PENDAHULUAN
Perkembangan orientalisme berawal dari cara pandang orang barat terhadap timur yang menjadi suatu keilmuan, kemudian menjadi suatu disiplin keilmuan tersendiri. Tidak terlewatkan bagaimana cara pandang mereka terhadap Islam yang akhirnya menjadi suatu disiplin ilmu yang pastinya tidak terlepas dari motif-motif tertentu. Dari motif-motif mereka menghasilkan suatu pandangan positif dan negative. Dari itu sebagai seorang muslim haruslah kritis terhadap apa yang telah dilontarkan mereka terhadap Islam. Tidak jauh dari hal ini, dalam makalah ini akan membahas sedikit pan dangan dua tokoh yaitu John Wansbrough dan Maurice Bucaille.
PEMBAHASAN
1. Biografi John Wansbrough
John Wansbrough, nama lengkapnya John Edward Wansbrought, ia adalah sejarawan Amerika yang belajar di Universitas London. Ia mengambil studi pada Afrika dan Oriental yaitu School of Oriental and Afrikan Studies (SOAS). Kemudian dia melengkapi studinya di Universitas Harvard, kemudian dia berkarir di SOAS sampai dia meninggal. Wansbraugh lahir pada tanggal 19 Februari 1928 di Peoria, Illinois dan meninggal pada tanggal 10 Juni 2002 di Montaigu-de-Quercy, Prancis.[1]
2. Metode dan Pandangannya
Wansbrough menitikberatkan kritikan pada cerita atau catatan tradisional dari asal usul Islam. Dia menyebabkan sebuah kehebohan di tahun 1970, ketika penelitiannya pada manuskrip-manuskrip dari sejak awal Islam. Dalam analisisnya, munculnya monoteisme (kepercayaan tuhan itu satu) dalam Islam sebenarnya adalah meniru (mengulang) dari monoteisme Yahudi dan Nasrani. Munculnya Islam adalah suatu mutasi atau pemisahan diri dari sekte Yahudi Nasrani yang kemudian mencoba untuk disebarkan di tanah Arab, yang lebih diterima dari pada difusi atau percampuran budaya. Ketika kitab suci Yahudi dan Nasrani berkembang disesuaikanlah kepada pandangan orang-orang Arab dan dimutasi kedalam apa yang dinamakan Al-Qur’an yang berkembang lebih berabad-abad dengan konstribusi-konstribusi dari berbagai sumber adat Arab. Penelitian Wansbrough menyatakan bahwa ada suatu hubungan yang besar dari sejarah tradisional Islam ditampakkan menjadi sebuah bikinan/buatan generasi-generasi berikutnya dengan cara memalsukan dan membenarkan sebuah identitas keagamaan yang khusus. Dalam kontek ini, karakter dari Muhammad dapat dilihat sebagai sebuah mitos/dongeng yang diciptakan untuk menyakinkan suku-suku Arab agar mengakui kenabian Nabi Muhammad, Wansbrough menyebutnya sebagai nabi Yahudi dan Nasrani tapi versi Arab.
Wansbrough dalam penelitiannya menggunakan analisis historis dan literary analysis. Dari analisis yang digunakan dia berpendapat bahwa kenabian Nabi Muhammad hanyalah imitasi (tiruan) dari kenabian Nabi Musa yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. Dan Al-Qur’an Menurutnya bukan sebagai sumber biografi Nabi Muhammad tetapi konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang kenabian.[2]
Menurut Wansbrough Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad merupakan kepanjangan dari kitab Taurat. Salah satu buktinya adalah penggunaan term setan. Isi-isi Al-Qur’an tersebut oleh orang-orang Islam dinaikkan derajatnya menjadi kitab suci yang bernilai mutlak. Kata kitabbullah/ al-kitab yang dirujuk dari Q.S Ash-Shaffat, diartikannya sebagai ketetapan dan otoritas, bukan diartikan sebagai kitab suci.[3]
Selanjutnya untuk menjadikan orang mukmin agar menyakini Nabi Muhammad dan Al-Qur’an yang dibawanya, maka dibuatlah suatu tambahan atau sisipan kata-kata seperti qul dalam QS. Al-An’am:15, Ar-Ra’du:36, dan Al-Ankabut:52, dalam rangka menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad dan wahyu Al-Qur’an tersebut.
Perjalanan Isra’ nabi Muhammad yang disebutkan dalam Al-Qur’an tidaklah benar, karena dalam QS. Al-Isra’:1 menurut Wansbrough adalah perjalanannya Nabi Musa as. Dan dalam ayat itu telah dimodifikasi oleh penulisnya, sehingga seolah-olah Nabi Muhammadlah yang melakukan Isra’.
Pada dasarnya apa yang telah diungkapkan Jhon Wansbrough diatas, bahwa dia punya asumsi ada pengaruh Yahudi-Nasrani dan perpaduan tradisi dan Al-Qur’an dalam Post-Profetic. Dan dalam Al-Qur’an terdapat kesamaan dengan kitab sebelumnya.
3. Karya-Karyanya
a) Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation diterbitkan oleh Oxford tahun 1977
b) The Sectarian Milieu: Content and Composition Of Islamic Salvation History diterbitkan oleh Oxford tahun 1978
c) Res Ipsa Loquitur: History and Mimesis diterbitkan tahun 1987
d) Lingua Franca in the Mediterranean yang diterbitkan oleh Curzon Press tahun 1996.
4. Kritikan terhadap John Wansbrough
a) Menurut Fazlur Rahman, untuk mendapatkan latar belakang histori haruslah dicari dari tradisi Arab sendiri bukan pada tradisi Yahudi-Nasrani.
b) Menurut bucaille, Al-Qur’an tidak dapat disangkal keotentikannya dan telah ada dan telah ditulis sejak jaman Nabi Muhammad SAW, dan dikumpulkan oleh sahabat-sahabat pada masa Nabi hidup
c) Al-Qur’an pada prisipnya bukan lah tulisan, tetapi bacaan yang dihafal dan disampaikan dengan lisan, dan sistem isnadnya diturunkan secara mutawatir dari awal sampai akhir, sehingga tidaklah mugkin untuk dilakukan penelitian dengan pendekatan literary analysis. Dengan asumsi keliru ini, mereka lantas hendak menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur’an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka.[4]
Asumsi non skeptis
Asumsi non skeptis merupakan lawan dan kebalikan dari asumsi skeptis. Asumsi non skeptis adalah asumsi yang tidak meragukan otentisitas Al Qur’an dan hadis – hadis nabi. [5] Diantara tokoh – tokoh pendukung asumsi ini adalah Nabia Abbot, Bucaille, W. Montgomery Watt, Issa J. Boullata, Joseph Van Ess. Di bawah ini akan dijelaskan tokoh orientalis yang mengakui tentang keotensitasan Al Qur’an yaitu Buceille.
1. Biografi Maurice Buceille
Dr. Maurice Bucaille lahir di Pont-l'Evequ, 19 Juli 1920 dan meninggal pada 17 Februari 1998. Dia adalah seorang ahli bedah berkebangsaan Perancis. Bucaille memulai kariernya di bidang kedokteran pada 1945 sebagai ahli gastroenterology. Yang juga seorang orientalis dan juga mempelajari bahasa Arab secara mendalam.
Dan pada 1973, ia ditunjuk menjadi dokter keluarga oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Tidak hanya anggota keluarga Raja Faisal yang menjadi pasiennya. Anggota keluarga Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, diketahui juga termasuk dalam daftar pasien yang pernah menggunakan jasanya.
Ia menjadi terkenal karena menulis buku tentang Islam, Al Qur'an dan ilmu pengetahuan modern. Bucaille pernah mengepalai klinik bedah di Universitas Paris. Pada tahun 1974 dia mengunjungi Mesir atas undangan Presiden Anwar Sadat dan mendapat kesempatan meneliti Mumi Firaun yang ada di museum Kairo. Hasil penelitiannya kemudian dia terbitkan dengan judul ''Mumi Firaun, Sebuah Penelitian Medis Modern'' atau judul aslinya , ''Les momies des Pharaons et la médecine''. Berkat buku ini, dia menerima penghargaan ''Le prix Diane-Potier-Boès'' (penghargaan dalam sejarah) dari ''Académie française'' dan ''Prix general'' (Penghargaan umum) dari ''Academie nationale de medicine, Perancis.[6]
2. Karya – Karya Maurice Bucaille
a. Bibel, Alquran, dan ilmu pengetahuan modern atau judul aslinya dalam bahasa Prancis yaitu La Bible, le Coran et la Science di tahun 1976.
b. Laporan akhir penelitiannya terbitkan dengan judul Mumi Firaun; Sebuah Penelitian Medis Modern, dengan judul aslinya, Les momies des Pharaons et la midecine. Berkat buku ini, dia menerima penghargaan Le prix Diane-Potier-Boes (penghargaan dalam sejarah) dari Academie Frantaise dan Prix General (Penghargaan umum) dari Academie Nationale de Medicine, Prancis.
3. Pandangan – Pandangan dan metodologi teorinya.
Penelitian tentang Mumi Fir’aun membawa kepada kebenaran Al Qur’an
Suatu hari di pertengahan tahun 1975, sebuah tawaran dari pemerintah Prancis datang kepada pemerintah Mesir. Negara Eropa tersebut menawarkan bantuan untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun. Tawaran tersebut disambut baik oleh Mesir. Setelah mendapat restu dari pemerintah Mesir, mumi Firaun tersebut kemudian digotong ke Prancis. Mumi itu pun dibawa ke ruang khusus di Pusat Purbakala Prancis, yang selanjutnya dilakukan penelitian sekaligus mengungkap rahasia di baliknya oleh para ilmuwan terkemuka dan para pakar dokter bedah dan otopsi di Prancis. Pemimpin ahli bedah sekaligus penanggung jawab utama dalam penelitian mumi ini adalah Prof Dr Maurice Bucaille.
Ketertarikan Bucaille terhadap Islam mulai muncul ketika secara intens dia mendalami kajian biologi dan hubungannya dengan beberapa doktrin agama. Karenanya, ketika datang kesempatan kepada Bucaille untuk meneliti, mempelajari, dan menganalisis mumi Firaun, ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menguak misteri di balik penyebab kematian sang raja Mesir kuno tersebut.
Ternyata, hasil akhir yang ia peroleh sangat mengejutkan. Sisa-sisa garam yang melekat pada tubuh sang mumi adalah bukti terbesar bahwa dia telah mati karena tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan kemudian dibalsem untuk segera dijadikan mumi agar awet. Penemuan tersebut masih menyisakan sebuah pertanyaan dalam kepala sang profesor. Bagaimana jasad tersebut bisa lebih baik dari jasad-jasad yang lain, padahal dia dikeluarkan dari laut?
Prof Bucaille lantas menyiapkan laporan akhir tentang sesuatu yang diyakininya sebagai penemuan baru, yaitu tentang penyelamatan mayat Firaun dari laut dan pengawetannya. Laporan akhirnya ini dia terbitkan dengan judul Mumi Firaun; Sebuah Penelitian Medis Modern, dengan judul aslinya, Les momies des Pharaons et la midecine. Berkat buku ini, dia menerima penghargaan Le prix Diane-Potier-Boes (penghargaan dalam sejarah) dari Academie Frantaise dan Prix General (Penghargaan umum) dari Academie Nationale de Medicine, Prancis.
Terkait dengan laporan akhir yang disusunnya, salah seorang di antara rekannya membisikkan sesuatu di telinganya seraya berkata: ”Jangan tergesa-gesa karena sesungguhnya kaum Muslimin telah berbicara tentang tenggelamnya mumi ini”. Bucaille awalnya mengingkari kabar ini dengan keras sekaligus menganggapnya mustahil.
Menurutnya, pengungkapan rahasia seperti ini tidak mungkin diketahui kecuali dengan perkembangan ilmu modern, melalui peralatan canggih yang mutakhir dan akurat. Hingga salah seorang di antara mereka berkata bahwa Alquran yang diyakini umat Islam telah meriwayatkan kisah tenggelamnya Firaun dan kemudian diselamatkannya mayatnya.
Ungkapan itu makin membingungkan Bucaille. Lalu, dia mulai berpikir dan bertanya-tanya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bahkan, mumi tersebut baru ditemukan sekitar tahun 1898 M, sementara Al Qur’an telah ada ribuan tahun sebelumnya.
Ia duduk semalaman memandang mayat Firaun dan terus memikirkan hal tersebut. Ucapan rekannya masih terngiang-ngiang dibenaknya, bahwa Al Qur’an kitab suci umat Islam telah membicarakan kisah Firaun yang jasadnya diselamatkan dari kehancuran sejak ribuan tahun lalu.
Sementara itu, dalam kitab suci agama lain, hanya membicarakan tenggelamnya Firaun di tengah lautan saat mengejar Musa, dan tidak membicarakan tentang mayat Firaun. Bucaille pun makin bingung dan terus memikirkan hal itu.
Ia berkata pada dirinya sendiri. ”Apakah masuk akal mumi di depanku ini adalah Firaun yang akan menangkap Musa? Apakah masuk akal, Muhammad mengetahui hal itu, padahal kejadiannya ada sebelum Al Qur’an diturunkan?”
Prof Bucaille tidak bisa tidur, dia meminta untuk didatangkan Kitab Taurat (Perjanjian Lama). Diapun membaca Taurat yang menceritakan: ”Airpun kembali (seperti semula), menutupi kereta, pasukan berkuda, dan seluruh tentara Firaun yang masuk ke dalam laut di belakang mereka, tidak tertinggal satu pun di antara mereka”. Kemudian dia membandingkan dengan Injil. Ternyata, Injil juga tidak membicarakan tentang diselamatkannya jasad Firaun dan masih tetap utuh. Karena itu, ia semakin bingung.
Setelah perbaikan terhadap mayat Firaun dan pemumiannya, Prancis mengembalikan mumi tersebut ke Mesir. Akan tetapi, tidak ada keputusan yang mengembirakannya, tidak ada pikiran yang membuatnya tenang semenjak ia mendapatkan temuan dan kabar dari rekannya tersebut, yakni kabar bahwa kaum Muslimin telah saling menceritakan tentang penyelamatan mayat tersebut. Dia pun memutuskan untuk menemui sejumlah ilmuwan otopsi dari kaum Muslimin.
Dari sini kemudian terjadilah perbincangan untuk pertama kalinya dengan peneliti dan ilmuwan Muslim. Ia bertanya tentang kehidupan Musa, perbuatan yang dilakukan Firaun, dan pengejarannya pada Musa hingga dia tenggelam dan bagaimana jasad Firaun diselamatkan dari laut.
Maka, berdirilah salah satu di antara ilmuwan Muslim tersebut seraya membuka mushaf Alquran dan membacakan untuk Bucaille firman Allah SWT yang artinya: “Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS Yunus: 92).
Ayat ini sangat menyentuh hati Bucaille. Ia mengatakan bahwa ayat Alquran tersebut masuk akal dan mendorong sains untuk maju. Hatinya bergetar, dan getaran itu membuatnya berdiri di hadapan orang-orang yang hadir seraya menyeru dengan lantang: ”Sungguh aku masuk Islam dan aku beriman dengan Alquran ini”.
Ia pun kembali ke Prancis dengan wajah baru, berbeda dengan wajah pada saat dia pergi dulu. Sejak memeluk Islam, ia menghabiskan waktunya untuk meneliti tingkat kesesuaian hakikat ilmiah dan penemuan-penemuan modern dengan Alquran, serta mencari satu pertentangan ilmiah yang dibicarakan Alquran.
Semua hasil penelitiannya tersebut kemudian ia bukukan dengan judul Bibel, Alquran dan Ilmu Pengetahuan Modern, judul asli dalam bahasa Prancis, La Bible, le Coran et la Science. Buku yang dirilis tahun 1976 ini menjadi best-seller internasional (laris) di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa utama umat Muslim di dunia.
Karyanya ini menerangkan bahwa Al Qur’an sangat konsisten dengan ilmu pengetahuan dan sains, sedangkan Al-Kitab atau Bibel tidak demikian. Bucaille dalam bukunya mengkritik Bibel yang ia anggap tidak konsisten dan penurunannya diragukan. Di Bibel tidak sebutkan bahwa badan Fir'aun diselamatkan Tuhan. Jadi Al Qur'an sungguh kitab yang otentik. dalam Al Qur'an terdapat banyak kecocokan dengan fakta sains. Di antara buktinya ialah: "Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan." [QS 27:88]. Bucaille menjelaskan bahwa ternyata gunung-gunung bersama dengan lempeng bumi bergerak. Jadi ayat Al Qur'an di atas sesuai dengan ilmu pengetahuan. Bucaille juga menjelaskan bahwa ayat Al Qur'an yang menyatakan bahwa Allah menyelamatkan badan Fir'aun hingga bisa dilihat manusia saat ini sesuai dengan kenyataan: "Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu" [QS 10:92].[8]
KESIMPULAN
John Wansbrough dan Maurice Buceille adalah dua tokoh orientalis yang sama – sama mengkaji tentang keotentikan Al Qur’an. Namun keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Pandangan John Wansbrough mengenai Al-Qur’an adalah bahwa Al-Qur’an hanyalah meniru kitab suci Yahudi-Nasrani dan disesuaikan dengan pandangan orang-orang Arab. Sedang Nabi Muhammad adalah nabi Yahudi-Nasrani versi Arab. Sedangkan pandangan Buceille mengenai Al Qur’an adalah Al Qur’an itu otentik dan sesuai dengan ilmu sains. Al Qur’an bukanlah buatan Muhammad. Buceille masuk islam setelah meneliti tentang misteri kematian raja Fir’aun. Ternyata dalam Al Qur’an dalam Surat Yunus ayat 92 telah disebutkan tentang penyelamatan jasad Fir’aun. Padahal jasad fir’aun baru ditemukan pada tahun 1898 M. Sedangkan Al Qur’an telah ada ribuan tahun Sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
http:/halaqahdakwah.wordpress.com/2009/07/15/mauricebucaille-tak-ragu-dengan kebenaran-qur’an, diakses tanggal 13 Januari 2012
http:/id.wikipedia.org/w/index.php?title= mauricebucaille&action=edit, diakses tanggal 13 Januari 2012
http://eprints.sunan-ampel.ac.id/627/1/Sokhi_Huda1.pdf, diakses tanggal 13 Januari 2012
http://search.yahoo.com/search?ei=UTF-8&fr=ytff-&p=sejarah+singkat+jhon+wansbrought, diakses tanggal 13 Januari 2012
Maurice Bucaille. Fir’aun dalam Bibel dan Al-Qur’an (Berdasarkan Temuan Arkeologi). Mizannia: cet.1,2009.
Umi Sumbullah.Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Press .2010.
[4] http://search.yahoo.com/search?ei=UTF-8&fr=ytff-&p=sejarah+singkat+jhon+wansbrought, diakses tanggal 13 Januari 2012
[5]. Umi Sumbulah. Kajian Kritis Ilmu Hadis.(Malang: UIN Maliki Press, 2010)h. 174
[6] http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Maurice_Bucaille&action=edit, di akses pada tanggal 12 Januari 2012
[7] http://halaqohdakwah.wordpress.com/2009/07/15/maurice-bucaille-tak-ragu-dengan-kebenaran-alquran/, di akses pada tanggal 12 Januari 2012
[8]. Maurice Bucaille. ''Firaun dalam Bibel dan Alqur'an (berdasarkan temuan arkeologi)'' (Mizannia: Cet.I, 2007)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !