Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » Ushul Fiqh

Ushul Fiqh


1)        Ihtihsan
A.   Pengertian Ihtihsan
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma` dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya.
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara`. Menurut (al-Sarkhashi)  Istihsan adalah mencari kemudahan dari hukum-hukum yang dihadapi orang banyak atau orang tertentu. 
Dari pernyataan diatas maka banyak dipahami disimpulkan bahwa istihsan adalah mengenyampingkan ketentuan yang umum atau sudah jelas dan pindah kepada ketentuan yang khusus karena adanya alasan yang kuat menghendakinya. Artinya persoalan tertentu yang sudah diatur dalam ketentuan yang jelas, tetapi karana tidak mungkin diterapkan, maka berlakulah ketentuan khusus sebagai pengecualian karena ketidak mampuan atau tidak mungkin menerapkan peraturan yang sudah ada.
B.     Istihsan dan Problematika Ekonomi dan Keuangan Modern
Di zaman modern ini, perkembangan bentuk transaksi ekonomi dan keuangan berkembang dengan cepat dan problematikanya semakin kompleks, baik dalam dunia perbankan, asuransi, leasing, pasar modal, sekuritas lainnya, seperti sukuk, pegadaian, BMT, dsb. Semua ini membutuhkan jawaban-jawaban syari’ah secara tepat. Permasalahan tersebut harus dihadapi dan diberikan jawaban hokum ekonominya oleh ilama dan ekonomi muslim.
Kalau hanya sematamerujuk pada kitab fiqh muamalah klasik,kemungkinan besar tidak mapu menjawab berbagai persoalan kontemporer. Karena itu seorang mujtahid harus mampu menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif, utuh, segar dan berorientasi kemaslahatan, tidak bisa terbatas pada empat dalil hokum ( alqur’an, sunnah, ijma, qiyas), apalagi hanya mengandalkan Alqur’an dan Sunnah.
Oleh karena itu kecenderungan untuk menggunakan istihsan, sebagai salah satu metode perumusan hukum ekonomi islam, perlu dilakukan.
2)        Maqosidul syariah
A.  Pengertian Maqosidul syariah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata  yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga  diartikan berjalan  menuju sumber kehidupan.
Maqosid syariah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sebagai alasan bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
B.      Syariah ditetapkan untuk  kemaslahatan Hamba didunia dan di akhirat.
Ibnu qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh  merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, yaitu : memelihara  Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat
1.      Kebutuhan Dharuriya
2.      Kebutuhan Hajizat
3.      Kebutuhan Tahsiniyat


3)        Istishab
A.    Pengertian Istishab
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya.” Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
B.     Macam-macam istishab
-          Istishab hukum al-ibadah al-ashliyyah
-          Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus
-          Istishab terhadap dalil yang bersifat umum
-          Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i
-          Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’
C.    Syarat-syarat Istishab
Adapun syarat Istishab yang kami pahami adalah:
-          Tidak bertentangan dengan nash.
-          Ada hukum yang diteruskan.
-          Belum ada hukum yang mengubahnya.
D.    Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.
Contoh
Seorang ragu-ragu apakah ia sudah berwudlu atau belum. Dalam masalah ini, ia harus berpegang pada ketentuan hukum asal, yaitu “belum wudlu”.
4)        Urf
A.    Pengertian Urf
Urf  bisa juga disebut sebagai adat (adah),  kata ’urf merupakan derivasi dari kata ‘araf a- ya’rifu - urfan,  berarti mengetahui. Sedangkan ’adat berasal dari kata ’ada – ya’udu –’adatan, yang berarti pengulangan. Biasanya ’urf dimaknai sebagai ”apa yang telah dikenal”  dan adah sebagai ” pengulangan perbuatan atau praktek yang dilakukan berulang-ulang”.
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.  
B.     Macam-macam 'urf
Ø  'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada:
-       'Urf qauli
-       'Urf amali
Ø  Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:
-       'Urf shahih
-       'Urf asid
Ø  Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada:
-       'Urf 'âm
-       'Urf khash
C.    Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa sutau ‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut:
1.    ‘Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2.    ‘Urf itu memang telah memasyarakat sebelumnya.
3.    ‘Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi.
4.    ‘Urf tidak bertentang dengan nash, apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.



5)        Saddu dzari’ah
A.     Pengertian Saddu dzari’ah
Saddu artinya menutup celah atau mencegah sesuatu. Dzari’ah secara bahasa bermakna wasilah (pengantar / penghubung) Jadi Saddu dzari’ah adalah mencegah wasilah-wasilah yang zhohirnya boleh namun bisa mengantar kepada sesuatu yang dilarang guna menolak terjadinya kerusakan.
Dan asy-Syatibi juga menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).
B.     Macam-macam Saddu dzari’ah
Ø Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
1.    Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan.
2.    Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan, namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan.
3.    Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan.
4.    Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya
Ø Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1.    Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan.
2.    Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula.
3.    Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.


6)        Syar’u Manqoblana
A.  Pengertian Syar’u manqoblana
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya.
B.   Macam-macam syar'un man qablana
Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
1.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
2.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
3.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita
C.    Hukum Syari’at Sebelum Islam
Jika Al-qur’an atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada umat yang dahulu melalui Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaiman diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwasyari’at tersebut ditujukan juga kepada kita, dengan kata lain wajib diikuti, seperti firman Allah dalam Surat Al- baqarah 183: “ Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”
D.    Pendapat Para Ulama tentang Syari’at Sebelum Kita
Jumhur ulama Hanafiah, sebagian ulama Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa hokum tersebut disyari’atkan juga kepada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak mendapatkan hokum yang menasakhnya. Alasannya,mereka menganggap bahwa hal tersebut termasuk diantara hokum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orangmukallaf wajib mengikutinya.
7)      Qoulu Shahabi
A.    Pengertian Qoulu Shahabi
Yang dimaksud dengan Qaulu Shahabi adalah pendapat- pendapat para shahabat dalam masalah ijtihad. Dengan kata lain Qaulu shahabi adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskandalam ayat atau hadis.
Yang dimaksud dengan shahabat menurut ulama ushul fiqih adalah seseorang yangbertemu dengan Rasulullah saw. beriman kepadanya, mengikuti serta hidup bersamanya.
B.     Kehujahan Qaulu  Shahabi
Pendapat shahabat tidak menjadi hujjah atas shahabat lainnya, hal ini telah disepakatipara ulama ushul. Namun yang masih diperselisihkan adalah apakah pendapat shahabat bisamenjadi hujjah atas Tabi'in dan orang- orang yang telah datang setelah tabiin. Ulama ushul memiliki tiga pendapat :
1.    Ada yang mengatakan bahwa qaul shahaby secara muthlaq tidak bisa dijadikan hujah.
2.    Satu pendapat mengatakan bahwa madzhab shahabat bisa jadi hujah.
3.    Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat shahabat itu jadi hujah, dan apabilapendapat shahabat bertentangan dengan qiyas, maka pendapat shahabat didahulukan.

 Ibnu Qayyim berkata, bahwa fatwa shahabat tidak keluar dari enam bentuk:
1.    Fatwa yang didengar shahabat dari Nabi saw.
2.    Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi saw.
3.    Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita
4.    Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh shahabat yang sampai kepada kita melaluisalah seorang shahabat.
5.    Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkahlakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi saw. dan maksud-maksudnya. Kelima ini adalah hujah yang diikuti.
6.     Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salahpemahamannya. Maka ini tidak bisa jadi hujah.


Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved