1)
Ihtihsan
A. Pengertian
Ihtihsan
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam.
Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma` dan Qiyas yang kedudukannya sudah
disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah
salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak
semuanya.
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara`. Menurut (al-Sarkhashi) Istihsan adalah mencari kemudahan dari hukum-hukum yang dihadapi orang banyak atau orang tertentu.
Dari pernyataan diatas maka banyak dipahami
disimpulkan bahwa istihsan adalah mengenyampingkan ketentuan yang umum atau
sudah jelas dan pindah kepada ketentuan yang khusus karena adanya alasan yang
kuat menghendakinya. Artinya persoalan tertentu yang sudah diatur dalam ketentuan yang
jelas, tetapi karana tidak mungkin diterapkan, maka berlakulah ketentuan khusus
sebagai pengecualian karena ketidak mampuan atau tidak mungkin menerapkan
peraturan yang sudah ada.
B.
Istihsan dan Problematika Ekonomi dan Keuangan Modern
Di zaman modern
ini, perkembangan bentuk transaksi ekonomi dan keuangan berkembang dengan cepat
dan problematikanya semakin kompleks, baik dalam dunia perbankan, asuransi,
leasing, pasar modal, sekuritas lainnya, seperti sukuk, pegadaian, BMT, dsb.
Semua ini membutuhkan jawaban-jawaban syari’ah secara tepat. Permasalahan
tersebut harus dihadapi dan diberikan jawaban hokum ekonominya oleh ilama dan
ekonomi muslim.
Kalau hanya
sematamerujuk pada kitab fiqh muamalah klasik,kemungkinan besar tidak mapu
menjawab berbagai persoalan kontemporer. Karena itu seorang mujtahid harus
mampu menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif, utuh, segar dan
berorientasi kemaslahatan, tidak bisa terbatas pada empat dalil hokum (
alqur’an, sunnah, ijma, qiyas), apalagi hanya mengandalkan Alqur’an dan Sunnah.
Oleh karena itu
kecenderungan untuk menggunakan istihsan, sebagai salah satu metode perumusan
hukum ekonomi islam, perlu dilakukan.
2)
Maqosidul syariah
A.
Pengertian Maqosidul syariah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid
berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud
yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan,
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan
Syari’ah secara bahasa berarti artinya Jalan menuju sumber air,
jalan menuju sumber air dapat juga
diartikan berjalan menuju sumber
kehidupan.
Maqosid syariah
berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum islam. Tujuan
tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
sebagai alasan bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan
umat manusia.
B.
Syariah ditetapkan untuk kemaslahatan Hamba didunia dan di akhirat.
Ibnu qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Hal senada juga dikemukakan oleh
al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka
merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai
tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la
yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). Dalam rangka
mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul
Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam
tersebut kedalam lima misi, yaitu :
memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Untuk mewujudkan dan memelihara
kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat
1.
Kebutuhan Dharuriya
2.
Kebutuhan
Hajizat
3.
Kebutuhan
Tahsiniyat
3)
Istishab
A.
Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada
hubungannya.” Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang
kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah hukum tersebut.
B.
Macam-macam
istishab
-
Istishab hukum al-ibadah al-ashliyyah
-
Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan
berlangsung terus
-
Istishab terhadap dalil yang bersifat umum
-
Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i
-
Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’
C.
Syarat-syarat Istishab
Adapun syarat Istishab yang kami
pahami adalah:
-
Tidak bertentangan dengan nash.
-
Ada hukum yang diteruskan.
-
Belum ada hukum yang mengubahnya.
D. Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan
Istishhab
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah
dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat
ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas
ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun
menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah
hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang
lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai
hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas
ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.
Contoh
Seorang ragu-ragu apakah ia sudah
berwudlu atau belum. Dalam masalah ini, ia harus berpegang pada ketentuan hukum
asal, yaitu “belum wudlu”.
4)
Urf
A.
Pengertian
Urf
”Urf
bisa juga disebut sebagai adat (adah), kata ’urf merupakan derivasi dari kata ‘araf
a- ya’rifu - urfan, berarti
mengetahui. Sedangkan ’adat berasal dari kata ’ada – ya’udu –’adatan,
yang berarti pengulangan. Biasanya ’urf dimaknai sebagai ”apa yang telah
dikenal” dan adah sebagai ”
pengulangan perbuatan atau praktek yang dilakukan berulang-ulang”.
'Urf ialah sesuatu yang telah
dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan.
B.
Macam-macam 'urf
Ø 'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi
sifatnya. 'urf terbagi kepada:
- 'Urf qauli
-
'Urf amali
Ø Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:
- 'Urf shahih
-
'Urf asid
Ø Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada:
- 'Urf 'âm
-
'Urf khash
C.
Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama
Ushul menyatakan bahwa sutau ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah
satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat
sebagai berikut:
1.
‘Urf itu harus
berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya
dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2.
‘Urf itu memang
telah memasyarakat sebelumnya.
3.
‘Urf tidak
bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi.
4.
‘Urf tidak
bertentang dengan nash, apabila tidak ada nash yang mengandung hukum
permasalahan yang dihadapi.
5)
Saddu
dzari’ah
A. Pengertian Saddu dzari’ah
Saddu
artinya menutup celah atau mencegah sesuatu. Dzari’ah secara bahasa bermakna
wasilah (pengantar / penghubung) Jadi Saddu dzari’ah adalah mencegah
wasilah-wasilah yang zhohirnya boleh namun bisa mengantar kepada sesuatu yang
dilarang guna menolak terjadinya kerusakan.
Dan asy-Syatibi juga
menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah
adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada
sesuatu yang dilarang (mamnu’).
B.
Macam-macam
Saddu dzari’ah
Ø Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan
adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
1.
Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya
pasti menimbulkan kerusakan.
2.
Suatu perbuatan yang pada dasarnya
diperbolehkan, namun secara sengaja dijadikan sebagai
perantara untuk terjadi sesuatu keburukan.
3.
Suatu perbuatan yang pada dasarnya
diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar
akibatnya daripada keburukannya
Ø Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan
asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,
seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual
beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.
6)
Syar’u Manqoblana
A.
Pengertian Syar’u manqoblana
Yang dimaksud
dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu,
sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka
diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS,
syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya.
B.
Macam-macam syar'un
man qablana
Sesuai dengan
ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan
syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
1.
Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang
sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik
membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2.
Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang
sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
3.
Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang
sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita
C.
Hukum Syari’at Sebelum Islam
Jika Al-qur’an
atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada
umat yang dahulu melalui Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita
sebagaiman diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwasyari’at
tersebut ditujukan juga kepada kita, dengan kata lain wajib diikuti, seperti
firman Allah dalam Surat Al- baqarah 183: “ Hai orang-orang yang beriman
telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada
orang-orang sebelum kamu”
D. Pendapat
Para Ulama tentang Syari’at Sebelum Kita
Jumhur
ulama Hanafiah, sebagian ulama Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa hokum tersebut disyari’atkan juga kepada kita dan
kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama
hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak mendapatkan hokum yang menasakhnya. Alasannya,mereka menganggap bahwa hal tersebut
termasuk diantara hokum-hukum Tuhan yang telah
disyari’atkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada
kita. Maka orang-orangmukallaf
wajib mengikutinya.
7) Qoulu Shahabi
A. Pengertian Qoulu Shahabi
Yang
dimaksud dengan Qaulu Shahabi adalah pendapat- pendapat para shahabat
dalam masalah ijtihad. Dengan kata lain Qaulu shahabi adalah pendapat para
shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun
ketetapan hukum, yang tidak dijelaskandalam ayat atau hadis.
Yang dimaksud dengan shahabat menurut ulama ushul fiqih adalah seseorang
yangbertemu dengan Rasulullah saw. beriman kepadanya, mengikuti serta hidup
bersamanya.
B.
Kehujahan Qaulu Shahabi
Pendapat shahabat tidak menjadi hujjah atas shahabat
lainnya, hal ini telah disepakatipara ulama ushul. Namun yang masih
diperselisihkan adalah apakah pendapat shahabat bisamenjadi hujjah atas Tabi'in
dan orang-
orang yang telah datang setelah tabi‟in. Ulama ushul memiliki tiga pendapat :
1.
Ada yang mengatakan bahwa
qaul shahaby secara muthlaq tidak bisa dijadikan hujah.
2.
Satu pendapat mengatakan
bahwa madzhab shahabat bisa jadi hujah.
3.
Pendapat lain menyatakan
bahwa pendapat shahabat itu jadi hujah, dan apabilapendapat shahabat
bertentangan dengan qiyas, maka pendapat shahabat didahulukan.
Ibnu Qayyim berkata, bahwa fatwa shahabat tidak
keluar dari enam bentuk:
1.
Fatwa yang didengar
shahabat dari Nabi saw.
2.
Fatwa yang didengar dari
orang yang mendengar dari Nabi saw.
3.
Fatwa yang didasarkan atas
pemahamannya terhadap Alqur‟an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita
4.
Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh
shahabat yang sampai kepada kita melaluisalah seorang shahabat.
5.
Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan
ilmunya baik bahasa maupun tingkahlakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan
Nabi saw. dan maksud-maksudnya. Kelima ini adalah hujah yang diikuti.
6.
Fatwa
yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salahpemahamannya.
Maka ini tidak bisa jadi hujah.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !