FILSAFAT EKSISTENSIALISME
A. Pendahuluan
Eksistensialisme merupakan suatu aliran
dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia. Dimana manusia dipandang
sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di
dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme
adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksisteasionalisme
yunani, yaitu selau melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan manusia
secara dinamis sehingga ada unsure berbuat dan menjadi, manusia di pandang
sebagai realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman
yang konkret.
Jadi dapat disimpulkan eksistensialisme
memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaanya itu selalu
ditentekan oleh dirinya, karena hanyalah manusia yang dapat bereksistensi, yang
sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum
eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya
eksistensialisme itu.[1]
Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi
maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit
gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut dipaparkan pengertiannya.
Kata
dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal
dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistensi yang berarti berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan
keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut
dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).[2]
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Untuk
lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya
dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi
adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah
aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain
tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara
beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di
dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,
batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai
arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang
sadar. Barang-barang yang disadarinyadisebutobyek.[3]
2.
Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat
eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia
walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat
bertahan dari berbagai kritik. Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis
berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok
pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji[4].
Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang
lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau
merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi
dan kondisi dunia, yaitu:
v Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
v Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.[5]
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.[5]
v Situasi
dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong
juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat
dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku
manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh
rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang
disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela,
nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami
krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu
memberikan makna pada kehidupan.
3.
Tokoh tokoh Eksistensialisme dan
Ajarannya
Tokoh-tokoh
eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich
Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun
dalam makalah ini penulis membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili
tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
v Soren
Aabye Kierkegaard
Soren
Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika
ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di
Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di
Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin
hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis
religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.[6]
Pada
tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi
(The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan
kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel
yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig
Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan
ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya
adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku
yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847,
Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The
Sickness into Death) tahun1948).[7]
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
a. Tentangn Manusia.
a. Tentangn Manusia.
Kierkegaard
menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi"
bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman,
pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah
tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan
dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan
Buber.
Alur
pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya
menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara
umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar
kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi
agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu.
Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel
akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan
makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan
jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya,
yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya
menjadi seorang kristiani.[8]
Kierkegaard
bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena
Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea
yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai
sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang
sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen
sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan
terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.[9]
Penekanan
Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya,
pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak
menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi
penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan YangMahaKuasa.[10]
b. Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard
mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi
manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi
dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya
manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah,
bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi
kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini
semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru
terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan
manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang
menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil
keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti
sebenarnya.[11]
Kierkegaard
membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius.[12]
Eksistensi
estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia
sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang
dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak
mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
Eksistensi etis, Setelah manusia menikmati
fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan
hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus
memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai
contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur
perkawinan (etis).
Eksistensi religious, Bentuk ini tidak lagi
membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari
manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut
Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius
hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
c. Teodise
c. Teodise
Menurut
Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat
jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas
segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya.
Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam
kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang
itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan
tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana
manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.[13]
Selanjutnya
ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah
menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya
orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard
iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau
memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa
benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.[14]
v Jean Paul Sartre
Jean
Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari
keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan
ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas
Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh
ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre
dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan
bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi
ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif
terhadap hidup masa kanak-kanaknya.[15]
Meski
Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan
menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut
agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya
Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra
adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya
sebagai pengarang.
Sartre
tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa
nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu
lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri.
Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu.
Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.
Pada
tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode
ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi
dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui
karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang
sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini membicarakan tentang
alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi
tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan
kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia
tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan
yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya.
Ide-ide
pokok Sartre adalah sebagai berikut:
a.Tentang Manusia
Bagi
Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan
kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti
dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup
dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat
membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee
(1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan
keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak.
Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari
kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul
beban tanggung jawab.[16]
Sartre
mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya
dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni
memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus
membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka
dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang
memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia
itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada seperti apa yang ia inginkan
sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan
dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri
dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi
Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan
kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap
tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
2. Mauvaise Foi
Konsep
ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui
dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini
menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung
pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu
diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
3. Kebebasan
Dalam
pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan
manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu
eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat
diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran
eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya
dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak
dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab
saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi
kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat
kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[17]
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[17]
C.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa:
Meski bermacam-macam pandangan dan metode dan
sikap dalam gerakan eksistensialisme, para filsuf dari kelompok ini senantiasa
memperhatikan kedudukan manusia. Titik sentral pembicaraan mereka adalah soal
keterasingan manusia dengan dirinya dan dengan dunia.
Gerakan
eksistensialisme ini muncul sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat
terdahulu, yaitu materialisme dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia
pada umumnya yang tidak menentu. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh
imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut
konvensi atau tradisi.
Kierkegaard
dan Sartre merupakan tokoh yang mewakili aliran eksistensialime ini. Dari latar
belakang yang berbeda yang satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung
konsep tentang keberdaan manusia sebagai subyek di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin,
Djakarta:Balai Pustaka.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme,
Jakarta:Rineka Cipta.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta:Kanisius.
Hasan, Fuad. 1974. Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang.
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak
Thales sampai James, Bandung: PT.Remaja Rosda Karya.
Titus, Smith dan Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat
Terj. H.M. RasjidiJ akarta: Bulan Bintang.
[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang.
1974), hlm. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales
sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[3]Ibid hlm 192-193
[4] R.F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin
(Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11
[5] Ahmad tafsir opcit hlm 192-193
[6] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka
Cipta. 1990), cet. ke-1, hlm. 47
[7] Ibid hlm 48-49
[8] ibid
[9] Smith Titus dan
Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj.
H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan Bintang. 1984), hlm. 388.
[10] ibid
[11] M dagun opcit hlm50-51
[12] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius.
1980), hlm. 125
[13] M dagun op cit hlm 52
[14] Smith Titus dan Nolan
op cit hlm 388
[15] M dagun op cit hlm 94
[16] Ibid 96
[17] Iibid 108
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !