Tafsir Al-Mizan
I. Pendahuluan
Penafsiran Alqur’an dalam lintas sejarahnya mengalami perkembangan yang luar biasa. Berawal dari penafsiran syawafiyah (lisan ke lisan) sampai munculnya studi kitab tafsir yang telah dibukukan. Adapun bentuk penafsiran sejak masa Rasulullah Saw sampai sekarang pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.
Dalam perkembangannya kedua bentuk penafsiran ini, tafsir bi ra’yilah yang berkembang jauh lebih pesat dan mendominasi kitab-kitab tafsir. Metode ini pada akhirnya memunculkan berbagai corak penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan spesialisasi keilmuan dan tendensi masing-masing mufasir. Munculnya berbagai kitab tafsir yang memiliki corak berbeda-beda, satu sisi menunjukkan betapa luas dan makna yang dikandung Alqur’an, tetapi di sisi lain mengindisikan bahwa mufasir menjelaskan Alqur’an sesuai dengan selera dan kepentingannya masing-masing.
Pada makalah ini akan dibahas sekilas mengenai Tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husain Thabathaba’i mengenal dalam karya tafsir ini memiliki corak dan karakteristik yang kental dengan kapasitas keilmuan dan latar belakang pengarangnya yang cukup menarik.
II. Pembahasan
A. Biografi Pengarang
Muhammad Husain Thabathaba’i dikenal oleh orang-orang semasanya sebagai ‘Allamah Thabathaba’i, adalah seorang penafsir Alqur’an dan pakar filsafat tradisional Persia abad kedua puluh yang paling menonjol. Lahir dari keluarga ulama-ulama syi’ah terkenal di Tabriz pada tahun 1321/ 1903, dia menjalani studi-studi awalnya di kota kelahirannya. Pada usia sekitar dua puluh tahun, dia pergi ke Najaf guna melakukan studi-studi yang lebih tinggi dalam ilmu-ilmu hukum mapun filsafat, hingga meraih tingkatan tertinggi ijtihad dalam kedua bidang tersebut. Pada waktu itu pula dia menjalani latihan spiritual dan mulai memasuki dimensi batin Islam yang di kalangan Syi’ah dikaitkan dengan irfan (gnosis). Pada tahun 1934, dia kembali ke Tabriz, dan mulai mengajar, tatapi dia belum dikenal secara nasional hingga dominasi kaum komunis atas Provinsi Azerbaijan di Iran memaksanya datang ke Teheran dan Qum pada akhir Perang Dunia II. Dia menghabiskan sisa hidupnya di Qum dengan beberapa hari dalam setiap bulannya dihabiskan di Teheran. Dia mengabdikan waktu sepenuhnya untuk mengajar dan menulis. Dia meninggal di Qum pada tahun 1981.[1]
B. Latar Belakang Penulisan
Setiap kitab tafsir disusun dengan motivasi tertentu. Ada kitab tafsir yang ditulis untuk memenuhi tuntutan masyarakat seperti Ma’anil Qur’an karya al-Farra. Ada juga kitab tafsir yang ditulis dengan tujuan merangkum kitab tafsir sebelumnya yang dinilai terlalu panjang dan luas, seperti al-Dur al-Mansur karya al-Suyuthi dan banyak lagi kitab-kitab tafsir lainnya.
Adapun motivasi yang mendorong Thabathaba’i untuk menulis kitab tafsirnya, al-Mizan adalah karena ia ingin mengajarkan dan menafsirkan al-Qur’an yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada masanya. Di sisi lain, karena gagasan-gagasan matrealistik telah sangat mendominasi, ada kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis yang akan memungkinkan hawzah tersebut mengkolaborasikan prinsip-prinsip intelektual dan doktrinal dalam islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional dalam rangka mempertahankan posisi islam.
Nama al-Mizan, menurut al-Alusi, diberikan oleh Thabathaba’i sendiri, karena di dalam kitab tafsirnya itu dikemukakan berbagai pandangan para mufassir, dan ia memberikan sikaap kritis serta menimbang-nimbang pandangan mereka baik untuk diterimanya maupun ditolaknya. Meskipun tidak secara eksplisit memberikan nama ini, namun pernyataan Thabathaba’i secara implisit memang mengarahkan pada penamaan al-Mizan tersebut.
C. Corak Penafsiran
Kalangan Syi’ah, sebagaimana dikemukakan oleh Thabathaba’i, memandang ayat-ayat yang dikatakan mutasyabihat bisa dipahami dengan merujuk pada ayat lain yang termasuk dalam katergori muhkamat. Inilah yang dalam syi’ah dipahami sebagai ketergantungan ayat-ayat mutasyabihat terhadap ayat-ayat muhkamat.
Diantara karakteristik yang menonjol dalam penafsiran Thabathaba’i adalah perhatiannya yang besar terhadap munasabah (persesuaian) serta hubungan di antara ayat-ayat al-Qur’an. Kajian tentang munasabah oleh sementara mufasir lebih menekankan pada hubungan serta persesuaian antara suatu surah dengan surah sebelum atau sesudahnya. Thabathaba’i relatif sedikit mencurahkan perhatian pada munasabah antar surah. Baginya yang bernilai adalah mengkaji munasabah serta hubungan antar ayat, sebab keutuhan makna di antara ayat-ayat hanya bisa sempurna manakala aspek-aspek tertentu dari ayat-ayat tersebut serta bagaimana konteksnya dapat tersingkap melalui pendalaman atas munasabah serta tarabut antar ayat.
Sebagai seorang ulama Syi’ah yang terkemuka, pemikiran Thabathaba’i memang sangat diwarnai ideologi kesyi’ahan. Hal ini terlihat jelas dalam beberapa karyanya, termasuk dalam kitab tafsirnya al-Mizan ini. Tampak sekali bahwa kitabnya ini sangat memperlihatkan keteguhan Thabathaba’i berpegang pada mazhab Syi’ah. Dalam karya monumentalnya ini, Thabathaba’i bahkan kelihataan sekali berupa mengkampanyekan mazhab Syi’ahnya ketika menafsirkan ayat-ayat yang menurut kaum syi’ah sendiri, berkenaan dengan pandangan-pandanngan ideologis kesyi’ahan mereka.
Untuk menjelaskan posisi tafsir dan penafsirannya, Thabathaba’i merasa perlu menjelaskan corak penafsiran yang berkembang waktu itu. Dalam mukodimahnya, ia menjelaskan bahwa ragam tafsir muncul sejak zaman kekhalifahan karena berbagai sebab. Pertama, umat islam telah berbaur dengan berbagai kelompok di masyarakat dan juga telah berinteraksi dengan dengan berbagai tokoh agama dan mazhab. Kedua, filsafat yunani telah ditransfer ke dunia arab pada masa kekhalifahan Umawiyah dan terus berkembang pada masa Abasiyah. Hal ini menjadikan kajian kaum muslimin terhadap al-Qur’an sangat bercorak filosofis. Masuknya filsafat dalam dunia islam juga memberi andil atas berbagai pemahaman terhadap islam yang tidak semuanya disetujui oleh umat islam yang lain, terutama yang berkecenderungan fikih.
Thabathaba’i juga menjelaskan corak penafsiran ulama terhadap al-Quran yang terdiri dari ; Pertama, Ulama hadist. Mereka mencukupkan diri pada penafsiran berdasarkan riwayat dari ulama-ulama salaf, sahabat dan tabi’in. kedua, para teolog yang menggunakan berbagai macam pendapat mazhab dengan segala perbedaannya. Pendapat-pendapat yang sesuai diambil, sedangkan yang tidak sesuai diinterpretasi dengan batas-batas kewenangan yang ada di dalam mazhab. Ketiga, para filosof yang dalam menafsirkan tiak jauh beda dengan para teolog.[2]
D. Metode Penafsiran
Al-Qur’an diposisikan sebagai petunjuk bagi manusia, maka sebagai konsekuensi logisnya, tidak ada tawaran lagi bagi umat untuk bisa memahami al-Qur’an itu secara mutlak. Sebab, bagaimana mungkin pesan-pesan yang dikandungnya dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa memahaminya terlebih dulu.
Atas keunikan itulah, al-Qur’an dapat selalu memberi peluang untuk menghasilkan penafsiran baru. Dalam kaitannya dengan pemahaman al-Qur’an, Thabathaba’i berasumsi bahwa setiap ayat al-Qur’an pada dasarnya bisa dipahami dari dua sisi. Satu sisi adalah pemahaman makna literalsebagaimana yang tersurat dalam teks-teks al-Qur’an, yang kemudian dikenal sebagai aspek lahir. Sedangkan sisi lain adalah pemahaman terhadap makna yang tersirat, yakni makna yang terdapat di balik teks ayat, yang kemudian dikenal dengan aspek batin.
Dalam pandangan Thabathaba’i, baik arti lahir maupun batin, keduanya tidaklah saling bertentangan. Pemahaman ini didasari oleh pengamatan Thabataba’i terhadap struktur inderawi manusia dalam memperoleh pengetahuan yang memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda.
Untuk mengungkapkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, Thabathaba’i menggunakan tiga cara yang bisa dilakukan. Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah dan non ilmiah. Kedua, menafsirkan al-Qur’an dengan hadist Nabi yang diriwayatkan dari Imam-imam yang diucapkan dalam konteks ayat yang akan dibahas. Ketiga, menafsirkan al-Qur’an dengan jalan merefleksikan kata-kata dan makna ayat dengan bantuan sejumlah ayat lain yang relevan, dan sebagai tambahan, dengan merujuk kepada hadist-hadist sejauh hal tersebut memang diperlukan. Meteode tafsir seperti ini disebut metode tahlili.[3]
III. Kesimpulan
Thabathaba’i menulis kitab tafsirnya, al-Mizan adalah karena ia ingin mengajarkan dan menafsirkan al-Qur’an yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada masanya. Di sisi lain, karena gagasan-gagasan matrealistik telah sangat mendominasi, ada kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis yang akan memungkinkan hawzah tersebut mengkolaborasikan prinsip-prinsip intelektual dan doktrinal dalam islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional dalam rangka mempertahankan posisi islam.
Abdul Ghofur’ Waryono, Millah Ibrahim dalam al-Mizan fi tafsir al-Qur’an. (Yogyakarta: Sukses Offset. 2008).
Baidlowi, Ahmad, Al-Thabathaba’i dan kitab tafsirnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. (Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadist Vol. 5 No. I Januari 2004: 29-43).
Thabathaba’I, Muhammad Husain, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madaniy dan Hamin Ilyas, (Bandung: Mizan, 1992) h. 5. Lihat juga Ensiklopedi Dunia Islam Modern.
[1] Muhammad Husain Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madaniy dan Hamin Ilyas, (Bandung: Mizan, 1992) h. 5. Lihat juga Ensiklopedi Dunia Islam Modern, h. 38 jild.
[2] Ahmad, Baidlowi, Al-Thabathaba’i dan kitab tafsirnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. (Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadist Vol. 5 No. I Januari 2004: 29-43)
[3] Waryono, Abdul Ghofur, Millah Ibrahim dalam al-Mizan fi tafsir al-Qur’an. (Yogyakarta: Sukses Offset. 2008), h.
thanks makalahnya
ReplyDelete