Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » Shohifah

Shohifah


BAB I
PENDAHULUAN

Hadis baik secara struktural dan fungsional telah disepakati oleh mayoritas kaum muslim dari berbagai madzhab islam, karena dengan adanya hadis, ajaran islam menjadi lebih jelas ,rinci,spesifik. Hadis dari Rasulullah yang dahulu hanya sebuah lembaran- lembaran, kini sudah banyak yang di bukukan. Saat zaman Rasulullah dahulu masih banyak yang berbentuk lembaran,  yang ditulis tidak teratur oleh para sahabat.
Seiring dengan  perkembangannya terjadi pengkodifikasian hadis yang dilakukan secara individu masing – masing periwayat hadis. Dan diantara bentuk awal hasil dari kodifikasi tersebut adalah Shahifah. Kemudian shahifah – shahifah tersebut dibukukan ke dalam kitab – kitab hadis, yang hingga sekarang digunakan para ulama untuk menetapkan atau mengambil sebagai hujjah kedua setelah Al Quran. Untuk menjaga keorisinilan sebuah hadis maka para ulama zaman dahulu membukukan hadis sehingga generasi penerusnya tidak kesulitan mencari dan menghafal  hadis – hadis.
Maka dalam makalah ini akan membahas awal penulisan hadis yang berbentuk shahifah (lembaran – lembaran) sampai pada masa pembukuan kitab hadis.



 BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shahifah
Lembaran-lembaran  tulisan yang berisi hadis dan ditulis pada zaman Rasulullah SAW. Penulisan tersebut sudah banyak dilakukan ketika Rasul masih hidup oleh para Sahabat. Saat penulisan tersebut, terjadi beberapa masalah yang terkait dengan larangan dalam menuliskan sebuah hadis. Diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari Abu Sa’id al-khudri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jangan kamu tulis sesuatu dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis sesuatu dariku selain al-Quran hendaklah ia menghapusnya”
Hadis yang senada dengan hadis tersebut telah banyak diriwayatkan oleh para sahabat, dan hadis tersebut tidak dapat diragukan lagi keshahihannya. Disinilah terjadinya kontradiksi antara kebolehan menulis hadis dengan tidak diperbolehkan menulis hadis. Beliau tidak mengijinkan menulis hadis karena adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran, karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.[1]  Rasulullah SAW  juga  khawatir akan timbul kerancuan antara sabda, penjelasan dan perilaku beliau dengan al-Quran, apalagi jika semua itu ditulis pada lembaran yang sama.
 Riwayat dari Urwah bin Zubair bahwa Umar bin al-Khaththab ingin menuliskan sunah-sunah Rasulullah SAW. Lalu mereka berunding, meminta Rasulullah SAW untuk membolehkan penulisan hadis. Namun Rasulullah SAW bingung, lalu beliau ber-istikharah selama satu bulan untuk menentukan keputusan dari permintaan para sahabat dalam menulis hadis. Setelah mendapat petunjuk dari Allah SWT, beliau berkata: “sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunah-sunah Rasulullah SAW. Akan tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab dan meninggalkan kitab Allah SAW. Demi Allah, saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun untuk selama-lamanya. [2] Akhirnya Rasulullah SAW memperbolehkan penulisan hadis, dengan catatan tidak ada keserupaan dengan al-Quran dan agar al-Quran tidak ditingalkan karena mereka menekuni selainnya.
Dari persoalan diatas dapat disimpulkan bahwa, semula Rasulullah SAW melarang penulisan hadis, namun setelah beliau melihat bahwa hadis semakin banyak dan hapalan lambat laun akan hilang, maka beliau memerintahkan agar hadis ditulis dan didokumentasikan. Walaupun demikian, penulisan hadis tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, Rasulullah SAW membolehkan menulis hadis bagi orang yang dipercaya dan mengawasi dalam penulisan hadis serta dikhususkan bagi beberapa orang sahabat, seperti Abdullah bin Amr, karena beliau dapat membaca kitab-kitab terdahulu dan dapat menulis dengan bahasa yang bagus seperti bahasa arab.

B. Pengertian Kitab Hadis
Pada periode tabi’in, seorang khalifah bernama Umar  bin Abdul Aziz  (99-101 H) yakni hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadis, karena beliau khawatir akan lenyapnya ajaran-ajaran Rasulullah SAW setelah wafatnya para ulama baik dikalangan sahabat maupun tabi’in. Maka beliau instruksikan kepada para gubernur diseluruh wilayah negeri islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.[3]
Tidak diketahui secara pasti siapa diantara ulama yang lebih dahulu dalam melaksanakan instruksi khalifah tersebut. Ada beberapa pendapat yang berbeda-beda, ada yang mengatakan Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, pendapat lain mengatakan Ar-Rabi’ bin Shabih, Sa’id bin Arubah dan lain sebagainya, tetapi pendapat yang paling populer adalah Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab az-Zuhri. Sedangkan Ibnu Hazm hanya menyampaikan instruksi khalifah keseluruh negeri kekuasaan. Az-Zuhri dinilai sebagai orang pertama yang melaksanakan penghimpunan hadis dari khalifah Umar  bin Abdul Aziz  dengan ungkapan : “Kami perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menghimpun sunah, kami telah melaksanakannya dari buku ke buku, kemudian dikirim ke setiap wilayah kekuasaan sultan satu buku”.
Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama menyimpulkan bahwa az-Zuhri orang pertama yang menghimpun hadis pada awal tahun 100 H dibawah khalifah Umar  bin Abdul Aziz. Maksudnya adalah orang yang paling awal menghimpun hadis dalam bentuk formal atas instruksi dari seorang kholifah dan ditulis secara menyeluruh, karena tentunya penghimpunan  sudah dilakukan pada masa Rasulullah SAW dikalangan para sahabat dan tabi’in, namun belum menyeluruh dan bukan instruksi dari seorang khalifah.
Kemudian aktifitas penghimpunan hadis tersebar  diberbagai negeri islam pada abad ke-2 H diantaranya adalah Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraij (w. 150H) di Mekah, Ibnu Ishak (w.151 H) di Mekah, Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Madinah dan lain-lain.[4]  Perintah khalifah Umar  bin Abdul Aziz kepada Gubernur  Madinah untuk menghimpun kitab hadis ternyata telah berhasil membangkitkan minat para ulama untuk semakin meningkatkan usaha tersebut. Dengan dukungan para penguasa , gerakan ini semakin meningkat, baik secara kualitas dan kuantitas. Pada penyusunan hadis dalam sebuah kitab, hadis-hadis Nabi SAW tidak dipisahkan dari fatwa para sahabat dan tabi’in. Diantara hadis yang dihimpun dalam buku adalah[5]:
a.       Al-Mushannaf (abad ke 2 H)
Kitab al-Mushannaf terdapat di seluruh kota besar Islam saat itu antara lain:
1.      Di Makkah terdapat al-Mushannaf  karya Abdul Malik ibn Abdul Aziz ibn Juraih al-Basiri
2.      Di Madinah terdapat al-Muwattha’ karya Malik ibn Abbas
3.      Di Basrah terdapat al-Muwattha’ karya al-Rabi’ ibn Shabih
4.      Di Kuffah terdapat al-Mushannaf karya Sufyan al-Shauti
5.      Di Khurasan terdapat al-Mushannaf karya Imam Abdurrahman ibn Amr al Auza’i
b.      Al-Musnad (abad ke 2-3 H)
Kitab – kitab al-Musnad yang muncul  disusun oleh :
1.      Asas ibn Musa al-Amawi
2.      ‘Ubaidullah ibn Musa al-Abbasi
3.      Musaddad al-Bashri
4.      Yahya ibn Abdul Hamid al-Hamami al-Kufi
c.       Kitab – kitab Shahih dan al-Jami’ (abad ke 3 - 4 H)
d.      Kitab – kitab Sunan (abad ke 3-  4 H)
Kitab – kitab Sunan yang ditulis Ulama hadis yang terkenal yaitu:
1.      Abu Daud (202-275 H)
2.      Al-Tirmidzi (209- 279 H)
3.      An Nasa’i (215-303 H)
4.      Ibnu Majah (209 – 273H)
e.       Kitab al-Mustadrak(abad ke 4 H)
Kitab al-Mustadrak  yang terkenal adalah:
1.      Al-Mustadrak  karya al-Imam al-Hakim al-Naisaburi
2.      Al-Mustadrak  karya Abu Dzar al-Harawi
3.      Al-Ilzamat karya al-Daruqutni
f.       Kitab al-Mustakhraj(abad ke 4 H)
Kitab al-Mustakhraj yang terkenal abad ke 4 – 5 H:
1.      Al-Mu’jam al Kabir karya al-Thabrani
2.      Al-Shahih karya Ibnu Khuzaimah
3.      Al-Sunan karya al- Daruquthni
4.      Al-Taqsim wa al-Anwa’ karya Ibnu Hiban


c.       Persamaan dan Perbedaan
        Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada persamaan dan perbedaan antara shahifah dan kitab hadis, diantaranya;
a.       Persamaan
·         Menjaga hadis-hadis Rasulullah SAW yang berbentuk tulisan.
·         Berperan penting sebagai sumber ilmu yang selalu digunakan para ulama untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW.
·         Digunakan oleh para ulama dari zaman Rasulullah SAW hingga sekarang.

b.    Perbedaan
·         Shahifah lebih disebut dengan penulisan. Sedangkan pembukuan adalah mengumpulkan lembaran-lembaran yang sudah tertulis dan yang dihafal, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku yang tersusun rapi.
·         Penulisan Shahifah  pada masa Rasullulah SAW saat masih hidup, sedangkan kitab hadis,  menurut sebagian ulama  dibukukan secara sistematis pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sekitar 90 tahun setelah Rasulullah SAW wafat.
·         Dilihat dari bentuk dan penulisannya, shohifah belum teratur dan masih banyak yang sulit dipahami, sedangkan dalam kitab hadis bentuk dan penulisannya sudah teratur. Dan cara penulisannya telah dibakukan dan disepakati para ulama sehingga menjadi panduan di zaman sekarang.
·         Shahifah ditulis oleh  para sahabat yang mendapat izin khusus dari Rasullulah SAW yang dapat dipercayai dan Kebanyakan para penulis shahifah telah mendengar langsung dari Rasullulah SAW dan beliau juga mengawasi secara langsung penulisan yang dilakukan para sahabat tersebut.


d.   Kedudukannya Sebagai Dokumen Hadis
        Dari uraian yang kami paparkan diatas, maka dapat disimpulkan, kedudukan  Shahifah dan kitab hadis, yakni;
a.       Kedudukan As-Shahifah sebagai dokumen hadis
        Dalam hal ini, shahifah menjadi bukti Autentik bahwa hadis nabi telah ditulis sejak awal, dan hadis tersebut benar-benar ada sejak zaman Rasulullah SAW, walaupun penulisannya masih belum sistematis, dan shahifah sendiri berguna sebagai benih pembukuan hadis di masa setelahnya. Dan Sebagai bukti ilmiah bernilai sejarah yang membuktikan terjadinya penulisan hadist Nabi dihadapan Rasullulah SAW dengan izin beliau.
b.      Kedudukan kitab Hadist sebagai dokumen hadist
Sejak masa Rasulullah SAW, perhatian para sahabat terhadap hadis sangat besar. Demikian juga perhatian generasi berikutnya dari tabi’in dan seterusnya, mereka memelihara hadis dengan cara menghafal, menulis, menghimpun ke dalam kitab–kitab hadis yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan dihimpunnya kitab-kitab hadis, maka akan menjaga dari keaslian dari kitab hadis yang terdahulu. Sehingga dapat melestarikan kitab hadis dari untuk generasi yang berikutnya, seperti sekarang dan yang akan datang. Juga selain itu, kitab hadis dapat dijadikan penutan bagi umat islam hingga sekarang dan sampai masa yang akan datang.[6]

E. Penutup
Demikian pembahasan yang terkait dengan bab shahifah dan kitab hadis yang dapat saya sampaikan, jadi sangatlah penting kita mengetahui ilmu-ilmu tentang hadis Rasulullah SAW, agar kita tidak tersesat di jalan yang salah dan kita sebagai umat islam haruslah menjaga kitab-kitab hadis yang terdahulu maupun yang sekarang serta dapat mengambil pelajaran dari kitab tersebut. Tapi janganlah melupakan al-Quran yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW agar kita selamat dunia akhirat. Amiin







DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddiqey, M. Hasby. 1973, Sejarah Perkembangan Hadist, Jakarta: Bulan Bintang

Itr, Nuruddin. 1994, Ulum al-Hadits, , Bandung: Remaja Rosdakarya

Khon, Abdul Majid. 2009, Ulumul Hadist, Jakarta: Amzah
Zuhri, Muh. 2003, Hadist Nabi Telaah Historis Dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana
       




[1]Nuruddin Itr, Ulum al-Hadits. (Bandung: Remaja Rosdakarya,1994). h. 28

[2] Nuruddin Itr, Ulum al-Hadits.h. 29
[3] Abdul majid khon, ulumul hadis, ( Jakarta: amzah, 2009),cet.II,  H. 53.
[4] .Ibid.h.54

[5] Muh. Zuhri,Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis.(Yogyakarta:Tiara Wacana,2003),Cet.II, h.58-63.
[6] M. Hasby Ash-Shiddiqey,  Sejarah Perkembangan Hadist, (Jakarta; Bulan Bintang, 1973), hal. 2
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved