PEMIKIRAN J. WANSBROUGHT DAN M. HUDGSON[1]
I. PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam tidak terlepas dari diutusnya Nabi Muhammad SAW. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW mempunyai peran yang sangat penting. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW dibekali Allah SWT berupa wahyu yang dikenal dengan kitab suci Alqur’an. Ia berfungsi sebagai pedoman pokok bagi semua umat manusia.
Alqur’an dan kitab-kitab Tuhan lainnya merupakan jalinan utuh di mana semuanya berasal dari risalah yang universal, identik serta berasal dari sumber yang tunggal. Oleh karena itu, umat manusia harus mempercayai semuanya. Adanya hubungan tersebut, Nabi Muhammad SAW mengakui nabi-nabi yang lain seperti Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa serta kitab-kitabnya.
Fenomena terhadap kajian agama Islam di kalangan pemikir Barat berbeda-beda. Di kalangan orientalis yang menggunakan analisis historis lebih banyak menyikapi Islam dengan nilai negatif, misalnya dengan menganggap Islam tak lebih dari bid’ah Kristen. Di sisi lain, terdapat pula pemahaman agama Islam menurut sosiolog, sekularis, humanis dan modernis Barat yang di anggap netral. Titik pandang yang berbeda didasari atas perbedaan cara pandang, pendekatan dan interpretasi yang dilakukan.
Atas dasar pemahaman di atas, makalah ini akan mencoba mendeskripsikan Islam yang difokuskan pada John Wansbrough dan Marshal Hudgson. Pembahasan dilakukan dengan mengungkap pemikiran J. Wansbrough dan M. Hudghson, metode yang digunakannya serta diberikan ulasan yang bersifat komentar atas pemikirannya baik yang mendukung maupun membantahnya.
II. PEMBAHASAN
A. John Wansbrough
1. Sekilas Biografi
John Wansbrough adalah seorang ahli tafsir terkemuka di London. Ia memulai karier akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar di Departemen Sejarah di School of Oriental and Africa Studies (SOAS University of London). Kemudian, ia menjadi dosen Bahasa Arab yang berada di naungan Departemen Sastra Timur Dekat. John Wansbrough sempat menjabat direktur di universitas tempat ia bekerja.
John Wansbrough adalah orang produktif terbukti banyak literatur yang ditulisnya. Salah satunya adalah yang berjudul Quranic Studies: Source and Methods of Scriptual Interpretation. Buku ini ditulis John Wansbrough dalam kurun 1968 sampai Juli 1972 dan dicetak tahun 1977 di Oxford University Press. Karya lain yang ditulis John Wansbrough adalah “A Note on Arabic Rethoric” dalam Lebende Antike: Symposium fur Rudolf Suhnel, “Arabic Rethoric and Qur’anic Exegesis”, dalam Buletin of the School of Oriental and African Studies, Majas al-Qur’an: Peripharastic Exegesis, The Sectarian Millieu: Content and Composition of Islamic Salvation History. Dari sini nampak bahwa John Wansbrough sangat intens dalam mengkaji Alqur’an dan yang terkait di dalamnya. Sampai di sini, tidak banyak hal yang ditemukan berkenaan dengan pribadi John Wansbrough ini dan aktivitas keilmuannya di SOAS University of London, walaupun sudah dilakukan penelusuran penulis lewat internet melalui search engine.
2. Pendekatan Yang Digunakan
Dalam menganalisis ayat-ayat Alqur’an, John Wansbrough berkesimpulan bahwa ada keterpengaruhan Yahudi-Kristen, perpaduan antara tradisi dan Alqur’an sebagai penciptaan post-profetik. Dalam melakukan kajiannya, ia menggunakan analisis historis, sebagaimana dilakukan oleh para orientalis sebelumnya.
Dalam karyanya John Wansbrough juga memberikan kritik yang tajam atas kenabian Muhammad dan Alqur’an. Kenabiannya dianggap sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian nabi Musa as. yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. Alqur’an, menurut John Wansbrough bukan merupakan sumber biografis Muhammad, melainkan sebagai konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang kenabian.[2] Oleh karena itu, pemikiran yang dilontarkan John Wansbrough banyak berseberangan dengan pemikir lainnya baik di kalangan orientalis Barat maupun pemikir muslim. Menurut Wansbrough Alqur’an sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan kepada nabi Muhammad SAW merupakan kepanjangan dari kitab Taurat. Salah satu buktinya adalah pengambilan term setan. Akan tetapi, menurutnya isi-isi Alqur’an kemudian dinaikkan derajatnya oleh umat Islam menjadi kitab suci yang bernilai mutlak. Dalam merujuk QS. al-Shaffat, John Wansbrough memberi arti kata al-kitab/ kitabullah yang ada dalam Alqur’an dengan ketetapan (dorcee), otoritas (authority) bukan dengan kitab suci.[3]
\Selanjutnya, dalam menafsirkan pengimanan muslim terhadap Muhammad yang dianggap Wansbrough dengan memunculkannya anggapan kata-kata yang disinyalir sebagai tambahan dari nabi Muhammad. Wansbrough menganggap bahwa seperti kata qul dalam QS. Al-An’am (6): 15, al-Ra’d: 36, dan al-Ankabut: 52, kata tersebut sengaja disisipkan untuk menunjukkan kebenaran wahyu Allah mengenai Alqur’an. Kebenarannya justru menjadikan Alqur’an tidak logis karena tidak sejalan dengan hegemonitas bahasa yang berlebihan.[4]
Adapun mengenai perjalanan Isra Nabi Muhammad yang disebut dalam Alqur’an, John Wansbrough mengungkapakan bahwa informasi dalam Alqur’an adalah tidak benar, karena di dalam QS. Al-Isra Ayat 1, menurut Wansbrough merupakan ayat yang menjelaskan perjalanan malam nabi Musa as. dan dimodifikasi oleh penulis Alqur’an dengan adanya tambahan, sehingga seolah-olah Muhammad sendiri yang melakukan perjalanan malam.
3. Pendapat Para Tokoh Mengenai Wansbrought
Pendekatan yang dilakukan oleh Wansbrough menurut Rippin adalah skeptisisme, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan mengenai ketidak percayaan atas sumber-sumber Islam. Pandangan ini sama dengan John Burton yang memandang bahwa ada kontradiksi dalam sumber muslim tentang pengumpulan Alqur’an.[5] Namun demikian pandangan seperti ini berbeda dengan pandangan yang telah berkembang jauh di Barat dan keyakinan muslim. Pendekatan historis dalam keislaman menimbulkan nilai yang berbeda tergantung bidang apa yang dikaji. Metode ini memiliki kelemahan di mana menampakkan sisi luar dari fenomena keagamaan yang dikaji dan tidak mampu mengungkapkan makna yang esensial dan substansial. Kekurangan tersebut sering juga didukung oleh ketidak tersediaannya sumber kajian yang lengkap dan sumber yang salah.
Adanya perbedaan pandangan tersebut disebabkan penggunaan biblical criticism. John Wansbrough menolak mushaf Usmani. Ia mengundurkan penulisan Alqur’an selama tiga ratus tahun kemudian. Hal ini diidentikkan dengan kodifikasi perjanjian lama yang ditulis selama 900 tahun yang diambil dari tradisi lisan. Inilah tesis lain dari apa yang diungkapkan Wansbrough selain adanya perpaduan tradisi Yahudi dan Kristen dalam Alqur’an.
Adapun metode literary analysis diterapkan John Wansbrough dalam menganalisis cerita-cerita yang diungkapkan dalam Alqur’an. Menurutnya, adanya perbedaan cerita dalam Alqur’an menunjukkan adanya perpaduan tradisi di dalamnya.
Beberapa pendapat John Wansbough di atas dikritik oleh Watt dengan mengatakan bahwa asumsi yang dilakukan adalah meragukan walaupun kajiannya dilakukan secara ilmiah. Penyanggah lain adalah Bucaille, ia menyetarakan Bibel dengan Hadis. Sedangkan Alqur’an tidak dapat disangkal keotentikannya dan telah ada dan telah ditulis sejak zaman nabi Muhammad saw. Dan dikumpulkan oleh sahabat-sahabat pada masa Nabi hidup.
Sedangkan dari kalangan muslim, Fazlur Rahman mengungkapkan untuk mendapat latar belakang histories harus dicari dalam tradisi arab sendiri bukan pada tradisi Yahudi dan Kristen, setelah sebelumnya menyatakan bahwa all religions are in history. Dari hal ini tampak bahwa Alqur’an tetap transenden, tapi disesuaikan dengan masyarakat waktu itu.[6] Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan interpretasi digunakan juga pendekatan fenomenologis. Upaya ini dipergunakan dengan tujuan mendapatkan esensi agama secara holistic dan totalitas.
Lebih lanjut Wansbrough juga menyatakan bahwa stabilisasi teks Alqur’an terjadi bersamaan dengan pembentukan komunitas. Teks kitab suci yang final tidak ada dan belum mungkin ada secara keseluruhan sebelum kekuasaan politik terkontrol secara sepenuhnya. Sehingga pada akhir abad ke- 2 H/ 8 M menjadi momen historis untuk mengumpulkan secara bersama-sama tradisi oral sehingga melahirkan kitab suci yang final dan muncul konsep aktual tentang Islam.
Oleh karena itu, semua hadis yang menyatakan tentang himpunan Alqur’an, dalam pandangan Wansbrough, secara historis harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut, barangkali disusun oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syariah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikut model periwayatan teks orisinal.
4. Analisa
Menurut penulis, kalau Alqur’an merupakan hasil konspirasi umat Islam periode awal sebagaimana dikemukakan Wansbrough, maka pertanyaan yang kemudian harus dijawab Wansbrough adalah apa yang menghalangi mereka untuk menyusunnya secara sistematis sehingga tidak ada lagi ayat yang tidak terjalin indah dengan ayat sebelum atau sesudahnya. Kalau Alqur’an merupakan hasil sebuah proyek yang digarap secara kolektif, maka tampilan Alqur’an tentu tidak akan seperti yang terlihat sekarang ini. Aransemen Alqur’an tentu akan dibuat dalam tataran paling sistematis menurut ukuran kesusteraan di saat kapan proyek penyusunan Al-Qur’an tersebut terakhir dilaksanakan.
Menurut penulis lahirnya tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh John Wansbrough di atas terhadap Islam tidak didasari atas pemahaman Islam yang utuh. minim data histories mengenai asal-usul, karakter, evaluasi, dan individu-individu yang terlibat dalam tradisi. Alqur’an tidak bisa hanya dapat dipahami secara kronologis, tetapi antara satu dengan yang lainnya merupakan keutuhan. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran yang semacam ini yang tidak disertai data-data yang valid dan yang berkembang banyak di kalangan Barat (orientalis) cenderung menimbulkan berbagai konflik antar agama.
B. Marshal Hudgson
1. Sekilas Biografi
Marshall Goodwin Simms Hodgson (11 April 1922–10 Juni 1968), adalah seorang Studi Islam akademis dan sejarawan dunia di University of Chicago. Dia adalah ketua interdisipliner Komite Pemikiran Sosial di Chicago. Hodgson adalah penulis buku fundamental, The Venture Islam : Conscience and History in a World Civilization, yang secara universal diakui sebagai sebuah karya yang fundamental dalam studi sejarah Islam dan Peradaban Muslim.[7] Meskipun ia tidak menerbitkan secara ekstensif selama hidupnya, ia telah menjadi sejarawan Islam dari Amerika yang paling berpengaruh. Di samping itu, kepentingan yang modern juga terletak dengan karyanya tentang sejarah dunia, yang tetap relatif tidak diketahui selama masa hidupnya. Sebagian besar itu ditemukan kembali dan kemudian dipublikasikan melalui upaya Edmund Burke III dari Universitas California, Santa Cruz. Secara tepat oleh Smith digambarkan sebagai “seorang tokoh besar yang kurang terkenal di antara sarjana-sarjana lain yang lebih terkenal”.[8]
2. Pendekatan Yang Digunakan
Marshall G. Hodgson sebagai ahli sejarah, berpandangan sangat unik mengenai sejarah dunia. Menurutnya, orang tidak akan bisa memahami sejarah dunia, terutama sejarah modern ini, kalau tidak paham sejarah Islam. Karena itu, dia menulis buku (tiga jilid) berjudul The Venture of Islam, yang sekarang dianggap buku (sejarah) berbahasa Inggris yang paling bagus mengenai Islam. Sebetulnya dia menulis buku itu sebagai pengantar untuk bukunya yang lebih ambisius, yaitu sejarah dunia. Tetapi dia memulainya dengan menulis mengenai sejarah Islam. Hodgson sendiri tidak setuju dengan sebutan zaman sekarang sebagai Zaman Modern. Ia lebih lebih setuju (lebih suka) dengan sebutan Zaman Teknik (Technical Age). Karena istilah ‘modern’ mempunyai konotasi yang sudah mengandung penilaian yang umumnya baik. ‘Modern’ artinya ‘baru’ dan konotasinya selalu positif atau baik. Padahal menurut Hodgson, zaman sekarang belum tentu baik. Karena itu, zaman sekarang lebih tepat disebut Zaman Teknik, karena teknik begitu dominan. Dan salah satu efeknya ialah peningkatan produktivitas dan peringanan masalah kehidupan.
Penulisan sejarah adalah usaha rekontruksi peristiwa yang tejadi di masa lampau. Penulisan ini bagaimana pun baru dapat dikerjakan setelah dilakukan penelitian, karena tanpa penelitian penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian. Dalam penelitian dibutuhkan kemampuan untuk mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber yang benar. Sedangkan dalam penulisan dibutuhkan kemampuan menyususn fakta-fakta yang bersifat fragmentaris ke dalam uraian yang sistematis, utuh, komunikatif.[9] Keduanya membutuhkan kesadaran teoritis yang tinggi serta imajinasi historis yang baik. Sehingga, sejarah yang dihasilkan bukan saja dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, yang terkait pada pertanyaan pokok, tentang apa, siapa, di mana, dan apabila, tetapi juga mengenai bagaimana serta mengapa dan apa jadinya.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan elementer dan mendasar di atas adalah “fakta sejarah” dan merupakan unsur yang memungkinkan adanya “sejarah”. Sedangkan jawaban pertanyaan “bagaimana” adalah suatu rekonstruksi yang berusaha menjadikan semua unsur itu terkait dalam suatu deskripsi yang disebut “sejarah”, dan secara teknis disebut “keterangan histories” (history explanation). Adapun jawaban terhadap pertanyaan mengapa dan apa jadinya, yang menyangkut masalah kausalitas adalah hasil puncak yang bisa diharapkan dari studi sejarah, yang biasa disebut sebagai studi sejarah kritis. Dalam menulis bukunya The Venture of Islam yang dianggap sebagai sebuah karya magisterial pikiran sejak publikasi pada awal 1975, Hudgson menginterpretasikan sejarah perkembangan peradaban Islam dari sebelum kelahiran Muhammad ke tengah abad kedua puluh, didahului dengan penelitian dan disertai dengan analisis terhadap peristiwa-peristiwa di masa silam, terutama dalam menggali jawaban terhadap pertanyaan “mengapa dan apa jadinya” tentang sejarah perdaban Islam. Sehingga dapat dikatakan, penulisan sejarah perdaban Islam yang dilakukan oleh Hudgson dikatagorikan studi sejarah kritis. Efrinaldi dalam tulisannya “Dekontruksi Hukum Islam dan Kristalisasi di Indonesia” menyebutkan bahwa Hudgson menggunakan pendekatan historis-sosiologis.[10]
3. Pola pikir Tentang Islamic, Islamicate, Islamdom
Kata ”Islam” oleh sebagian orang selalu dikonotasikan sebagai sebuah wujud yang utuh antara doktrin dan praktik yang dilakukan oleh para pemeluknya. Padahal dalam kajian yang lain, terutama dalam tinjauan sejarah, hubungan doktrin dan pelbagai praktik peradabannya, terutama di masing-masing wilayah, masih mengandung ”jarak” yang sangat memungkinkan untuk bisa dibedakan dan dibicarakan secara objektif. Islam memiliki karakteristik global, dapat diterima dalam setiap ruang dan waktu. Namun pada sisi yang lain, saat ia memasuki pelbagai kawasan wilayah, karakteristik globalnya seolah-olah hilang melebur ke dalam pelbagai kekuatan lokal yang dimasukinya. Dengan demikian, Islam seringkali dipandang sebagai agama yang memiliki kesatuan dalam keragamannya (unity in variety); kesatuan dan universalitas Islam dalam aspek-aspek teologi dan spiritualnya, sementara lokalitas keragamannya berada dalam pola-pola penerapan dengan variasi kultural masing-masing.
Marshall G.S. Hudgson menganjurkan kepada setiap pengkaji Islam, terutama dalam melihat realitas Islam di dunia, harus bisa membedakannya dalam tiga bentuk fenomena Islam sebagai sasaran studi. Islamic” refers to the religion of Islam and “Islamicate” to its civilization. “Islamdom” is the “society in which the Muslims and their faith are recognized as prevalent and socially dominant.[11] Pertama, fenomena Islam sebagai doktrin (Islamic), kedua, fenomena ketika doktrin itu masuk dan berproses dalam sebuah masyarakat-kultural (Islamicate) dan mewujudkan diri dalam konteks sosial dan kesejarahan tertentu. Dan ketiga, ketika Islam menjadi sebuah fenomena ”dunia Islam” yang politis dalam lembaga-lembaga kenegaraan (Islamdom) yang bertolak dari konsep ”dar al-islam”, sebagaimana pula yang terjadi di dunia Kristen, Christiandom; di mana ketentuan-ketentuan hukum berlaku sebagaimana Al Quran atau Injil. Sebagaimana yang ia definsikan : The society in which the Muslims and their faith are recognized as prevalent and socially dominant, in one sense ot another–a society in which, of course, non-Muslims have always formed an integral, if subordinate, element, as have Jews in Chritendom. Sekalipun dikatakan demikian, kedua fenomena terakhir (Islamicate dan Islamdom) tidak bisa memberikan jaminan secara pasti bahwa seluruh prilaku umatnya berjalan persis sesuai dengan teks doktrin. Dengan kata lain, islamicate dan islamdom merupakan fenomena Islam yang telah terlontar dalam kancah sejarah dalam konteks struktural tertentu pada pelbagai ruang dan waktu yang berbeda dan mengikatnya. Dengan demikian kajian kawasan dunia Islam yang dimaksud dalam buku ini berada dalam wilayah riset islamicate dan islamdom. Dengan hadirnya buku ini, cara pandang yang salah terhadap Islam bisa semakin berkurang. Cara pandang yang menyejajarkan Islam dengan terorisme dan gerakan-gerakan radikalisme akan semakin terbantahkan. Adanya keragaman praktik keislaman yang disebabkan oleh kultur dan politik menjadi alasan bahwa sesungguhnya Islam tidak bisa dipersalahkan.[12]
III. SIMPULAN
Kritik sejarah yang dilakukan dalam al-Qur’an menampilkan sosok al-Qur’an sebagai sesuatu yang histories dan non-historis. Al-Qur’an dikatakan histories karena ia merupakan jalinan kesinambungan wahyu Tuhan sebelumnya dengan adanya penyesuaian waktu dan tempat serta kondisi. Sedangkan kajian al-Qur’an dalam bingkai non-historis mendapatkan hasil esensi wahyu yang berada di luar sejarah dan bersumber dari Tuhan.
Dalam menganalisis ayat-ayat al-Qur’an, John Wansbrough berkesimpulan bahwa ada keterpengaruhan Yahudi-Kristen, perpaduan antara tradisi dan al-Qur’an sebagai penciptaan post-profetik. Dalam melakukan kajiannya, ia menggunakan analisis histories, memberikan kritik yang tajam atas kenabian Muhammad dan al-Qur’an. Sedangkan bagi Hodgson, ia lebih netral karena ia berpendapat mengenai sejarah Islam atau history Islam yaitu hanya bisa dipahami dalam kerangka lebih luas; totalitas tidak terbatas pada Islam, sejarah masyarakat-masyarakat muslim (Islamdon), dan produk peradaban yang berkarakter Islam (Islamicate); tetapi juga dalam konteks sejarah manusia dan peradabannya secara keseluruhan. Asumsi dasar Hodgson bahwa dalam sejarah dunia terdapat "sejarah Islam" atau sekurang-kurangnya "sejarah kaum muslimin". Bagi Hodgson terdapat struktur-struktur yang khas dalam perkembangan umum masyarakat-masyarakat tempat Islam menjadi agama yang dominan. Struktur-struktur itu dalam banyak hal dibentuk oleh conscience, kesadaran keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Assamurai, Qasim, Bukti-Bukti Kebohongan Orientalis, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996)
Suryadilaga, M. Alfatih, Studi Alqur’an Kontemporer : Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002)
Suryadilaga, M. Alfatih, Pendekatan Historis John Wansbrough Dalam Studi Alqur’an, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2002), h. 216
Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1997)
Budhi Munawar Rahman, Ensiklopedi Nur Cholis Madjid, (Jakarta : Yayasan Abad Demokrasi, 2011), Edisi Digital
http://en.wikipedia.org/wiki/Marshall_Hodgson, diakses tanggal 6 Januari 2012
[11] Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam : Conscience and History in a World Civilization, The Expansion of Islam in The Middle World. Volume 2. (Chicago : The University of Chichago, 1974), hal 8-11, Dikutip dari http://Marshall_Hodgson konstribusi, diakses tanggal 7 Januari 2011
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !