BAB I
PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diturunkan sebagai
mu’jizat bagi nabi Muhammad SAW, sekaligus kitab suci umat islam sebagi pedoman
dan petunjuk bagi seluruh manusia guna mendapat kebahagiaan di dunia maupun di
akhirat. Manusia berusaha memahami maksud dan isi kandungan dari Al Qur’an
tersebut dan kemudian munculah berbagai macam penafsiran yang merupakan
refleksi pemikiran manusia dalam memahami Al Qur’an. Adanya perbedaan
penafsiran yang menjadi ajang perdebatan kelompok maupun individu merupakan
suatu hal yang wajar.
Setelah berakhir masa salaf dan peradaban islam semakin maju dan
berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat
islam. Masing – masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka
mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat –
ayat Al Qur’an dan hadis – hadis nabi
lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.Ketika inilah
berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi ra’yu.
Pada makalah ini akan dibahas sedikit beberapa hal yang berkaitan
dengan adanya berbagai macam penafsiran yang salah satunya yaitu tafsir bi
ra’yi.Kajian ini merupakan kajian yang sangat penting bagi umat islam untuk
memperluas wawasan agar tidak terjerumus.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Tafsir bi Ra’yu
Ra’yu berdasarakan
penertian etimlogi berarti keyakinan(i’tiqad),analogi (qiyas) dan ijtihad. Dan
ra’yu dalam terminologi adalah ijtihad.Tafsir bi ra’yu adalah ijtihad yang
didasarkan pada dalil – dalil yang
shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan
oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al – Qur’an atau mendalami
pengertiaannya.[1]Sedangkan
pengertian tafsir bi ra’yu menurut Husein Adz – Dzahabi adalah tafsir yang
penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir setelah
terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya,dalil hukum yang
ditunjukkan serta problema penafsiran seperti Asbab an nuzul,nasikh mansukh dan
sebagainya.Adapun Al Farmawi mendefinisikannya adalah menafsirkan Al Qur’an
dengan ijtihad setelah terlebih dahulu si mufasir bersangkutan mengetahui
metode yang digunakan orang – orang Arab ketika berbicara dan mengetahui
kosakata – kosakata Arab beserta muatan – matan artinya. Untuk menafsirkan
dengan ijtihad, Tafsir bi ra'yu mulai muncul setelah berakhirnya masa salaf
sekitar abad ke 3 H. Dan peradaban islam semakin maju dan berkembang, maka
lahirlah berbagai madzhab dan aliran di kalangan islam. Masing – masing
golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka.
Seperti Kaum fuqaha ( ahli fiqih
)menafsirkan dari sudut hukum fiqih contohnya al Jashshas,Al Qurthubi dan lain
- lain, kaum teolog menafsirkan dari sudut
pemahaman teologis seperti Al Kasysyaf karangan al Zamakhsyari, kaum
sufi juga menafsirkan Al Qur’an berdasarkan pemahaman dan pengalaman batin seperti Tafsir
al Qur’an al ‘Azim karangan Tustari,Futuhat Makkiyyat karangan Ibn ‘Arabi dan
lain – lain. Selain itu dalam bidang
bahasa juga lahir tafsir seperti al Bahr al Muhith karangan Abu Hayyan
dan lain – lain.[2]
Berbagai corak tafsir bi ra’yu muncul di kalangan muta’akhirin, sehingga di
abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains seperti
Tafsir al Manar dan al Jawahir. Manna’ al Qaththan berpendapat bahwa
perkembangan tafsir bi ra’yu mengalahkan
perkembangan tafsur al ma’tsur.
B. Macam – Macam Tafsir bi
Ra’yu
Mengeanai
keabsahan Tafsir bi Ra’yu para Ulama terbagi ke dalam dua kelompok:[3]
1.
Kelompok yang melarang.
Ulama yang
menolak penggunaan corak tafsir ini mengemukan argumentasi – argumentasi
sebagai berikut:
a.
Menafsirkan Al Qur’an berdasarkan ra’yu berarti menbicarakan
(firman )Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil penafsirannya hanya
bersifat perkiraan semata. Allah berfirman QS. Al Isra’(17) :36
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
b.
Yang berhak menjelaskan Al Qur’an hanyalah Nabi berdasarkan firman
Allah QS. Al Nahl(16):64
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 cqãZÏB÷sã ÇÏÍÈ
64. Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab
(Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.
c.
Rasul bersabda:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْاَنِ بِرَاْيِهِ
اَوْبِمَالَايَعْلَمُ فَلْيَثَبَوَّاْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa saja menafsirkan Al Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas
dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat di
neraka.
d.
Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat
dan tabi’in untuk berhati – hati ketika berbicara tentang penafsiran Al Qur’an.
2.
Kelompok yang mengizinkan
Ulama
mengemukakan argumentasi - argumentasi berikut :
a.
Di dalam Al Qur’an banyak ditemukan ayat – ayat yang menyerukan
untuk mendalami kandungan – kandungan.Misalnya QS.Muhammad (47): 24
xsùr& tbrã/ytGt c#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
24. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al
Quran ataukah hati mereka terkunci?
b.
Seandainya tafsir bi ra’yi dilarang mengapa ijtihad
diperbolehkan.Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al Qur’an. Ini
menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat- ayat yang belum
dijelaskan nabi.
c.
Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran
suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al Qur’an dengan
ra’yunya. Seandainya tafsir bi ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat
itu keliru.
d.
Rasulullah pernah berdoa untuk Ibn Abbas yang artinya “Ya Allah berilah pemahaman
agama kepada Ibnu Abbas dan ajarilah Ia takwil.
Seandainya
cakupan takwil hanya mendengar dan menukil riwayat saja, tentunya pengkhususan
doa diatas untuk Ibn Abbas tidak bermakna apa – apa. Dengan demikian, maka
takwil yang dimaksud dalam doa itu adalah sesuatu diluar penukilan yaitu
ijtihad dan pemikiran.
Selanjutnya para Ulama membagi corak tafsir bi ra’yu terbagi dalam
dua bagian: ada tafsir bi ra’yu yang dapat diterima/terpuji(mahmudah)dan ada pula
yang ditolak/tercela(mazmum).[4]
1.
Tafsir Mahmud adalah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’, jauh
dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah – kaidah bahasa Arab serta
berpegang pada uslub – uslubnya dalam memahami teks Al Qur’an . Barang siapa
yang menafsirkan Al Qur’an menurut ra’yunya atau ijtihadnya dengan
memperhatikan ketentuan – ketentuan tersebut serta berpegang pada makna –makna Al Qur’an
maka penafsirannya dapat diambil. Tafsir dapat diterima selama
menghindari hal – hal berikut:
a.
Memakasakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu
ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat
untuk itu.
b.
Mencoba menafsirkan ayat – ayat yang maknanya hanya diketahui
Allah.
c.
Menafsirkan Al Quur’an dengan disertai hawa nafsu dan sikap
istihsan(menilai bahwa sesuatu itu baik semata – mata berdasarka persepsinya)
d.
Menafsirkan ayat untuk mendukung suatu madzhab yang dengan catra
menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham
madzhab tersebut.
e.
Menafsirkan Al Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang
dikehendaki demikian . . .tanpa di dukung dalil.
Selama Mufassir bi ra’yu menghindari kelima hal diatas dengan
disertai niat ikhlas semata – mata kaena Allah, maka penafsirannya dapat
diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional.Jika tidak demikian, berarti
ia menyimpan dari cara yang dibenarkan, sehingga penafsirannya tidak dapat
diterima.
2.
Tafsir Mazmum adalah bila Al Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau
menurut sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar – dasar bahasa dan syariat,
atau kalam Allah itu ditafsirkan menurut pandangan yang salah da sesat, atau
mendalami kalam Allah hanya berdasarkan pengetahuannya semata – mata, dimana ia
menyatakan bahwa kalam Allah itu maksudnya ini . . . atau itu . . .tafsir yang
semacam ini adalah tafsir yang salah.
Diantara contoh tafsir bi ra’yu yang tidak dapat diterima adalah
sebagai berikut:[5]
a.
Penafsiran golongan Syiah terhadap kata “ Al Baqarah” QS.al
Baqarah:67 ditafsirkan dengan Aisyah.
øÎ)ur tA$s%
4ÓyqãB
ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù't br&
(#qçtr2õs?
Zots)t/ (
(#þqä9$s%
$tRäÏGs?r&
#Yrâèd
(
tA$s%
èqããr&
«!$$Î/ ÷br& tbqä.r&
z`ÏB úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ
67. Dan (ingatlah),
ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak
menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada
Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
b.
Penafsiran sebagian mufasir terhadap QS.Al Baqarah :74
§NèO ôM|¡s% Nä3ç/qè=è% .`ÏiB Ï÷èt/ Ï9ºs }Îgsù Íou$yÚÏtø:$$x. ÷rr& x©r& Zouqó¡s% 4 ¨bÎ)ur z`ÏB Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ã¤fxÿtFt çm÷ZÏB ã»yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o ßlã÷usù çm÷YÏB âä!$yJø9$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku ô`ÏB Ïpuô±yz «!$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÐÍÈ
74. Kemudian setelah itu
hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu
itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya
sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya
sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena takut kepada Allah. dan Allah
sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Mereka
menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada
Allah.
c.
Penafsiran sebagian mufasir terhadap QS. An Nahl:68
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉϪB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur Ìyf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷èt ÇÏÑÈ
68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah:
"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia",
Mereka
berpendapat bahwa diantara lebah – lebah itu ada yang diangkat sebagai nabi –
nabi yang diberi wahyu oleh Allah,dan mereka mengemukakan cerita yang bohong
tentang kenabian lebah.Sementara itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada
tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindakan oleh lebah yang
dengannya ia membuat sarang – sarang dan madu.
d.
Panafsiran sebagian orang terhadap QS. Ar Rahman(55):33
u|³÷èyJ»t Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ÈbÎ) öNçF÷èsÜtGó$# br& (#räàÿZs? ô`ÏB Í$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur (#räàÿR$$sù 4 w cräàÿZs? wÎ) 9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ
33. Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu
sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu
tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.
Mereka
menduga bahwa ayat diatas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuwan mendarat
dibulan dan planet – planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan
sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian.
e.
Penafsiran sebagian orang terhadap QS.Al Humazah (104):6-7
â$tR «!$# äoys%qßJø9$# ÇÏÈ ÓÉL©9$# ßìÎ=©Üs? n?tã ÍoyÏ«øùF{$# ÇÐÈ
6.
(yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,.7.Yang (membakar)
sampai ke hati.
Mereka berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam – macam sinar
yang berhasil ditemukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh
manusia. Mereka menyeret ayat diatas pada makna yang tidak dimungkinkan jika
dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya
C. Pedoman penafsiraan dengan ra’yu
Faktor yang harus
dipenuhi dalam penafsiran secara ra’yu terdiri atas empat pokok sebagaimana Az
Zarkasi dalam kitabnya Al Burhan:[6]
1.
Bersandar pada apa yang berasal dari rasulullah dengan berusah menghindarkan
diri dari hadis – hadis yang daif dan maudhu’.
2.
Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan
mereka adalah marfu’(sampai kepada nabi).
3.
Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena Al Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa arab.
4.
Bersandar pada yang dikehendaki oleh alur pembicaraan dan benar –
benar ditinjukkan oleh aturan syara’.
D. Syarat – Syarat dan Adab Mufasir
Syarat – syarat
yang harus dimiliki setiap mufasir:[7]
1.
Akidah yang benar, sebab kepribadian yang benar memiliki pengaruh yang
besar terhadap jiwa pemiliknya.
2.
Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk
membela kepentingan madzhabnya seperti golongan Qadariyah, Syiah Rafidhah,
Mu’tazilah dan para pendukung fanatik madzhab sejenis lainnya.
3.
Menafsirkan terlebih dahulu Al Qur’an dengan Al Qur’an, karena
sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci ditempat lain dan
sesuatu diungkapkan yang dikemukakan secara ringkas disuatu tempat telah
diuraikan ditempat lain.
4.
Mencari penafsiran dari sunah, karena sunah berfungsi sebagai
pensyarah Al Qur’an dan penjelasnya.
5.
Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunah, hendaklah melihat
bagaimana pendapat sahabat. Karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al
Qur’an.
6.
Apabila tidak ditemukan dalam Al Qur’an, sunnah dan pendapat para
sahabat, maka sebagian besar ulama dalam hal ini merujuk kepada pendapat
tabi’in.
7.
Pengetahuan bahasa Arab yang baik, karena Al Qur’an diturunkan
dalam bahasa Arab.
8.
Pengetahuan tentang prinsip – prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al
Qur’an seperti ilmu qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana
cara mengucapkan (lafad – lafad) Al Qur’an, ilmu tauhid dengan ilmu ini
diharapkan mufasir tidak menakwilkan ayat – ayat yang berkenaan dengan hak
Allah dan sifat – sifatNya secara serampangan sehingga melampaui hakNya,
mengetahui ilmu ushul terutama ushul at tafsir dan mendalami kaidah – kaidah
yang dapat memperjelas sesuatu makana maksud – maksud Al Qur’an seperti
pengetahuan tentang asbab an – nuzul, nasikh-mansukh.
9.
Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat mengukuhkan suatu
makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash – nash
syari’at.
D. Kitab – Kitab Tafsir bi Ra’yu yang Terpenting
Di antara kitab –
kitab tafsir bi ra’yu :[8]
1.
Tafsir al Jalalaini yang disusun oleh Jalaluddin Muhammad al
Mahalliy dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman as Sayuithi.
2.
Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil yang terkenal dengan Tafsir
al Baidlawi yang disusun oleh Nasruddin Ibn Said al Baidlawi.
3.
Tafsir Mafatihul Ghaibi yang terkenal dengan tafsir ar Razy yang
disusun oleh Muhammad ibn Diya’uddin yang terkenal dengan Khathibur Ray.
4.
Tafsir Irsyadul Aqlis Salim Ila Mazayal Qur’anil Karim yang disusun
Abus Su’ud Muhammad ibn Muhammad Ibn Musthafa ath Thahawi.
5.
Tafsir Ruhul Ma’ani yang disusun oleh Syihabuddin al Alusi.
6.
Tafsir Gharaibul Qur’an wa Raghaibul Furqan yang disusun oleh
Nidhamuddin al Hasan Muhammad an Naisaburi.
7.
Tafsir as Sirajul Munir fi
I’anati ‘ala ma’rifati kalam Rabbinal Khabir yang disusun oleh Muhammad as
Syarbini Al Khatib.
8.
Tafsir Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Wa haqa-iqut ta’wil yang
disusun oleh Abu Barakat Abdullah Ibn Mahmud an Nasafiy.
9.
Tafsir al Khazin yang disusun oleh Alauddin Ali ibn Muhammad ibn
Ibrahim al Baghdadiy yang terkenal dengan nama al Khazin.
BAB III
PENUTUP
Dari
uraian di atas yang telah kita bahas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi ra’yu
adalah tafsir yang pola pemahaman terhadap ayat – ayat al qur’an dilakukan
melalui ijtihad dengan menggunakan akal pikiran yang dalam prakteknya
mendayagunakan seluruh kemampuan ilmu yang dimiliki guna membimbing umat
manusia ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagian dan keselamatan di dunia
dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Ash Shaabuuniy ,Muhammad.At Tibyaan Fii Uluumil Qur’an.(Bandung :Pustaka Setia,1998)terj.Aminuddin
Anwar, Rosihon.Ulum Al Qur’an.(Bandung:Pustaka setia,2008)
Ash Siddiq, Hasbi.Ilmu – Ilmu Al Qur’an.(Jakarta: Bulan Bintang,
1993)
Baidan ,Nasruddin.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2005)
Nawawi, Rif’at Syauqi.Pengantar Ilmu Tafsir.(Jakarta:Bulan
Bintang,1992)
[2] .Nasruddin Baidan.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2005)h.376
[3] .Rosihon Anwar.Ulum Al Qur’an.(Bandung:Pustaka setia,2008)h.221-224
[4] . Muhammad Al Ash Shaabuuniy.opcit,.h.260
[5] Rosihon Anwar.Opcit,.h.224-226
[6]. Rif’at Syauqi Nawawi.Pengantar Ilmu Tafsir.(Jakarta:Bulan
Bintang,1992)h. 155-156
[7] . Syeikh Manna’ Al Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an.(Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2006)h. 414 - 418
[8] .Hasbi Ash Siddiq.Ilmu – Ilmu Al Qur’an.(Jakarta: Bulan Bintang,
1993)h.242
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !