Bulan Dzulhijah, kalau di Indonesia, di Jawa khususnya. Adalah bulan dimana yang
paling banyak orang hajatan, terutama pernikahan. Entah ada apa dibalik
semua itu, ada filsafatnya atau tidak saya sebenarnya juga kurang tahu.
Bicara masalah menikah, saya jadi teringat dengan beberapa sahabat saya
yang memilih mengakhirkan pernikahannya, dan sebagian lainnya memilih
mempercepat. Kedua-duanya tentunya punya alas an sendiri-sendiri. Bahkan
ada yang berpikir dan berharap setelah menikah beban menjadi lebih
ringan dan segalanya menjadi lebih indah.
Menikah tidak seperti yang dibayangkan para remaja
umumnya, yang menganggap setelah menikah ia akan selalu diliputi
masa-masa indah. Masa-masa penuh gairah dan penuh kebahagiaan. Hidup
bersama orang yang selama itu ia nantikan, ia puja dan ia dicinta.
“Banyak bayangan-bayangan indah yang menyelimuti kaum remaja saat ia
memutuskan memasuki dunia pernikahan. Bayangan-bayangan kehidupan
bersama yang dilewati berdua yang penuh cinta, romantisme serta
kebahagiaan.
Hal-hal diatas memang tak sepenuhnya salah, karena
memang ada masa-masa seperti itu. Namun disamping adanya saat-saat indah
bersama, ada banyak hal yang harus dilewati. Ada banyak hal yang harus
disiapkan pra nikah, mulai dari kesiapan secara lahiriah maupun
batiniah. Setelah menikahpun bermacam permasalahan juga sudah menanti.
Hal ini kadang yang tidak terpikirkan oleh mereka, sehingga sering kali
mereka nekat menembus jalan pintas saat orangtua menasehati untuk
menundanya.
Diumpakan seperti saat kita melihat orang naik
mobil mewah. Sontak, hati kita berkata, alangkah bahagianya orang itu?
Tampang yang tidak terlalu keren, karena mobilnya mewah cewek-cewek pada
ngantri untuk dinikahi. Orangpun jadi segan menghadapi, dan segala
kalimat yang dituturkan lebih banyak yang respek. Dia tidak tahu, kalau
orang yang naik mobil mewah itu harus bekerja lebih keras karena
anggaran keuangannya berlipat ganda dari yang tidak memiliki mobil. Buat
beli bahan bakar, parkir, servis ini dan itu. Dan orang yang naik mobil
itu pun suatu saat berpikir, ketika dia terperangkap dalam kemacetan
lalu lintas.
Saat dia melihat pengendara sepeda motor, yang
dengan gesit meliuk-liuk, menelusup diantara sesaknya kendaraan lain
hingga mampu berada jauh di depan. Dia pun mengeluh, alangkah baiknya
kalau aku naik sepeda motor seperti orang itu. Sudah pun cepat sampai ke
tempat tujuan, biaya operasionalnya murah lagi. Keren pisan. Padahal
pada waktu yang sama barangkali si penunggang sepeda motor sedang
memikirkan, “kapan ya aku bisa mengendarai mobil ditengah-tengah
macemnya kota begini. Hujan nggak kehujanan, panas nggak kepanasan,
tinggal mengidupkan AC, mendengarkan musik, tahu-tahu sudah sampai
tujuan.”
Begitu juga dengan pernikahan, kita sering mudah
mentafsirkannya. Rumput tetangga nampak lebih hijau dan subur. Kita pun
sering mengambil kesimpulan bahwa, pasti bahagia kalau seandainya kita
memilikinya. Dan parahnya kita menjadikannya barometer kebahagiaan dan
kesuksesan kita sendiri dengan apa yang dimiliki oranglain. Padahal,
apabila kita benar-benar mendapat apa yang kita inginkan itu, belum
tentu kita bisa bahagia dan senang seperti apa yang kita bayangkan
semula, karena ia juga datang bersama masalah.
Benar apa yang dikatakan seorang guru agama saya,
banyak orang yang menderita, layaknya masuk ke neraka begitu ia
berumahtangga. Karena tidak lagi mengindahkan ijab dan kobul. Sedangkan
ijab kobul, selain menghalalkan hubungan suami istri, banyak
tanggungjawab yang terpaksa dipikul bersama. Apabila mereka gagal
melaksanakannya, sama halnya mereka menumpuk dosa, seterusnya dosa-dosa
itu menjadi jambatan ke neraka. Tapi apabila mereka berhasil
melakukannya dengan baik, maka rumahtangga adalah sumber dan ladang
pahala buat pasangan tersebut.
Bahkan ada juga sahabat saya yang kemudian
menyesali pernikahannya, yang dulu sangat diharapkan dan diperjuangkan
dengan mati-matian. Malah ada yang sanggup berkorban apa saja agar dapat
dipersatukan dalam pernikahan dengan kekasih hatinya. Cinta mereka yang
suci akhirnya ternodai dan menjadi korban nafsu duniawi dan kenikmatan
sesaat. Untuk itu, sebelum jauh melangkah, hendaknya kita berpikir
sekian kali. Apakah benar kita sudah siap dengan segala resikonya.
Apakah benar kita sudah mampu mengemban amanah Allah berupa seorang anak
manusia, istri, suami juga anak-anak yang akan lahir setelah itu?
Jika belum sanggup untuk menyandang gelar isteri
tidak usah nikah dulu. Jika merasakan diri belum cukup ilmu untuk
bergelar ibu ataupun ayah, belajarlah dulu. Jika sekiranya belum
bersedia untuk bersabar menghadapi rewel dan repotnya seorang anak, ya
belajar dan berusaha dulu untuk mengendalikan emosi dan kesabaran. Bila
masih belum siap mengabdi pada suami, melayani dan direpotkan suami, ya,
jangan nikah dulu.
Sebab kenyataannya banyak yang tidak bersedia untuk
melangkah tetapi telah melompat. Yang tidak mendengarkan nasehat
orangtua, tidak mengikuti syariah, dan tidak memikirkan dengan matang
berat dan ringannya. Yang sudah menikah pun banyak yang akhirnya
meningalkan suami/istrinya, meniggalkan keluarga karena merasa tidak
suka di kekang dan dengan dalil untuk memperbaiki masa depan. Akhirnya
dia meninggalkan rumah dan tidak pulang-pulang. Padahal, itu bukan
satu-satunya jalan keluar yang terbaik. Dan cenderung dekat dengan
bahaya. Akhirnya malah jatuh terjerumus dan susah mencari jalan saat dia
akan merangkak naik.
Suatu malam, seorang sahabat tiba-tiba mengirim SMS
yang isinya adalah cuplikan kalimat dari buku “Ketika Hati Rindu
Menikah” karya Mas Udik Abdullah. Yang isinya sebagai beriktu, “bila
malam sudah terasa sepi dibanding masa-masa sebelumnya. Bila hangat
persahabatan tak lagi cukup untukmencurahkan isi hati . bila
hati merindukan kasih saying dikala resah. Bila hati mendambakan
pelindung dan pemberi motivafsi dikala dirinya lemah. Bila hati mulai
cenderung dan merasa tentram disisi lawan jenisnya. Maka apakah yang
kita cari selain pernikahan?”
Ya, merindukan pasangan hidup merupakan fitrah
manusia. Biasanya kerinduan ini semakin tak tertahankan saat usia
semakin dewasa. Namun demikian ada sebagian orang yang sebenarnya sudah
siap untuk menikah dan sudah sekian lama menanti, tapi jodoh tidak
kunjung datang jua. Ada pula, yang sebenarnya sudah menemukan tambatan
hati, tapi rasa ragu dan bimbang sering mewarnai dan mendominasi
langkahnya. Walau keinginan untuk menikah sudah sangat kuat. Masih saja
timbul ketakutan, sehingga belum berani untuk segera menikah karena
suatu alasan yang sebenarnya bisa diatasi jika ia tahu caranya.
Dari semua keadaan itu, masih ada hikmah dan
nikmatnya bila orang tersebut mau menggali dan mengkaji. Sabar dan
berserah diri sepenuhnya pada ketentuan Allah sambil berusaha untuk
mendapatkan yang terbaik. Terlambat menikah tidak masalah, asalkan
dengan begitu seseorang itu bisa lebih matang dan siap menyandang gelar
istri. Seperti peribahasa berikut ini.
“Adakalanya Allah menyembunyikan matahari, mendung
menggelayut sepanjang hari. Petir dan kilat menyambar-nyambar layaknya
teroris, yang menakut-nakuti kita. Dan kita menangis lalu bertanya,
kemana hilangnya sinar matahari? Rupa-rupanya, Allah mau menghadiahkan
pelangi pelangi pada kita.”
Teriring doa, semoga saudara-saudara yang terlambat
menikah, tidak berkecil hati dan Allah menganugerahkan yang terindah
buatnya. Dan kelak, dia bisa menjadi perhiasan dunia yang paling indah.
Istri saleha. Sekarang, saat pergantian tahun baru. Tidak ada salahnya,
bila mencoba membuat perencanaan yang lebih matang. Efaluasi diri,
introspeksi dan membuat target tahun depan. Dan berdoa, semoga Allah
mengabulkan.(NC)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !