Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » Tasawwuf Ridho

Tasawwuf Ridho

BAB I
PENDAHULUAN

Ridho berasal dari bahasa Arab mengandung pengertian senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara penuh,[1] sedangkan lawan katanya adalah benci atau tidak senang. Kata ridha ini lazim dihubungkan dengan eksistensi Tuhan dan manusia, seperti Allah ridha kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sedangkan dengan manusia seperti seorang ibu ridha anaknya merantau untuk menuntut ilmu.[2]
Menurut istilah adalah sikap menerima atas pemberian Allah dibarengi dengan sikap menerima ketentuan hukum syari’at secara ikhlas dan penuh ketaatan serta menjauhi dari segala macam kemaksiatan baik lahir maupun batin. Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang terkait dengan sikap kepasrahan sikap seseorang dihadapan kekasihnya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah yang diwjudkan dalam bentuk sikap menerima apa saja yang dikehendaki olehnya tanpa memberontak. Implikasi dari pemahaman terhadap konsep ridha ini adalah sikapnya yang menerima kenyataan sebagai kelompok kecil di tengah-tengah akumulasi kekuasaan pada waktu itu. Implikasi lain terlihat pada pelaksanaan syari’at Islam yang dilakukan dengan penuh ketaatan dan penuh berhati-hati seperti masalah perkawinan, shalat jum’at dan lain-lain.
Disini pemakalah akan memaparkan beberapa tentang ridho antara lain; Ridho Dalam Kajian Tasawuf, Ridho Kepada Tuhan, Ridha Terhadap Perintah Orang Tua, Ridha terhadap peraturan dan undang-undang Negara. Semoga bisa bermanfaat bagi pemakalah dan pembacanya. Amiin……




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Ridho Dalam Masa Kini
Seperti yang kita ketahui, pada era modernisasi layaknya apa yang kita rasakan sekarang, banyak kita dapatkan di kalangan muda mudi saat ini  tidak lagi mematuhi, atau menuruti keinginan orang tuanya, tetapi mereka cenderung mengedepankan keinginan pribadi atau ego masing masing, tanpa mempertimbangkan akibat atau proses kedepan yang akan di hadapi di masa yang akan datang. Salah satu contohnya adalah dalam menentukan jodoh atau pasangan hidupnya menuju ikatan pernikahan.
Seperti halnya sekarang ini banyak dari kalangan anak-anak muda yang menentukan pasangan hidupnya tanpa bertanya kepada orang tuanya, apakah kedua orang tuanya setuju apa tidak, melainkan kebanyakan dari mereka hanya mengedepankan hawa nafsunya dan kurang memikirkan prospek kedepanya yang akan di hadapi dalam bahtera pernikahan mereka.
Serta ada beberapa dari kalangan orang tua sekarang yang membawa anak-anak mereka kejenjang pernikahan tanpa sepengetahuan si anak atau bahkan dengan seseorang yang mungkin mereka sendiri belum saling mengenal satu sama lain. Seperti di dalam hadis yang kita pelajari :

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ )  أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِم[3]ُ
Dari Abdullah Ibnu Amar al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua." Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim
  
B.       Ridho Dalam Kajian Tasawuf
Sedangkan dalam kajian tasawuf perhatian lebih banyak ditujukan kepada upaya mengembangkan emosi ridha dalam hati calon sufi kepada Tuhan. Dikatakan bahwa  janganlah berharap memperoleh ridho Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh dengan subur emosi ridho kepada Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada tidaknya, atau besar kecilnya ridho Tuhan pada seseorang tergantung pada ada tidaknya atau besar kecilnya ridho hatinya kepada Tuhan.[4]

C.       Ridho Kepada Tuhan
Ridho kepada Tuhan, menurut para sufi, mengandung makna luas; ia mengandung antara lain makna-makna berikut: Tidak menentang kada dan kadar Tuhan, menerima kada dan kadar-Nya itu dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di  dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.[5]


 
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved