Tafsir Al Jawahir
I. PENDAHULUAN
Al-Qura’n al-Karim adalah Ma’dubatullah (hidangan ilahi) yang berfungsi sebagai hudan dalam memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita yang dapat menerangi berbagai persoalan hidup.
Salah satu tafsir yang muncul pada masa itu adalah Tafsir al-Jawahir. Tafsir al-Jawahir meskipun disusun pada abad ke-9 Hijriyah, tetapi model penyusunannya tetap mengikuti pola-pola yang digunakan oleh para mufassir mutaqaddimin. Hal itu dilakukan oleh penyusun tak lepas dari latar belakang pendidikan dan krakteristik yang beliau miliki. Beliau sangat terkenal akan kezuhudan, kewara’an dan kewaliannya sehingga dalam memberikan interpretasi terhadap al-Qur’an tidak berani melakukan inovasi-inovasi baru sesuai dengan masanya. Walaupun demikian, Tafsir al-Jawahir masih layak untuk dikaji sebagai tambahan hazanah keilmuan para pemerhati al-Qur’an khususnya tafsir.[1]
Pada makalah ini penulis akan mencoba membahas mengenai Tafsir Al-Jawahir karya At-Tsa’alaby yakni mengenal biogfari beliau, latar belakang , bentuk, metode, dan juga corak.
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Pengarang
Pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, Thanthawi Jauhari dilahirkan. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seoragng pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.
B. Latar Belakang Penulisan
Bagi Tanthawi, tuanya usia bukan penghalang di dunia tulis menulis. Bahkan keriput kulit jari jemarinya memberikan “ilham” tersendiri untuk memunculkan berbagai karya.
Hal tersebut bukan sekedar omong kosong belaka, sebab justeru diusia senjanya (60 tahun), Tanthawi mampu menghadirkan karya besarnya, yakni kitab al Jawahir fi Tafsir al Qur’an al Karim. Tafsir ini terdiri dari 25 jilid, dan pertama kali dicetak di Kairo oleh penerbit Muassasah Musthafa al Babi al Halabi tahun 1350 H / 1929 M. Sementara cetakan ketiga di Beirut, Dar al Fikr tahun 1395 H/1974.
Kaitannya dengan latar belakang penulisan tafsir ini, ada komentar menarik dari Tanthawi, yaitu:
“Sejak dahulu aku senang menyaksikan keajaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya, baik yang ada di langit atau kehebatan dan kesempurnaan yang ada di bumi. Perputaran atau revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak datang dan meghilang, kilat yang menyambar seperti listrik yang membakar, barang tambang yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang beterbangan, binatang buas yang berjalan, binatang ternak yang digiring, hewan-hewan yang berlarian, mutiara yang berkilauan, ombak laut yang menggulung, sinar yan menembus udara, malam yang gelap, matahari yang bersinar, dan sebagainya.” [2]
Itulah yang mendorong Tanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi Ilmu Alam.
Al Qur’an menuliskan keajaiban-keajaiban tersebut, menampakkan alam fisik yang tersebar, serta langit yang ditinggikan. Kesemuanya memberikan kebahagiaan bagi orang yang memiliki “mata hati” (dzu al bashair) dan memberikan sinar serta pelajaran (tabshirah) bagi orang-orang yang membenarkan rahasia-rahasia Tuhan.
Selanjutnya ia menyatakan, “Tatkala diriku berfikir untuk merenungi keadaan umat Islam sekarang, dan kondisi pendidikan agamanya, maka aku menuliskan surat kepada beberapa tokoh cendekiawan (al ‘Uqala’) dan para ‘Ulama besar (ajilah al ‘ulama’) tentang makna-makna alam yang ditinggalkan, juga tentang jalan keluarnya yang masih banyak dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit sekali diantara para ulama’ yang memikirkan realitas alam semesta dan keanehan-keanehan yang ada di dalamnya.”
Tanthawi juga menyatakan, “.......di dalam karangan-karangan tersebut aku memasukkan (majaztu) ayat-ayat al Qur’an dengan keajaiban-keajaiban alam semesta; dan aku menjadikan wahyu Illahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban penciptaan, hukum alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-nya. Maka aku meminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga aku dapat menafsirkan al Qur’an dan menjadikan segala disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu al Qur’an (Juz I: 2, muqaddimah).[3]
Tafsir al Jawahir ini ditulis pertama kali oleh Tanthawi ketika ia mengajar di Universitas Dar al ‘Ulum, Mesir, yang kemudian dimuat di Majalah al Malaji’ al ‘Abasiyah. Adapun mengenai corak penafsiran atau model pendekatan yang diambil ini, oleh Tanthawi ditujukan agar umat Islam “menyenangi” keajaiban alam semesta, keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.[4]
C. Bentuk, Metode dan Corak Penafsiran
1. Bentuk
Dalam berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Berangkat dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah disimpulkan oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia dari 'alaq (علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).
Ini berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi al-ma'tsur juga akan hilang.
2. Metode
Munculnya beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode penafsiran al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan secara sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan metode ini memuat berbagai ide.
Demikian halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai mencakup tiga halaman sendiri, ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih.
Demikian halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai mencakup tiga halaman sendiri, ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih.
Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
3. Corak
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang tafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah.
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
4. Contoh Tanthawi menafsirkan ayat al Qur’an, yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: ه)
Artinya: “Wahai manusia! Jika kamu dalam keraguan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim neurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian secara berangsur-angsur kamu menjadi dewasa, dan (ada pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, dan ia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah ia ketahui. Dan kamu lihat bumi ini kering. Kemudian bila Kami turunkan air, hiduplah bumi dan subur serta tumbuhlah berbagai macam tumbuhan yang indah.” (Q.S. al Hajj: 5) [5]
Dalam menafsirkan ayat ini Tanthawi memberikan kiasan bahwa manusia itu berasal dari tanah, sebagaimana juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Unsur air juga menjadi penyebab tumbuhnya manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Setelah menjelaskan proses keajaiban manusia di dalam rahim seorang ibu, ia menegaskan bahwa inilah dalil penting ilmu al ajnah atau embriologi manusia dan ilmu ini wajib dipelajari. Tanthawi berpendapat bahwa ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya ilmu alam dan mempelajarinya adalah satu hal yang wajib. Hal demikian karena al Qur’an hanya memberikan petunjuknya secara global dan kesempurnaannya dibutuhkan pengetahuan yang lainnya.[6]
D. Pengertian Tafsir Ilmiah
Tafsir Ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminology ilmiah dalam ujran-ujaran tertentu al-Qur’an, atau berusaha menimpulkan berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan maupunyang belum. Corak penafsiran ini telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Khalifah Abbasiyyah khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun.
III. PENUTUP
Tafsir Al Jawahir merupakan tafsir yang menggunakan bentuk penafsiran Ilmi bi Al-Ra’yi Tahlili. Dan tafsir ini sangat populer dikalangan umat islam di berbagai belahan dunia sejak berabad-abad lalu. Tafsir Al Jawahir merupakan karangan Thanthawi Jauhari. Demikian makalah yang saya uraikan, semoga bisa bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan teman-teman sekalian. Wassalam..
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, Ahmad, al Qur’an dan Ilmu Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 1997.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Depag RI, al Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mekar, 2004.
Jauhari, Tanthawi, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974.
J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1977.
Ali Iyazi, Sayyid Muhammad, al Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Beirut: Dar al Fikr, 1373.
[1] Tanthawi Jauhari, al Jawahir fiTafsir al Qur’an al Karim, Juz I, Beirut: Dar al Fikr, Cet. III, 1974, hlm. 3
[2] J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al Qur’an Modern, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1977, hlm. 23
[3] Ibid., hlm. 25. lihat juga Tanthawi Jauhari, Op. Cit., hlm. 2
[4] Sayyid Muhammad Ali Iyazi, al Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Beirut: Dar al Fikr, 1373 H, hlm 450
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !