Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » TAFSIR BI RA’YU

TAFSIR BI RA’YU


BAB I
PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diturunkan sebagai mu’jizat bagi nabi Muhammad SAW, sekaligus kitab suci umat islam sebagi pedoman dan petunjuk bagi seluruh manusia guna mendapat kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Manusia berusaha memahami maksud dan isi kandungan dari Al Qur’an tersebut dan kemudian munculah berbagai macam penafsiran yang merupakan refleksi pemikiran manusia dalam memahami Al Qur’an. Adanya perbedaan penafsiran yang menjadi ajang perdebatan kelompok maupun individu merupakan suatu hal yang wajar.
Setelah berakhir masa salaf dan peradaban islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam. Masing – masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat – ayat Al Qur’an dan  hadis – hadis nabi lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi ra’yu.
Pada makalah ini akan dibahas sedikit beberapa hal yang berkaitan dengan adanya berbagai macam penafsiran yang salah satunya yaitu tafsir bi ra’yi.Kajian ini merupakan kajian yang sangat penting bagi umat islam untuk memperluas wawasan agar tidak terjerumus.



BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Tafsir  bi Ra’yu
            Ra’yu berdasarakan penertian etimlogi berarti keyakinan(i’tiqad),analogi (qiyas) dan ijtihad. Dan ra’yu dalam terminologi adalah ijtihad.Tafsir bi ra’yu adalah ijtihad yang didasarkan pada dalil – dalil  yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al – Qur’an atau mendalami pengertiaannya.[1]Sedangkan pengertian tafsir bi ra’yu menurut Husein Adz – Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya,dalil hukum yang ditunjukkan serta problema penafsiran seperti Asbab an nuzul,nasikh mansukh dan sebagainya.Adapun Al Farmawi mendefinisikannya adalah menafsirkan Al Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dahulu si mufasir bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang – orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata – kosakata Arab beserta muatan – matan artinya. Untuk menafsirkan dengan ijtihad, Tafsir bi ra'yu mulai muncul setelah berakhirnya masa salaf sekitar abad ke 3 H. Dan peradaban islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai madzhab dan aliran di kalangan islam. Masing – masing golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka. Seperti  Kaum fuqaha ( ahli fiqih )menafsirkan dari sudut hukum fiqih contohnya al Jashshas,Al Qurthubi dan lain - lain, kaum teolog menafsirkan dari sudut  pemahaman teologis seperti Al Kasysyaf karangan al Zamakhsyari, kaum sufi juga menafsirkan Al  Qur’an berdasarkan  pemahaman dan pengalaman batin seperti Tafsir al Qur’an al ‘Azim karangan Tustari,Futuhat Makkiyyat karangan Ibn ‘Arabi dan lain – lain. Selain itu dalam bidang  bahasa juga lahir tafsir seperti al Bahr al Muhith karangan Abu Hayyan dan lain – lain.[2] Berbagai corak tafsir bi ra’yu muncul di kalangan muta’akhirin, sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains seperti Tafsir al Manar dan al Jawahir. Manna’ al Qaththan berpendapat bahwa perkembangan  tafsir bi ra’yu mengalahkan perkembangan tafsur al ma’tsur.
B.  Macam – Macam Tafsir bi Ra’yu
            Mengeanai keabsahan Tafsir bi Ra’yu para Ulama terbagi ke dalam dua kelompok:[3]
1.      Kelompok yang melarang.
Ulama yang menolak penggunaan corak tafsir ini mengemukan argumentasi – argumentasi sebagai berikut:
a.       Menafsirkan Al Qur’an berdasarkan ra’yu berarti menbicarakan (firman )Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Allah berfirman QS. Al Isra’(17) :36
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
36.  Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.


b.      Yang berhak menjelaskan Al Qur’an hanyalah Nabi berdasarkan firman Allah QS. Al Nahl(16):64
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
64.  Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.


c.       Rasul bersabda:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْاَنِ بِرَاْيِهِ اَوْبِمَالَايَعْلَمُ فَلْيَثَبَوَّاْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa saja menafsirkan Al Qur’an atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka.
d.      Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati – hati ketika berbicara tentang penafsiran Al Qur’an.
2.      Kelompok yang mengizinkan
Ulama mengemukakan argumentasi - argumentasi berikut :
a.       Di dalam Al Qur’an banyak ditemukan ayat – ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan – kandungan.Misalnya QS.Muhammad (47): 24
Ÿxsùr& tbr㍭/ytGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
24.  Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?


b.      Seandainya tafsir bi ra’yi dilarang mengapa ijtihad diperbolehkan.Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat- ayat yang belum dijelaskan nabi.
c.       Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yunya. Seandainya tafsir bi ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
d.      Rasulullah pernah berdoa untuk Ibn Abbas  yang artinya “Ya Allah berilah pemahaman agama kepada Ibnu Abbas dan ajarilah Ia takwil.
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menukil riwayat saja, tentunya pengkhususan doa diatas untuk Ibn Abbas tidak bermakna apa – apa. Dengan demikian, maka takwil yang dimaksud dalam doa itu adalah sesuatu diluar penukilan yaitu ijtihad dan pemikiran.
Selanjutnya para Ulama membagi corak tafsir bi ra’yu terbagi dalam dua bagian: ada tafsir bi ra’yu yang dapat diterima/terpuji(mahmudah)dan ada pula yang ditolak/tercela(mazmum).[4]
1.      Tafsir Mahmud adalah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah – kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub – uslubnya dalam memahami teks Al Qur’an . Barang siapa yang menafsirkan Al Qur’an menurut ra’yunya atau ijtihadnya dengan memperhatikan ketentuan – ketentuan tersebut serta berpegang  pada makna –makna  Al Qur’an  maka penafsirannya dapat diambil. Tafsir dapat diterima selama menghindari hal – hal berikut:
a.       Memakasakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat,  sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
b.      Mencoba menafsirkan ayat – ayat yang maknanya hanya diketahui Allah.
c.       Menafsirkan Al Quur’an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan(menilai bahwa sesuatu itu baik semata – mata berdasarka persepsinya)
d.      Menafsirkan ayat untuk mendukung suatu madzhab yang dengan catra menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
e.       Menafsirkan Al Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki demikian . . .tanpa di dukung dalil.
Selama Mufassir bi ra’yu menghindari kelima hal diatas dengan disertai niat ikhlas semata – mata kaena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional.Jika tidak demikian, berarti ia menyimpan dari cara yang dibenarkan, sehingga penafsirannya tidak dapat diterima.

2.      Tafsir Mazmum adalah bila Al Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar – dasar bahasa dan syariat, atau kalam Allah itu ditafsirkan menurut pandangan yang salah da sesat, atau mendalami kalam Allah hanya berdasarkan pengetahuannya semata – mata, dimana ia menyatakan bahwa kalam Allah itu maksudnya ini . . . atau itu . . .tafsir yang semacam ini adalah tafsir yang salah.
Diantara contoh tafsir bi ra’yu yang tidak dapat diterima adalah sebagai berikut:[5]
a.       Penafsiran golongan Syiah terhadap kata “ Al Baqarah” QS.al Baqarah:67 ditafsirkan dengan Aisyah.
øŒÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù'tƒ br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏ­Gs?r& #Yrâèd ( tA$s% èŒqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ
67.  Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
b.      Penafsiran sebagian mufasir terhadap QS.Al Baqarah :74
§NèO ôM|¡s% Nä3ç/qè=è% .`ÏiB Ï÷èt/ šÏ9ºsŒ }Îgsù Íou$yÚÏtø:$$x. ÷rr& x©r& Zouqó¡s% 4 ¨bÎ)ur z`ÏB Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ㍤fxÿtFtƒ çm÷ZÏB ㍻yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o ßlã÷uŠsù çm÷YÏB âä!$yJø9$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku ô`ÏB ÏpuŠô±yz «!$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÐÍÈ
74.  Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.


Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada Allah.
c.       Penafsiran sebagian mufasir terhadap QS. An Nahl:68
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉσªB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur ̍yf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ
68.  Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",


Mereka berpendapat bahwa diantara lebah – lebah itu ada yang diangkat sebagai nabi – nabi yang diberi wahyu oleh Allah,dan mereka mengemukakan cerita yang bohong tentang kenabian lebah.Sementara itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindakan oleh lebah yang dengannya ia membuat sarang – sarang dan madu.
d.      Panafsiran sebagian orang terhadap QS. Ar Rahman(55):33
uŽ|³÷èyJ»tƒ Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ÈbÎ) öNçF÷èsÜtGó$# br& (#räàÿZs? ô`ÏB Í$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur (#räàÿR$$sù 4 Ÿw šcräàÿZs? žwÎ) 9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ
33.  Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.


Mereka menduga bahwa ayat diatas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuwan mendarat dibulan dan planet – planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian.
e.       Penafsiran sebagian orang terhadap QS.Al Humazah (104):6-7
â$tR «!$# äoys%qßJø9$# ÇÏÈ ÓÉL©9$# ßìÎ=©Üs? n?tã ÍoyÏ«øùF{$# ÇÐÈ
6.  (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,.7.Yang (membakar) sampai ke hati.
Mereka berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam – macam sinar yang berhasil ditemukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka menyeret ayat diatas pada makna yang tidak dimungkinkan jika dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya
C. Pedoman penafsiraan dengan ra’yu
            Faktor yang harus dipenuhi dalam penafsiran secara ra’yu terdiri atas empat pokok sebagaimana Az Zarkasi dalam kitabnya Al Burhan:[6]
1.      Bersandar pada apa yang berasal  dari rasulullah dengan berusah menghindarkan diri dari hadis – hadis yang daif dan maudhu’.
2.      Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu’(sampai kepada nabi).
3.      Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang  tidak tepat dalam bahasa arab.
4.      Bersandar pada yang dikehendaki oleh alur pembicaraan dan benar – benar ditinjukkan oleh aturan syara’.  
D. Syarat – Syarat dan Adab Mufasir
            Syarat – syarat yang harus dimiliki setiap mufasir:[7]
1.      Akidah yang benar, sebab kepribadian yang benar memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemiliknya.
2.      Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan madzhabnya seperti golongan Qadariyah, Syiah Rafidhah, Mu’tazilah dan para pendukung fanatik madzhab sejenis lainnya.
3.      Menafsirkan terlebih dahulu Al Qur’an dengan Al Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci ditempat lain dan sesuatu diungkapkan yang dikemukakan secara ringkas disuatu tempat telah diuraikan ditempat lain.
4.      Mencari penafsiran dari sunah, karena sunah berfungsi sebagai pensyarah Al Qur’an dan penjelasnya.
5.      Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunah, hendaklah melihat bagaimana pendapat sahabat. Karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al Qur’an.
6.      Apabila tidak ditemukan dalam Al Qur’an, sunnah dan pendapat para sahabat, maka sebagian besar ulama dalam hal ini merujuk kepada pendapat tabi’in.
7.      Pengetahuan bahasa Arab yang baik, karena Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
8.      Pengetahuan tentang prinsip – prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al Qur’an seperti ilmu qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafad – lafad) Al Qur’an, ilmu tauhid dengan ilmu ini diharapkan mufasir tidak menakwilkan ayat – ayat yang berkenaan dengan hak Allah dan sifat – sifatNya secara serampangan sehingga melampaui hakNya, mengetahui ilmu ushul terutama ushul at tafsir dan mendalami kaidah – kaidah yang dapat memperjelas sesuatu makana maksud – maksud Al Qur’an seperti pengetahuan tentang asbab an – nuzul, nasikh-mansukh.
9.      Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat mengukuhkan suatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash – nash syari’at.
D. Kitab – Kitab Tafsir bi Ra’yu yang Terpenting
            Di antara kitab – kitab tafsir bi ra’yu :[8]
1.      Tafsir al Jalalaini yang disusun oleh Jalaluddin Muhammad al Mahalliy dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman as Sayuithi.
2.      Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil yang terkenal dengan Tafsir al Baidlawi yang disusun oleh Nasruddin Ibn Said al Baidlawi.
3.      Tafsir Mafatihul Ghaibi yang terkenal dengan tafsir ar Razy yang disusun oleh Muhammad ibn Diya’uddin yang terkenal dengan Khathibur Ray.
4.      Tafsir Irsyadul Aqlis Salim Ila Mazayal Qur’anil Karim yang disusun Abus Su’ud Muhammad ibn Muhammad Ibn Musthafa ath Thahawi.
5.      Tafsir Ruhul Ma’ani yang disusun oleh Syihabuddin al Alusi.
6.      Tafsir Gharaibul Qur’an wa Raghaibul Furqan yang disusun oleh Nidhamuddin al Hasan Muhammad an Naisaburi.
7.      Tafsir as Sirajul Munir  fi I’anati ‘ala ma’rifati kalam Rabbinal Khabir yang disusun oleh Muhammad as Syarbini Al Khatib.
8.      Tafsir Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Wa haqa-iqut ta’wil yang disusun oleh Abu Barakat Abdullah Ibn Mahmud an Nasafiy.
9.      Tafsir al Khazin yang disusun oleh Alauddin Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim al Baghdadiy yang terkenal dengan nama al Khazin.


BAB III
PENUTUP
           
Dari uraian di atas yang telah kita bahas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi ra’yu adalah tafsir yang pola pemahaman terhadap ayat – ayat al qur’an dilakukan melalui ijtihad dengan menggunakan akal pikiran yang dalam prakteknya mendayagunakan seluruh kemampuan ilmu yang dimiliki guna membimbing umat manusia ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagian dan keselamatan di dunia dan akhirat.
















DAFTAR PUSTAKA

Al Ash Shaabuuniy ,Muhammad.At Tibyaan Fii Uluumil Qur’an.(Bandung :Pustaka         Setia,1998)terj.Aminuddin
Anwar, Rosihon.Ulum Al Qur’an.(Bandung:Pustaka setia,2008)
Ash Siddiq, Hasbi.Ilmu – Ilmu Al Qur’an.(Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
Baidan ,Nasruddin.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005)
Nawawi, Rif’at Syauqi.Pengantar Ilmu Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang,1992)


1 Muhammad Al Ash Shaabuuniy.At Tibyaan Fii Uluumil Qur’an.(Bandung :Pustaka     Setia,1998)terj.Aminuddin.h.258
[2] .Nasruddin Baidan.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005)h.376
[3] .Rosihon Anwar.Ulum Al Qur’an.(Bandung:Pustaka setia,2008)h.221-224
[4] . Muhammad Al Ash Shaabuuniy.opcit,.h.260
[5] Rosihon Anwar.Opcit,.h.224-226
[6]. Rif’at Syauqi Nawawi.Pengantar Ilmu Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang,1992)h. 155-156
[7] . Syeikh Manna’ Al Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an.(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006)h. 414 - 418
[8] .Hasbi Ash Siddiq.Ilmu – Ilmu Al Qur’an.(Jakarta: Bulan Bintang, 1993)h.242
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved