Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » George Sale dan Theodor Noldeke

George Sale dan Theodor Noldeke

PENDAHULUAN

Kegiatan orientalis ini bermula di Spanyol (Andalus) pada tahun ke tujuh Hijriyah ketika sedang berlakunya peperangan antara pasukan Salib dengan kaum muslimin. Maka Alfonso, Raja Kastilia, memanggil Michael Schot untuk membahas ilmu-ilmu kaum muslimin dan peradaban mereka. Lalu Schot mengumpulkan pendeta-pendeta di daerah yang berdekatan dengan kota Toli-Toli dan mereka terjemahkan beberapa buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Prancis. Kemudian Schot menyerahkannya kepada Raja Sicilia yang telah memerintahkan pembuatan naskah tersebut dan mengirimkannya ke Universitas Paris sebagai hadiah. Dan Uskup Agung Toli-Toli, Reymond Lul, melakukan penerjemahan dengan tekun. Setelah itu maka orang-orang Eropa aktif melakukan penerjemahan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu ketuhanan, ilmu kedokteran, ilmu pasti, ilmu falak dan lain-lainnya.
Dan banyak orang yang berpendapat bahwa orientalis itu lahir dari imperialisme dan missionarisme. Imperialisme memandang bahwa pemahaman islam secara benar akan memberikan kekuatan kepada masyarakat Islam sehingga dapat menangkal kesewenangan imperialisme. Maka bekerjalah para orientalis untuk merusak akidah Islam. Mereka mencampuradukkan ide-ide dan pemikiran yang benar dengan yang salah dari negara-negara yang menang dan yang dikalahkan yang mereka sebut dengan, peradaban, keduniaan atau penyatuan kebudayaan dan pemikiran manusia. Pada permulaan abad ke 13 hijrah (akhir abad ke 18 Masehi) kaum orientalis sengaja mengubah metode dan strategi. Mereka menggunakan metode baru yang dianggap mampu membebaskan orientalis dari tujuan missionarisme. Mereka mengarahkan program hanya untuk pengkajian ilmiah semata mata. Maka didirikanlah pengajian perguruan tinggi untuk mempelajari bahasa-bahasa Timur di ibukota negara-negara Eropa, seperti London, Paris, Leiden, Berlin dan sebagainya. Dan di sana diadakan jurusan khusus untuk mempelajari bahasa Arab dan bahasa-bahasa negeri Islam yang lain, seperti bahasa Parsi, Turki, Urdu dan lain-lain. Tujuannya ialah untuk membekali pemerintah imperialis dengan wartawan-wartawan yang piawai dan tahu seluk-beluk dunia Islam. Maka banyaklah mahasiswa muslim yang tertarik untuk kuliah di sana. Dan sudah tentu pemikiran-pemikiran tentang Islam yang dikuliahkan di sana mempengaruhi mahasiswa muslim tersebut. Selanjutnya para orientalis berusaha mengembangkan program mereka untuk mendirikan perguruan tinggi.
Bahaya yang ditimbulkan oleh kaum orientalis semakin jelas, baik dalam bidang pendidikan, kebudayaan, ataupun pemikiran. Mereka berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk mencari penyokong dan pengikut yang dapat membantu mereka menyebarkan kebohongan tentang Islam dan memerangi akidah, akhlak, dan hukum-hukum Islam sesuai dengan yang mereka inginkan. Thaha Husein adalah termasuk kelompok pertama orang yang mengagumi dan menjunjung tinggi metode kaum orientalis. Dia mengibarkan bendera untuk membela hawa nafsu kaum orientalis. Keyakinan Thaha Husein terhadap pemikiran Barat dan orientalis melebihi keyakinan kaum orientalis itu sendiri. Begitulah dia mengikuti mereka dan merasa sangat puas hati terhadap apa yang mereka katakan, sehingga dalam masalah-masalah yang membahayakan sekalipun. Seperti pendapat mereka tentang kemanusiaan Rasulullah dan Al-Quran. Dan bukunya yang berjudul “Fisy-Syi'ril Jahili” jelas diilhami oleh pemikiran orientalis itu, meskipun dia tidak menyatakan secara terang-terangan. 30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya proyek-proyek pesanan negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika di IAIN atau UIN, hari ini, adalah salah satu bagian kecil dari imbas orientalis yang tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Terasa lebih sayang lagi bila kita mengabaikan kajian-kajian orang di luar kita hanya karena alasan-alasan ideologis dan psikologis, bukan karena alasan ilmiah. Penolakan ideologis atas orientalisme sampai kini sangat dipengaruhi oleh kritik-kritik intelektual semacam Anwar Abdul Malik (1963), Hisyam Jaid (1978), Edward Said (1978), dan Hassan Hanafi (1981) tentang keterkaitan orientalisme dengan proyek kolonialisme. Kritik semacam ini, kini sudah sepantasnya
 ditinjau ulang secara kritis.  Banyak orang bahkan kaum cendekiawan Muslim, tiba-tiba silau mata. Mereka mendadak percaya orang di luar Islam yang tidak mengakui akidah Islam, untuk melihat Islam, seolah-olah orientalis lebih baik dari orang Islam sendiri. Siapa sesungguhnya mereka. Dan bagaimana kaum liberal sampai memuji-muji? nyaris tanpa kritik sedikit pun, oleh karena itu pemakalah bernaksud mendeskrepsikan para orientalis agar dapat diketahui bagaimana peran mereka dalam dunia pendidikan maupun peran yang lain.



A.      GEORGE SALE [1]
George Sale berusia 34 tahun ketika meninggalkan Toronto, Kanada, untuk datang ke Atlanta dengan mempelainya, Clara Goble Dijual, pada tahun 1890 untuk menjadi presiden dari Atlanta Baptist Seminary.
            Sale dididik di sekolah umum di sana. Dia lulus dari Woodstock College, kemudian menerima gelar sarjana seni dari Toronto University, di mana ia mengambil jurusan dalam metafisika. Ia pergi ke Universitas McMaster selama dua tahun pelatihan seminari. Dia kemudian menjadi pendeta di Gereja Baptis Pertama Montreal, Kanada. Dia juga membantu saudaranya untuk membentuk kulit menyimpan barang berkembang di Montreal. Ketika periode sakit memaksanya untuk pensiun dari gereja, ia kembali kekuatannya dengan periode berkemah di daerah Teluk Georgia utara Toronto dan di Pegunungan Adirondack.Ketika ia dipanggil ke Atlanta, ia melayani sebagai pengawas dari sekolah Minggu Jarvis Jalan Gereja Baptis di Toronto ketika ia dipanggil ke Atlanta.
            Di bawah pemerintahan Sale, College menyediakan instruksi dasar dalam membaca dan aritmatika, dan pelatihan untuk pekerjaan. Di sisi lain dikatakan bahwa jika sejumlah kecil siswa kulit hitam menunjukkan bakat dan minat dalam geometri, logika, Yunani, sejarah gereja, dll mereka harus memiliki kesempatan sebagai siswa putih."Jika studi ini memiliki nilai bagi siswa putih, mengapa mereka tidak memiliki nilai yang sama untuk orang Negro?" Di bawah kepemimpinan Sale, Atlanta Baptist Seminary menjadi sebuah perguruan tinggi seni liberal dan berganti nama menjadi Atlanta Baptist College. Tapi Sale mempertahankan pendekatan, praktis pragmatis dan filsafat. Dia mengatakan bahwa bertentangan dengan kepercayaan umum, '"' pengetahuan bukanlah kekuasaan.Seorang pria mungkin tahu banyak hal dan dapat melakukan hal-hal sangat sedikit "Dia bekerja untuk mendirikan pelatihan dalam mengajar pertukangan,, percetakan (di Spelman College), serta". Kewajiban moral "dan kuliah tentang pacaran, pernikahan dan rumah .
             Pada tahun 1906, mengundurkan diri dari College Sale untuk menjadi pengawas pendidikan untuk Masyarakat Misi Baptis Amerika Depan. Dia menyediakan pengawasan melalui sering berkunjung ke 11 perguruan tinggi hitam dan 19 sekolah menengah di sembilan negara bagian, serta sekolah-sekolah di Puerto Rico, Meksiko dan Kuba. Dia telah menjadi warga negara Amerika saat itu dan terus tinggal di Atlanta dengan istrinya, Clara dan ketiga anak mereka, Margaret, Elizabeth dan George.
             Pada tahun 1909, Presiden menunjuk Dijual Taft dan dua komisaris lain untuk pergi ke Liberia di pantai barat Afrika untuk menilai hal-hal di sana. Liberia telah meminta bantuan dalam menjaga independensi. Liberia adalah sebuah republik merdeka, awalnya didirikan sebagai koloni oleh Amerika Serikat pada tahun 1847 sebagai pemukiman Negro gratis. Para komisaris menghabiskan dua bulan di sana dan
menyampaikan laporan kepada Presiden Taft mereka kembali, Pada bulan Januari 1912, Sale kehilangan pertempuran dengan kanker dan meninggal di sebuah rumah sakit di New York City, Dia adalah 55 tahun. Atas permintaannya, ia dikuburkan di Atlanta.

1.      Karya karyanya[2]
a.       Alquran, Edisi Pertama, 1734. (ed. scan resolusi tinggi dari Koleksi 
       Memorial Posner.)b.    George Sale (Penterjemah) dan Claude Etienne Savary(ilustrator), "Al-Qur'an
        Umumnya Disebut Al KoranMuhammad". c  George Dijual, et al, "Buku Suci dari      Timur: Dengan SketsaBiografi Kritis
       dan".. Kolonial Tekan, 1900. 457 halaman
d.    George; "Sebuah Sejarah Universal, dari Rekening Terlamaof Time".
      Millar, 1747
e.     GeorgeSale, "Seleksidari Quran Muhammad". Priv. cetak.
              OlehN. H. Dole, 1904. 211 halaman.f.     George Dijual, et al,. "Membaca Pelajaran Bahasa          Arab:Terdiri
              dari Ekstrak Mudah dari Penulis Terbaik". Wm. H.Allen, 1864. 103 halaman.

2.        PANDANGAN TERHADAP ISLAM
George Sale dalam buku "Joseph Charles Mardrus-Premilinary Discourse", berkata: "Di seluruh dunia diakui bahwa Qur'an tertulis dalam bahasa Arab dengan gaya yang paling tinggi, paling murni....diakui sebagai standard bahasa Arab... dan tak dapat ditiru oleh pena manusia... Oleh karena itu diakui seba gai mukjizat yang besar, lebih besar daripada membangkitkan orang mati, dan itu saja sudah cukup untuk meyakinkan dunia bahwa kitab itu berasal dari Tuhan." 10. E. Denisen Ross dari "Introduction to the Koran-George Sale", p. 5, berkata: "Qur'an memegang peranan yang lebih besar terhadap kaum Muslimin daripada peranan Bible dalam agama Kristen. Ia bukan saja merupakan sebuah kitab suci dari kepercayaan mereka, tetapi juga merupakan text book dari upacara agamanya dan prinsip-prinsip hukum kemasyarakatan.....Sungguh sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama di masa-masa ini, di mana ruang dan waktu hampir telah dipunahkan oleh penemuan-penemuan modern


B.   THEODOR NOLDEKE (1836-1931)[3]
Noldeke lahir 2 Maret 1836, di Hamburg, Jerman. Ia seorang pakar semitik Jerman yang ternama dan menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin. Pada tahun 1859 tulisannya tentang Sejarah Al-Qur`an memenangkan penghargaan dari French Academie des Inscription. Tahun 1860, ia menuliskannya kembali, dibantu muridnya Schwally, dari bahasa Latin ke bahasa Jerman dengan judul Geschichte des Korans.
Dan mempublikasikannya dengan beberapa tambahan di Gottingen. Noldeke bisa dikatakan dedengkot orientalis. Selain ia menguasai sastra Yunani, ia juga mendalami tiga bahasa Semit, yaitu Arab, Suryani dan Ibrani. Ayahnya banyak berperanan mengarahkan Noldeke untuk mempelajari berbagai bahasa itu. Noldeke belajar bahasa Suyani kepada H Elwald, bahasa Arami kepada Bertheau dan belajar bahasa Sansekerta kepada Benfay. Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai belajar bahasa Turki dan Persia. Ia meraih gelar sarjana mudanya pada usia 20 tahun dengan karya tulisnya berjudul Tarikh Al-Quran’. Noldeke sebenarnya mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh agama Yahudi. Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin dan kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral dan ketiga tentang pandangan terhadap kehidupan. Pada tahun 1833 Geiger menulis karya dalam bahasa Jerman (dialihkan dalam bahasa Inggris) berjudul “What Did Muhammad Borrow from Judaism”.
Tulisan Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul: The Origin of the Qur’an. (1909). Pada tahun 1919 ia menyelesaikan edisi keduanya dengan judul The Collection of The Qur’an. Ia juga merintis penyusunan, penyusunan buku The History of the Text. Setelah Schwally meninggal, usahanya itu dilanjutkan oleh Bergstassser dan terakhir disempurnakan oleh Otto Pretzl pada tahun 1938. Jadi buku tentang Sejarah Al-Qu`ran itu ditulis oleh ramai-ramai orientalis Jerman selama 68 tahun. Hasilnya karya itu kini menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis. Taufik Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur’an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku “Rekonstruksi Sejarah Al-Quran.”


C.   IGNAZ GOLDZIHER (1850-1921)[4]
Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig. Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”.  Pada tahun 1894, ia diangkat menjadi profesor kajian bahasa Semit. Goldziher memang sangat cerdas. Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih. Tahun 1889 menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Nabi Muhammad SAW. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Dalam buku itu, Goldziher juga menyatakan: “Sesungguhnya Muhammad telah memilihkan ajaran-ajaran Islam dari agama-agama yang menonjol pada masanya, yaitu agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan agama berhala, setelah ia melakukan penyaringan Islam tidak mampu mempersatukan bangsa Arab dan menghimpun kabilah-kabilah yang bermacam-macam kepada tata peribadatan yang satu. Menurut Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher itu bukan barang yang aneh. Dulu, ketika turun Al-Quran, orang-orang Musyrik juga menyatakan Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain. Al-Quran bahkan turun meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Yahudi dan Nasrani.
 D.  CHRISTIAN SNOUCK HURGRONJE (1857-1936)[5]
Orientalis ini banyak dikenal masyarakat Indonesia. Lahir di Belanda, Snouck meraih gelar sarjananya di Fakultas Teologi, Universitas Leiden. Kemudian ia melanjutkan ke jurusan sastra Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun. Disertasinya tentang Perjalanan Haji ke Mekkah (Het Mekkanche Feest). Tahun 1884 ia pergi ke Jeddah sampai 1885, dan bersiap-siap untuk masuk ke Mekkah. Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam, agar bisa ke Mekkah dan menjalankan ibadah haji. Tapi enam bulan kemudian ia diusir karena terbongkar jati dirinya. Ia kemudian kembali ke Belanda sebagai lektor di Universitas Leiden hingga tahun 1887. Lalu ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun, dengan kedudukan sebagai penasihat pemerintah Belanda. Ia menulis karyanya yang berjudul Makkah dalam bahasa Jerman, dua jilid (1888-1889). Selain itu, ia juga menulis De Atjehrs (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894).
Dalam disertasinya yang berjudul Het Mekkanche Feest, Snouck menjelaskan arti ibadah haji dalam Islam, asal usul dan tradisi yang ada di dalamnya. Ia mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliah. Pendapat Snouck memang mirip dengan Goldziher yang mencoba menarik-narik pengaruh tradisi Jahiliah, Kristen dan Yahudi ke Islam. Snouck bahkan lebih jauh mencoba mengeliminir Islam hanya menjadi agama ritual, ibadah khusus belaka. Dan mengkritik umat Islam yang membawa-bawa Islam ke arah perjuangan politik.
 E.  LOUIS MASSIGNON (1883-1963[6]
Ia adalah orientalis terkemuka berasal dari Prancis. Louis banyak belajar dari tokoh-tokoh orientalis terkenal, seperti Goldziher, Hurgronje dan Le Chatelle orientalis dari Prancis. Pada tahun 1906-1909 ia pergi ke Mesir dan belajar di Universitas Al Azhar. Pada tahun 1912 ia mengajar filsafat di situ dan di antara pengagumnya adalah Dr. Thaha Husein Di Timur Tengah saat itu ia juga menjadi perwira militer pada kantor Gubernur Jenderal Prancis di Suriah dan Palestina. Pengalamannya di dunia Islam itu menjadikannya orientalis yang sangat memahami politik di dunia Islam.
Tahun 1922 ia kembali ke Paris untuk menyelesaikan program doktornya di Universitas Sorbonne. Ia menulis disertasi mengenai tasawuf Islam dengan judul “La Passion d’ al Hallaj, Martyr Mystique de l’Islam” (Derita Al Hallaj, Sang Sufi yang Syahid dalam Islam). Bila para ulama Islam mengafirkan al Hallaj, maka Massignon memujinya sebagai seorang saleh yang syahid. Cerita Al Hallaj versi Massignon ini banyak diambil oleh para aktivis Islam Liberal di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Massignon selain mengkaji Islamologi, ia juga menjadi pembimbing rohani pada perkumpulan missionarisme Prancis di Mesir. Ia berusaha keras memasukkan misi Kristen pada program-program pemerintah Prancis di tanah jajahannya di Timur Tengah. Bahkan ia berusaha -sebagaimana Goldziher-memasukkan unsur-unsur Katolik dalam Islam. Di mana ia menyamakan penghormatan kaum Muslim kepada Fatimah sebagaimana pemujaan Katolik ke Bunda Maria. Massignon juga berusaha mempengaruhi rakyat Afrika Utara agar menerima niat baik politik Prancis di wilayah itu. Aliran sufi dan mistik ini banyak dianut oleh rakyat Afrika Utara dan itu sangat menguntungkan pemerintah Prancis. Ia berusaha meyakinkan rakyat Afrika Utara agar menjadi bagian dari tanah Prancis.

F . JOSEPH SCHACHT (1902-1969)[7]
Ia lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923 ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guru besar pada 1929. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir. Di situ ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Kairo Mesir hingga 1939.
Schacht melanjutkan studinya di Inggris itu di Universitas Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952. Ia diangkat sebagai guru besar di seluruh universitas yang ada di Kerajaan Inggris. Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Ma’arif al Islamiyah. Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence(Oxford, 1950).
Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.
Guru Besar Hadits dan Ilmu Hadits Universitas King Saud, Prof Dr MM Azami menulis dua buku tentang pemutarbalikan sanad hadits oleh Schacht. Azami, dengan bukti-bukti yang otentik, karyanya dipuji orientalis Prof. AJ Arberry dari Universitas Cambridge Inggris, menulis kritik Sacht dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (terjemahan Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya). Dalam buku itu Azami menjelaskan bahwa teori Schacht tentang Sejarah Pemalsuan Hadits banyak ditemui kesalahan dan pemutarbalikan fakta
Selain orientalis-orientalis yang disebutkan di atas, sebenarnya masih banyak lagi orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam. Seperti J. Arberry, Arthur Jeffery, Montgomery Watt dan lain-lain. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu. Bahkan kini mereka mendirikan Islamic-Islamic Studies di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejak mereka. Di antara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C Smith dan Leonard Binder. Kini, ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya. Seperti John L Esposito dan Karen Amstrong. Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, tapi ia tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh “Islam Radikal”. Karen Amstrong menyamakan “Islam Fundamentalis” dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam.



REFERENSI

       
           Depar temen Agama, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Andalan Utama, 1993
           Edward W. Said, Orientalisme, alih bahasa Asep Hikmat, Bandung: Pustaka, 2001
Ahad M. Jamal, Pemikiran Liberal Salah Kaprah, Jakarta; Rineka Cipta, 1986
           Nilcoson, Ash-Shufiyyah Fil Islam, Terjemahan, Bandung: Rosda karya, 1998
           Nur Fauzan Ahad, Orientalisme (A Short Note), Bandung: Nusa, 2007


[2] Depar temen Agama, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Andalan Utama, 1993
[3] Nilcoson, Ash-Shufiyyah Fil Islam, Terjemahan, Bandung: Rosda karya, 1998
[4] Nur Fauzan Ahad, Orientalisme (A Short Note), Bandung: Nusa, 2007
[5] Prof. Ahad M. Jamal, Pemikiran Liberal Salah Kaprah, Jakarta; Rineka Cipta, 1986
[6] Edward W. Said, Orientalisme, Alih Bahasa Asep Hikmat, Bandung: Pustaka, 2001
[7] Ibid. Orientalisme, Alih Bahasa Asep Hikmat.



Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved