Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » Menikah Itu Indah

Menikah Itu Indah



Bulan Dzulhijah, kalau di Indonesia, di Jawa khususnya. Adalah bulan dimana yang paling banyak orang hajatan, terutama pernikahan. Entah ada apa dibalik semua itu, ada filsafatnya atau tidak saya sebenarnya juga kurang tahu. Bicara masalah menikah, saya jadi teringat dengan beberapa sahabat saya yang memilih mengakhirkan pernikahannya, dan sebagian lainnya memilih mempercepat. Kedua-duanya tentunya punya alas an sendiri-sendiri. Bahkan ada yang berpikir dan berharap setelah menikah beban menjadi lebih ringan dan segalanya menjadi lebih indah.
Menikah tidak seperti yang dibayangkan para remaja umumnya, yang menganggap setelah menikah ia akan selalu diliputi masa-masa indah. Masa-masa penuh gairah dan penuh kebahagiaan. Hidup bersama orang yang selama itu ia nantikan, ia puja dan ia dicinta. “Banyak bayangan-bayangan indah yang menyelimuti kaum remaja saat ia memutuskan memasuki dunia pernikahan. Bayangan-bayangan kehidupan bersama yang dilewati berdua yang penuh cinta, romantisme serta kebahagiaan.
Hal-hal diatas memang tak sepenuhnya salah, karena memang ada masa-masa seperti itu. Namun disamping adanya saat-saat indah bersama, ada banyak hal yang harus dilewati. Ada banyak hal yang harus disiapkan pra nikah, mulai dari kesiapan secara lahiriah maupun batiniah. Setelah menikahpun bermacam permasalahan juga sudah menanti. Hal ini kadang yang tidak terpikirkan oleh mereka, sehingga sering kali mereka nekat menembus jalan pintas saat orangtua menasehati untuk menundanya.
Diumpakan seperti saat kita melihat orang naik mobil mewah. Sontak, hati kita berkata, alangkah bahagianya orang itu? Tampang yang tidak terlalu keren, karena mobilnya mewah cewek-cewek pada ngantri untuk dinikahi. Orangpun jadi segan menghadapi, dan segala kalimat yang dituturkan lebih banyak yang respek. Dia tidak tahu, kalau orang yang naik mobil mewah itu harus bekerja lebih keras karena anggaran keuangannya berlipat ganda dari yang tidak memiliki mobil. Buat beli bahan bakar, parkir, servis ini dan itu. Dan orang yang naik mobil itu pun suatu saat berpikir, ketika dia terperangkap dalam kemacetan lalu lintas.
Saat dia melihat pengendara sepeda motor, yang dengan gesit meliuk-liuk, menelusup diantara sesaknya kendaraan lain hingga mampu berada jauh di depan. Dia pun mengeluh, alangkah baiknya kalau aku naik sepeda motor seperti orang itu. Sudah pun cepat sampai ke tempat tujuan, biaya operasionalnya murah lagi. Keren pisan. Padahal pada waktu yang sama barangkali si penunggang sepeda motor sedang memikirkan, “kapan ya aku bisa mengendarai mobil ditengah-tengah macemnya kota begini. Hujan nggak kehujanan, panas nggak kepanasan, tinggal mengidupkan AC, mendengarkan musik, tahu-tahu sudah sampai tujuan.”
Begitu juga dengan pernikahan, kita sering mudah mentafsirkannya. Rumput tetangga nampak lebih hijau dan subur. Kita pun sering mengambil kesimpulan bahwa, pasti bahagia kalau seandainya kita memilikinya. Dan parahnya kita menjadikannya barometer kebahagiaan dan kesuksesan kita sendiri dengan apa yang dimiliki oranglain. Padahal, apabila kita benar-benar mendapat apa yang kita inginkan itu, belum tentu kita bisa bahagia dan senang seperti apa yang kita bayangkan semula, karena ia juga datang bersama masalah.
Benar apa yang dikatakan seorang guru agama saya, banyak orang yang menderita, layaknya masuk ke neraka begitu ia berumahtangga. Karena tidak lagi mengindahkan ijab dan kobul. Sedangkan ijab kobul, selain menghalalkan hubungan suami istri, banyak tanggungjawab yang terpaksa dipikul bersama. Apabila mereka gagal melaksanakannya, sama halnya mereka menumpuk dosa, seterusnya dosa-dosa itu menjadi jambatan ke neraka. Tapi apabila mereka berhasil melakukannya dengan baik, maka rumahtangga adalah sumber dan ladang pahala buat pasangan tersebut.
Bahkan ada juga sahabat saya yang kemudian menyesali pernikahannya, yang dulu sangat diharapkan dan diperjuangkan dengan mati-matian. Malah ada yang sanggup berkorban apa saja agar dapat dipersatukan dalam pernikahan dengan kekasih hatinya. Cinta mereka yang suci akhirnya ternodai dan menjadi korban nafsu duniawi dan kenikmatan sesaat. Untuk itu, sebelum jauh melangkah, hendaknya kita berpikir sekian kali. Apakah benar kita sudah siap dengan segala resikonya. Apakah benar kita sudah mampu mengemban amanah Allah berupa seorang anak manusia, istri, suami juga anak-anak yang akan lahir setelah itu?
Jika belum sanggup untuk menyandang gelar isteri tidak usah nikah dulu. Jika merasakan diri belum cukup ilmu untuk bergelar ibu ataupun ayah, belajarlah dulu. Jika sekiranya belum bersedia untuk bersabar menghadapi rewel dan repotnya seorang anak, ya belajar dan berusaha dulu untuk mengendalikan emosi dan kesabaran. Bila masih belum siap mengabdi pada suami, melayani dan direpotkan suami, ya, jangan nikah dulu.
Sebab kenyataannya banyak yang tidak bersedia untuk melangkah tetapi telah melompat. Yang tidak mendengarkan nasehat orangtua, tidak mengikuti syariah, dan tidak memikirkan dengan matang berat dan ringannya. Yang sudah menikah pun banyak yang akhirnya meningalkan suami/istrinya, meniggalkan keluarga karena merasa tidak suka di kekang dan dengan dalil untuk memperbaiki masa depan. Akhirnya dia meninggalkan rumah dan tidak pulang-pulang. Padahal, itu bukan satu-satunya jalan keluar yang terbaik. Dan cenderung dekat dengan bahaya. Akhirnya malah jatuh terjerumus dan susah mencari jalan saat dia akan merangkak naik.
Suatu malam, seorang sahabat tiba-tiba mengirim SMS yang isinya adalah cuplikan kalimat dari buku “Ketika Hati Rindu Menikah” karya Mas Udik Abdullah. Yang isinya sebagai beriktu, “bila malam sudah terasa sepi dibanding masa-masa sebelumnya. Bila hangat persahabatan tak lagi cukup untukmencurahkan isi hati . bila hati merindukan kasih saying dikala resah. Bila hati mendambakan pelindung dan pemberi motivafsi dikala dirinya lemah. Bila hati mulai cenderung dan merasa tentram disisi lawan jenisnya. Maka apakah yang kita cari selain pernikahan?”
Ya, merindukan pasangan hidup merupakan fitrah manusia. Biasanya kerinduan ini semakin tak tertahankan saat usia semakin dewasa. Namun demikian ada sebagian orang yang sebenarnya sudah siap untuk menikah dan sudah sekian lama menanti, tapi jodoh tidak kunjung datang jua. Ada pula, yang sebenarnya sudah menemukan tambatan hati, tapi rasa ragu dan bimbang sering mewarnai dan mendominasi langkahnya. Walau keinginan untuk menikah sudah sangat kuat. Masih saja timbul ketakutan, sehingga belum berani untuk segera menikah karena suatu alasan yang sebenarnya bisa diatasi jika ia tahu caranya.
Dari semua keadaan itu, masih ada hikmah dan nikmatnya bila orang tersebut mau menggali dan mengkaji. Sabar dan berserah diri sepenuhnya pada ketentuan Allah sambil berusaha untuk mendapatkan yang terbaik. Terlambat menikah tidak masalah, asalkan dengan begitu seseorang itu bisa lebih matang dan siap menyandang gelar istri. Seperti peribahasa berikut ini.
“Adakalanya Allah menyembunyikan matahari, mendung menggelayut sepanjang hari. Petir dan kilat menyambar-nyambar layaknya teroris, yang menakut-nakuti kita. Dan kita menangis lalu bertanya, kemana hilangnya sinar matahari? Rupa-rupanya, Allah mau menghadiahkan pelangi pelangi pada kita.”
Teriring doa, semoga saudara-saudara yang terlambat menikah, tidak berkecil hati dan Allah menganugerahkan yang terindah buatnya. Dan kelak, dia bisa menjadi perhiasan dunia yang paling indah. Istri saleha. Sekarang, saat pergantian tahun baru. Tidak ada salahnya, bila mencoba membuat perencanaan yang lebih matang. Efaluasi diri, introspeksi dan membuat target tahun depan. Dan berdoa, semoga Allah mengabulkan.(NC)
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved