya maka pesan itu tidak akan terbawa. Dengan
kata lain, setiap kata itu menempati fungsinya masing-masing sehingga tidak
dapat dipertukarkan. Apabila itu terjadi maka dapat merusak maksud dari
pengirimnya.
Daftar Pustaka
Baidan, Nashruddin. 2002, Metode Penafsiran al-Quran, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Ichwan, Mohammad Nor. 2002, Memahami Bahasa Al-Quran, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
al-Suyuthi, Jalal al-Din al-Syafi’i. 1996, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Beirut: Dar
al-Fikr
[1] Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, jilid
II (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 1996), h. 33-34
[2] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h.86-87
[3] Ibid., h. 209
[4] Mohammad Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Quran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h.240
[5] Ibid., h.241
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !