PENDEKATAN
DALAM MEMAHAMI HADIS
(Pendekatan
Hermeneutik)
I.
PENDAHULUAN
Hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
Alqur’an memerlukan adanya upaya pengamalan dan aktualisasi dalam kehidupan
sehari-hari. Hadis yang awalnya merupakan tradisi “lisan” kemudian menjadi
tradisi “tertulis”. Maka dari itu perlu adanya usaha untuk memahami hadis
terlebih dahulu. Apalagi hadis-hadis yang menyangkut persoalan politik, sosial,
ekonomi, dan budaya yang memberikan celah untuk diperlukannya sebuah kajian
yang mendalam dan sekaligus pembaruan penafsiran, pemahaman dan pemaknaan
terhadapnya.
Oleh sebab itu, diperlukan ijtihad atau pemikiran
yang keras untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan penafsiran baru, yang tetap
sesuai dengan ruh dan jiwa keislaman dengan tetap memberikan
kemungkinan-kemungkinan perluasan dan pengembangan wilayah pranata sosial
budaya politik dan ekonomi yang sudah ada.
Untuk mencapai usaha tersebut, beberapa ilmuwan
muslim memberikan alternatif metode baru yang berkembang di era kontemporer,
yaitu hermeneutika dalam memahami dan menjelaskan hadis agar pesan-pesan yang
terkandung dalam hadis dapat diamalkan oleh umat Islam secara dinamis sesuai
dengan konteks zaman sekarang.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi
Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, “hermeneuein”
yang berarti “menafsirkan, menerjemahkan, mengartikan”.[1] Dari
kata hermeneuein ini dapat ditarik kata benda hermenia yang
berarti ”penafsiran” atau “interpretasi” dan kata hermeneutes yang
berarti interpreter (penafsir).[2]
Dalam mitologi Yunani ada tokoh yang dikaitkan
dengan hermeneutika, yaitu Hermes. Hermes dianggap sebagai tokoh yang bertugas menjadi
penghubung/ menyampaikan pesan antara Dewa (Jupiter) kepada manusia.[3] Menurut Hossein Nasr yang dikutip oleh
Komaruddin Hidayat, Hermes tak lain adalah Nabi Idris as yang disebutkan dalam
QS. Maryam [19]: 56.[4]
Dapat ditambahkan juga bahwa penamaan beliau dengan Idris yang terambil dari
rangkaian huruf-huruf dal ra sin, yakni belajar mengajar, boleh
jadi karena beliau sebagai orang pertama yang mengenal tulisan atau orang yang
banyak belajar dan mengajar.[5]
Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalihbahasakan
ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia.
Pengalihbahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situlah kemudian
pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau
interpretasi.
Hermeneutika dan penafsiran mempunyai wilayah
persentuhan. Penafsiran teks adalah kegiatan berfikir, praktik penafsiran, atau
usaha memahami. Untuk berfikir orang bisa tidak bermetode, tetapi berfikir yang
baik adalah berfikir dengan metode. Jika diputuskan untuk menggunakan metode
dalam menafsirkan atau memikirkan teks, maka disitulah hermeneutika berperan.
Jadi hermeneutika adalah metode atau teori penafsiran.[6]
Hermeneutika
bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah ilmu-ilmu Keislaman, khususnya ilmu
tafsir. Ibnu Taimiyyah misalnya, ia menyatakan bahwasannya proses yang benar
dalam upaya penafsiran itu harus memperhatikan tiga hal yaitu: pertama, siapa yang menyabdakannya, kedua, kepada
siapa ia diturunkan, ketiga, Ditujukan
kepada siapa.[7]
Barangkali Ibnu Khaldun juga telah merintis pendekatan hermeneutika. Dia
mengatakan bahwa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak
dihidupkan secara konsisten melalui penafsiran ulang yang sejalan dengan
dinamika sosial.[8]
B. Metode
Hermeneutika
Dari definisi yang telah penulis kemukakan, dapatlah
ditarik sebuah pengertian bahwa hermeneutik adalah suatu ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya
yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam
situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian
pamahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Dalam hal
ini ada 3 unsur/ pilar utama hermeneutika, yaitu:
1. Penggagas,
(author), komunikator atau subjek yang menyampaikan apa yang ada dalam
benaknya dan hendak disampaikan kepada audiens melalui bahasa.
2. Teks
(text), bahasa yang menjadi alat penyampaian, yang menjadi tanda bagi
maksud ujaran tersebut.
3.
Pembaca (reader),
atau audiens yang menjadi sasaran pengujaran komunikator.[9]
Secara garis
besar, pembahasan hermeneutika berkisar tentang bagaimana memahami sebuah teks
yang telah usang tetap relevan untuk dipakai pada saat ini. Terkait dengan
hadis, maka matanlah yang menjadi fokus kajian hermeneutika. Sebab matan
merupakan bentuk material hadis (isi/mean idea) dari sebuah hadis.
Dengan begitu, maksud hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari
berbagai perkiraan menyimpang, dalam bahasa Syuhudi Ismail agar jelas mana yang
bersifat temporal, kekal, parsial atau lokal sehingga dapat diketahui bagaimana
metode pemahaman hadis Nabi dengan mempertimbangkan asbabul wurud.
Sebagai sebuah
metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks melainkan berusaha menggali
makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut.
Yaitu: horison pengarang, horison teks, horison pembaca. Dengan kata lain,
perlu diketahui bagaimana situasi psikologis pembicara (Nabi) dan pendengar
(sahabat), bagaimana hubungan antar mereka , apakah dialog berlangsung dalam
forum umum atau terbatas.[10]
Dari situlah diharapkan adanya upaya pemahaman ataupun penafsiran menjadi
kegiatan reproduksi makna teks. Dengan melacak bagaimana teks itu dimunculkan
oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang
kedalam teks yang dibuatnya, dan juga berusaha melahirkan kembali makna
tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau
dipahami.[11]
Triadik
hermeneutika (teks, pengarang dan pembaca), ketiga-tiganya dihubungkan oleh
bahasa. Tanpa alat bantu (bahasa) mustahil para penghimpun hadis-hadis Nabi dan
teks-teks hadis mampu bersentuhan dengan dunia pembaca, yaitu para pengkaji
hadis. Karena hadis tertuang dalam bahasa Arab, maka cara yang paling dekat
mengenal hadis adalah dengan merujuk pada karakter bahasa Arab itu sendiri.[12]
Namun dalam
kajian hermeneutika, bukan hanya gramatika bahasa yang ditekankan, pendekatan
historis, sosiologis dan antropologis juga harus dikedepankan. Dengan begitu,
untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam teks, harus ketahui latar belakang
sosial budaya dimana dalam dalam situasi apa sebuah teks itu muncul.
1. Pendekatan
Historis
Pendekatan ini dilakukan sebagai usaha dalam
mempertimbangkan kondisi historis pada saat hadis dimunculkan (asbabul Wurud).
Dengan mengetahui kejadian yang mengitari, mengapa Nabi bersabda serta
bagaimana suasana dan kondisi sosio cultural masyarakat termasuk didalamnya
persoalan politik.[13]
Contoh:
Hadis tentang Syair (puisi)[14]
لِأَنْ
يَمْتَلِىءَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا
خَيْرٌ لََهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا. (رواه البخاري عن إبن عمر ومسلم
وأحمد عن سعد بن أبي وقاص)
Lebih
baik perutmu diisi nanah daripada diisi syair (puisi).
Apabila hadis diatas dipahami secara tekstual, maka
berarti bahwa syair (puisi) dan bersyair itu haram. Dalam hadis tersebut Nabi
menyatakan ketidaksenangan beliau kepada syair.
Hadis tersebut mempunyai asbabul wurud. Pada
suatu saat, Rasulullah mengadakan perjalanan dan berada dikota al-‘Arj,
terletak sekitar 78 mil dari Madinah. Kota itu merupakan tempat pertemuan
berbagai jurusan. Karenanya wajar bila berbagai budaya, antara lain yang berupa
syair, bertemu dikota itu. Tiba-tiba di hadapan Rasulullah ada seseorang yang
mendeklamasikan suatu syair. Rasulullah lalu menyabdakan pernyataan sebagaimana
hadis diatas.
Menurut Al-Nawawi (w. 676 H/ 1277 M), syair (puisi)
yang dibaca oleh orang tersebut berkemungkinan sekali isinya tidak sopan
(melanggar tatasula), atau karena penyairnya orang kafir. Karenanya, Nabi
menyatakan celaan terhadap syair.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hadis tersebut tidak
harus diartikan secara tekstual, karena pada zaman sekarang para ulama sering
menggunakan syair dan nadham dalam memberikan ajaran pokok-pokok Islam. Dengan
kalimat lain bahwa, syair hanya
boleh digunakan bila ia tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam.
2. Pendekatan
Sosiologis dan Antropologis
Pendekatan sosiologis menyoroti sudut posisi manusia
yang membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan pendekatan antropologis adalah
analisa yang dilakukan dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku
dalam sebuah tatanan nilai yang dipegang dalam kehidupan manusia. Kontribusi
pendekatan ini bertujuan menyajikan uraian yang menyakinkan tentang apa yang
sesungguhnya terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam
hubungannya dengan ruang dan waktu. Dengan begitu dapatlah diperoleh gambaran
yang utuh dalam pemahaman yang benar terhadap hadis.[15]
Contoh:
Hadis
tentang memelihara jenggot dan menggunting kumis.[16]
اِنْهَكُوا
الشَّوَرِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَي. (رواه البخاري والمسلم وغيرهما عن
ابن عمر)
Guntinglah
kumis dan panjangkanlah jenggot.
Hadis tersebut oleh sebagian umat Islam mereka
pahami secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa Nabi telah menyuruh semua kaum
laki-laki untuk memelihara kumis dengan memangkas ujungnya dan memelihara
jenggot dengan memanjangkannya.
Perintah Nabi tersebut memang relevan untuk
orang-orang Arab, Pakistan, dan lain-lain yang secara alamiah mereka dikarunia
rambut yang subur, termasuk dibagian kumis dan jenggot. Tingkat kesuburan dan
ketebalan rambut milik orang-orang Indonesia tidak sama dengan milik orang-orang
Arab tersebut.
Atas kenyataan tersebut, maka hadis diatas harus
dipahami secara kontekstual. Kandungan hadis tersebut bersifat lokal. Dengan
begitu maka pemahaman terhadap berbagai petunjuk hadis Nabi bila dihubungkan
dengan latar belakang terjadinya, ada yang harus diterapkan secara tekstual dan
ada yang harus diterapkan secara kontekstual.[17]
Kemudian, Sunah memakan kurma dan meminum susu.
Jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh Nabi adalah kurma dan susu.
Jika dilihat kondisi geografis tanah Arab, akan ditemukan bahwa produk
pertanian utamanya adalah pohon kurma. Pada saat yang sama, mereka memelihara
onta dan kambing yang menghasilkan susu. Berdasarkan sudut pandang ini, dapat
dipahami bahwa Sunah Nabi dalam hal makanan merupakan anjuran kepada kaum
Muslimin agar mengkonsumsi makanan yang dihasilkan oleh dan tersedia ditanah
airnya. Dengan demikian, secara esensial Sunah ini mengajarkan tentang perilaku
bertanah air. Adapun jika memahami bahwa Sunah ini merupakan perintah untuk
selalu mengkonsumsi kurma dan susu, maka hanya memahaminya dari sisi
lahiriahnya saja tetapi melupakan esensinya.[18]
III.
PENUTUP
Dari apa yang
telah dikemukakan diatas, dapatlah sedikit disimpulkan bahwa hermeneutika
bertujuan untuk menjembatani jarak antara penulis (pengarang) dan pembaca
(pendengar) yang antara keduanya dihubungkan dengan teks. Teks tidak cukup
menampung logat, intonasi, mimik bahkan batin si penyampai pesan. Dari situlah
hermeneutika hadir untuk membantu pembaca teks untuk sampai atau setidaknya
mendekati keutuhan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang/ penyampai teks.
Tanpa mengurangi
kelebihan yang dimiliki hermeneutika sebagai metodologi kajian teks,
hermeneutika bukanlah satu-satunya metode yang yang terbaik untuk menghasilkan
penafsiran kontekstual terhadap Alqur’an maupun Hadis.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Syukri Saleh. Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman.
Ciputat: Gaung Persada Press, 2007.
Aksin
Wijaya. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Fahruddin
Faiz. Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks Dan Kontekstualisasi, cet.
IV. Yogyakarta: Qalam, 2007.
Fazlur
Rahman dkk. Wacana Studi Hadis
Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002.
Komaruddin
Hidayat. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta:
Paramadina, 1996.
Kurdi,
dkk. Hermeneutika Alqur’an & Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010.
M.
Quraish Shihab. Membumikan Alqur’an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam
Kehidupan. Tangerang: Lentera Hati, 2011.
Muhammad
Syahrur. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj.
Sahiron Syamsuddin, cet. II. Yogyakarta: Sukses Offset, 2007.
Nasaruddin
Umar. Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir. Jurnal
study Al Qur`an, Vol. 1, No. 1. Ciputat : Pusat study Al Qur`an ( PSQ ) , 2006.
Syuhudi
Ismail. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1994.
.
[1]
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2007), h. 72.
[2]
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks Dan
Kontekstualisasi, cet. IV, (Yogyakarta: Qalam, 2007), h. 18.
[3]
Kurdi, dkk, Hermeneutika Alqur’an & Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2010), h. 36.
[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama,
Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 125.
[5]
M. Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam
Kehidupan, (Tangerang: Lentera Hati, 2011), h. 554.
[6]
Nasaruddin Umar, Menimbang Hermeneutika Sebagai Manhaj Tafsir, Jurnal study Al Qur`an, Vol. 1, No. 1, (Ciputat : Pusat study Al
Qur`an ( PSQ ) , 2006), h. 44.
[7]
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani…, h. 12
[8]
Nasaruddin Umar, Menimbang Hermeneutika…, h. 51
[9]
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 179.
[10]
Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis
Kontemporer, ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), 147.
[11]
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani..., h. 11.
[12]
Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis
Kontemporer, h. 147.
[13]
Kurdi, dkk, Hermeneutika Alqur’an & Hadis, h. 374-375.
[14]
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1994), h. 60.
[15]
Kurdi, dkk, Hermeneutika Alqur’an & Hadis, h. 375.
[16]
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi…, h. 68.
[17]
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi…, h. 69.
[18]
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj.
Sahiron Syamsuddin, cet. II, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2007), h. 197.
'Hermenetika' adalah semacam kacamata sudut pandang manusia yang biasa digunakan untuk ‘menyaring’ penafsiran manusia terhadap kitab suci agar hasilnya bersesuaian dengan kacamata sudut pandang sang penggagas,yang biasanya mengacu pada prinsip agar ‘bersesuaian dengan parameter ke kini an,misal bersesuaian dengan prinsip kacamata sudut pandang ‘modernisme’ atau yang lainnya. dengan kata lain secara halus sang penggagas sebenarnya ingin mendoktrin atau mengendalikan cara berfikir manusia agar cara pemahaman manusia terhadap agama mengikuti bingkai pemahamannya. Sang penggagas (hermenetika) juga menerapkan beragam syarat ‘ilmiah’ yang ketat sebelum orang mendefinisikan agama sebagai ‘kebenaran’ yang diyakini secara mutlak,sang penggagas (bisa saja) ingin agar manusia ‘meragukan apa yang selama ini diyakininya’ karena ‘kondisi dan keadaan dianggap sudah berbeda dengan saat kitab suci diturunkan’,maka karena itu sang penggagas menyiapkan ‘cara pemahaman baru’.
ReplyDeleteDengan kata lain bila kita menggunakan kacamata penggagas hermenetika dalam cara menafsirkan atau mendeskripsikan agama maka bisa jadi kita sebenarnya (sadar atau tidak ) sedang digiring (atau di doktrin ?) untuk memahami sesuatu berdasar kacamata sudut pandang penggagas,sehingga bisa jadi kita tidak lagi bebas menggunakan hati nurani dan akal fikiran kita dalam menafsirkan kebenaran agama.
Tapi jangan lupa bahwa konsep kebenaran mutlak (yang menjadi konstruksi agama) adalah konsep kebenaran yang bersifat hakiki dan abadi tak bisa diubah oleh manusia,dan konsep demikian hanya bisa dibaca oleh orang yang memiliki hati nurani (ruhani) dan akal yang jernih-kuat dan cerdas.jadi yang tak bisa dikutak katik atau diubah penggagas hermenetika adalah essensi.
Dan penafsiran terhadap kitab suci sebenarnya lebih bergantung pada niat hati manusia,bila niat untuk tunduk dan patuh pada Tuhan tentu,hasilnya pasti akan lain dengan bila menafsirkan kitab suci dengan tujuan hanya untuk berwacana,beropini atau berdebat semata.
Tanpa kacamata baca ala ‘hermenetika’ sekalipun sebenarnya manusia secara alami sudah diberi atau dibekali Tuhan hati dan akal sebagai alat untuk menangkap-memahami serta mengelola kitab suci,bila melihat dengan kacamata 'nurani' dan akal yang bersih (murni tidak didoktrin oleh manusia) pasti beda dengan bila menggunakan doktrin ‘saringan’ yang dibuat oleh manusia.
Hati nurani yang tulus menangkap maksud-pesan Tuhan secara tepat-autentik sebagaimana aslinya seperti pesawat televisi menangkap siaran stasion pemancar,karena untuk maksud itulah Tuhan menciptakan hati. (inilah yang sering ‘dipermasalahkan penggagas hermenetik,mereka seperti tidak memahami dan tidak menghayati peran hati,karena sebagian penggagas terlalu sering bermain di wilayah ‘otak’ dalam mengkaji agama).
Agama hasil saringan kacamata hermenetika seringkali merupakan ‘agama’ yang sudah tidak otentik lagi karena sudah diramu,dikemas,dibingkai oleh berbagai keinginan manusia yang beraneka ragam diantaranya untuk ‘mengendalikan’ agama,atau menjdi tidak murni karena sudah tercampur dengan berbagai bentuk pemikiran bebas manusia,yang berasal dari niat atau motivasi yang beragam.
Memang bisa beda jauh hasil kajian agama bila dilihat dengan kacamata agama (yang telah disediakan dalam kitab suci) dengan kacamata penggagas hermenetik,missal : bila dengan kacamata agama kita melihat dan memahami agama sebagai konsep kebenaran mutlak maka bila kita melihatnya dengan kacamata hermenetika bisa saja kebenaran agama akan nampak ‘relatif’ (jadi terbalik 180 derajat!). itu adalah suatu contoh nyata bagaimana pembalik an makna mudah terjadi hanya karena kita menggunakan kacamata yang berbeda.