BAB I
PENDAHULUAN
Pada
abad ke-6 hijriah kehidupan Islam kelihatan agak lesu karena melemahnya
kegiatan pencarian Hadis sampai pada
awal abad tersebut dalam masyarakat Islam belum terdapat madrasah-madrasah yang
mempelajari hadis. Selanjutnya pada abad
tersebut untuk pertama kali berdiri
madrasah hadis atas prakarsa Nuruddin bin Abu Said Zanki (569 H) yang kemudian
namanya diabadikan dengan mendirikan Madrasah an-Nuriyah di Damaskus, salah
seorang guru di madrasah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian sahabat dan tabi'in
Kata sahabat menurut lughah jamak dari sahib artinya yang
menyertai. Menurut para ulama yang disebut "sahabat" adalah orang
yang bertemu dengan Nabi saw dalam keadaan beriman dan meninggal dunia sebagai
pemeluk Islam. Maka, orang yang bertemu dengan Nabi sedang dia belum memeluk
agama Islam, maka tidaklah dipandang sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan
beriman kepadanya tetapi tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau
menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzu'aib, yang pergi dari
rumahnya setelah ia beriman untuk menjumpai Nabi di Madinah. Setiba di Madinah, Nabi telah
wafat. Maka, baik Najasi dan Abu Dzu'aib, mereka berdua termasuk
sahabat Nabi.
Ditandaskan oleh al-Hafidl, bahwa pendapat yang paling shahih yang
telah diketemukannya bahwa arti sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi
dalam keadaan dia beriman dan meninggal dalam islam, baik lama ia bergaul
dengan Nabi atau tidak, baik dia turut berperang bersama Nabi atau tidak, baik
dia dapat melihat Nabi meskipun tidak dalam satu majelis dengan Nabi, atau dia
tidak dapat melihat Nabi karena buta.
Menurut Usman ibnu Shalih, yang dikatakan sahabat adalah orang yang
menemui masa Nabi, walaupun dia tidak dapat melihat Nabi dan ia memeluk Islam
semasa Nabi masih hidup.
Sebagian 'ulama Ushul berpendapat bahwa yang dimaksud sahabat
adalah orang yang berjumpa dengan Rasul dan lama pula persahabatannya dengan
beliau walaupun tidak meriwayatkan hadis dari beliau.
Menurut al-Khudlari menerangkan dalam Ushul Fiqhnya: "tidak
dipandang seseorang, menjadi sahabat, melainkan orang yang berkediaman bersama
Nabi satu tahun atau dua tahun". Tetapi an-Nawawi membantah faham ini
dengan alasan kalau yang dmaksud sahabi yaitu orang yang menyertai Nabi satu
atau dua tahun, tentulah tidak boleh kita katakan Jarir al-Bajali seorang
sahabat.
Tabi'I menurut bahasa yaitu pengikut. Sedangkan yang disebut "tabi'in"
menurut istilah adalah orang yang bertemu dengan sahabat dan beriman kepada
Nabi saw serta meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Islam.
Tentang hal ini al-Khatib al-Baghdadi mensyaratkan adanya
persahabatan dengan sahabat, jadi bukan hanya bertemu.
Para ulama' berbeda pendapat dalam memahami Tabi'in. as-Suyuthi berpendapat dalam al-Iahnya bahwa
Tabi'in dalah mereka yang berjumpa dengan sahabat yang sepuluh yang diakui
dijamin masuk surga. Al-Hakim mendefinisikan Tabi'in yaitu mereka yang
mendengar Hadis dari sahabat yang sepuluh.
B.
Periwayatan Sahabat
عن أبي هريرة رضي الله عنه قا ل : قا رسو ل الله ص م من حسن المرءي تر
كه ما لا يعنيه (رواه التر مذ ى و غير ه )
Artinya: "dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,
setengah dari tanda kebaikan adalah meninggalkan perkara yang tidak
berfaidah".( HR. Tirmidzi)[1]
C.
Sahabat / Tabi'in Shighar
dan Kibar
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih sungguh-sungguh
untuk mencari dan menghafal hadis serta
menebarkannya ke dalam masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan
untuk mencari hadis.
Pada tahun 17 H, tentara islam mengalahkan Syam dan Iraq. Pada
tahun 20 H, tentara Islam mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H, mengalahkan
Persia. Kemudian pada tahun 56 H, tentara Islam sampe di Samarkand. Dan pada
tahun 93 H, tentara Islam menaklukkan Spanyol.
Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Karenanya kota-kota
itu merupakan perguruan tempat mengajarkan Al-Qur'an dan al-Hadis, tempat
mengeluarkan sarjana-sarjana tabi'in hadis.
Menurut riwayat al-bukhari, Ahmad, at-Thabrany dan al-Baihaqy,
Jabir pernah pergi ke Syam melakukan perlawatan sebulan lamanya untuk
menanyakan sebuah hadis yang belum pernah didengar pada seorang shahaby yang
tinggal di Syam yaitu Abdullah ibnu Unais al-Anshary. Begitu juga dengan
Abul Ayyub al-Anshary pernah pergi ke Mesir untuk menemui Uqbah ibnu Amir
lantaran keperluan untuk bertanya sebuah hadis kepadanya.
Dengan masuknya hadis ke dalam fase ini, mulailah hadis-hadis
diberikan perhatian dengan sempurna. Para tabi'in berusaha menjumpai sahabat ke
tempat-tempat yang jauh dan memindahkan isi hati mereka sebelum mereka pulang .
Dalam fase ini, terkenallah beberapa orang sahabat dengan julukan "bendaharawan
hadis" yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadis. Di
antaranya adalah: Abu Hurairah, menurut hitungan Ibnu Jauzy beliau meriwayatkan
5374 hadis. Sedangkan menurut al-Kirmany beliau meriwayatkan 5364 hadis.
'Aisyah yaitu istri Nabi meriwayatkan 2210 hadis. Anas bin malik meriwayatkan
2276 hadis. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1660 hadis. Abdullah ibnu Umar
meriwayatkan 2630 hadis. Jabir ibnu Abdullah meriwayatkan 1540 hadis. Abu Sa'id
al-Khudry meriwayatkan 1170 hadis dan Abdullah ibnu Amr ibnu 'Ash meriwayatkan
hadis dari buku catatan yang dinamai "as-Shadiqah".
Adapun tokoh-tokoh hadis dalam kalangan tabi'in diantaranya yaitu:
1.
Di
Madinah: Sa'id, 'urwah, Abu Bakr ibnu Abdurrahman ibnu al-Harits ibnu
Hisyam, Salim ibnu Abdullah ibnu Umar dan lain-lain.
2.
Di Makkah:
Ikrimah, Atha ibnu Abi Rabah, Abul Zubair, Muhammad ibnu Muslim.
3.
Di Kufah:
Asy-Sya'bi, Ibrahim an-Nakha'I, Alqamah an-Nakha'i.
4.
Di basrah:
Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin dan Qatadah.
5.
Di Syam:
'Umar ibnu Abdil Aziz, Qabishah ibnu Dzuaib, Makhul Ka'bul Akbar.
6.
Di Mesir:
Abul Khair Martsad ibnu Abdullah al-Yaziny dan Yazid ibnu Habib.
7.
Di Yaman:
Thaus ibnu Kaisan al-Yamani dan Wahab ibnu Munabbih.[2]
D.
Keadilan Sahabat
Kalau kita melihat pujian Nabi saw kepada sahabat-sahabatnya,
begitu juga pujian Allah dibeberapa tempat dalam Al-Qur'an, maka tidak boleh
tidak kita mesti tetapkan bahwa sahabat-sahabat semua bersifat sifat adil dalam
meriwayatkan hadis, yakni mereka tidak khianat dan dusta dalam menyampaikan
sabda-sabda dan perjalanan Nabi saw.
Tetapi oleh karena mereka juga manusia seperti kita, maka terkadang
ada kekeliruan atau kesalahan dalam menyampaikan Hadis atau Riwayat.
Pendeknya, diri sahabat tidak usah kita ragukan lagi. Tetapi yang
perlu kita periksa yaitu hadis yang telah driwayatkannya.[3]
BAB
III
PENUTUP
Kata sahabat menurut lughah
jamak dari sahib artinya yang menyertai. Menurut para ulama yang disebut
"sahabat" adalah orang yang bertemu dengan Nabi saw dalam keadaan
beriman dan meninggal dunia sebagai pemeluk Islam. Maka, orang yang bertemu
dengan Nabi sedang dia belum memeluk agama Islam, maka tidaklah dipandang
sahabat. Orang yang menemui masa Nabi dan beriman kepadanya tetapi tidak
menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat,
seperti Abu Dzu'aib, yang pergi dari rumahnya setelah ia beriman untuk
menjumpai Nabi di Madinah. Setiba di
Madinah, Nabi telah wafat. Maka, baik Najasi dan Abu Dzu'aib,
mereka berdua termasuk sahabat Nabi.
Tabi'I menurut bahasa yaitu pengikut. Sedangkan yang disebut "tabi'in" menurut
istilah adalah orang yang bertemu dengan sahabat dan beriman kepada Nabi saw
serta meninggal dunia dalam keadaan beriman kepada Islam.[4]
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !