NASHIRUDDIN AT THUSI
A. Pendahuluan
Berbicara tentang filsafat, kita harus tahu terlebih dahulu
apa arti filsafat itu sendiri. Kata filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa
Yunani: philoshophia yang banyak diperoleh pengertian-pengertian, baik secara
harfiah atau etimologi. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta, gemar,
suka dan kata sophia berarti pengetahuan, hikmah dan kebijaksanaan. filsafat
menurut arti katanya dapat diartikan sebagai cinta, cinta kepada ilmu
pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah juga kebijaksanaan.
Di dalam filsafat islam klasik, akan kita jumpai nama nama para tokoh filasafat yang tentunya akan menambah wawasan keilmuan kita. Dan didalam makalah yang singkat ini akan diterangkan mengenai pengertian tokoh filsafat Nashiruddin at thusi, biografinya, karyanya, dan beberapa pandangan filsafatnya.
Di dalam filsafat islam klasik, akan kita jumpai nama nama para tokoh filasafat yang tentunya akan menambah wawasan keilmuan kita. Dan didalam makalah yang singkat ini akan diterangkan mengenai pengertian tokoh filsafat Nashiruddin at thusi, biografinya, karyanya, dan beberapa pandangan filsafatnya.
B. Pembahasan
1. Biografi
Nashiruddin at thusi
Nashirudin Al-Thusi (1200-1273 M), atau yang dikenal dengan
Khawajah Nashir atau Khawajah al-Thusi, adalah salah seorang ulama besar
syi’ah. Ia menulis banyak buku yang tidak hanya meliputi ilmu-ilmu agama,
tetapi juga filsafat, matematika, dan astronomi. Karena kepandaiannya tersebut,
akhirnya ia menjadi orang kepercayaan Hulagu Khan, penguasa Mongol yang
berkuasa saat itu atas wilayah Iran dan sekitarnya.
Namun di kemudian hari, setelah peristiwa penaklukan Baghdad (10 Februari 1258 M/ 656 H) yang mengakhiri 500 tahun kekuasaan rezim dinasti Abbasiyah, muncul pernyataan bahwa al-Thusi berperan dalam peristiwa tersebut. [1] Al-Thusi melihat bahaya besar bagi Islam dan kaum muslimin akibat masuknya dan berkuasanya Mongol di dunia Islam. Penguasa Mongol telah meruntuhkan kota-kota Islam di sepanjang jalan dan membasmi populasi muslimin. Semua warisan budaya, termasuk perpustakaan, dihancurkan tanpa ampun. Ia melihat tak ada yang bisa menghalangi hal ini, dan sejarah telah membuktikannya. Bila hal ini berlarut-larut, maka Mongol akan mengubah dunia Islam menjadi tak berbudaya dan tak beradab (barbar), dan kaum musliminakankembalikemasajahiliyah. Oleh karena itu, ia berpikir mumpung penguasa baru saat itu menunjukkan penghormatan kepada para ulama, maka ia bisa memanfaatkan ini untuk menyelamatkan Islam dan kaum muslimin. Selain itu, siapa tahu ada di antara mereka yang kemudian mau memeluk Islam. Al-Thusi dipercaya untuk mengurus harta pemerintah. Dan ia memanfaatkan ini untuk membagikannya secara adil kepada kaum muslimin, terutama rakyat yang tertindas. Ia juga menggunakan harta tersebut untuk membangun observatorium “Easad Khanah”, dan menggaji para ulama yang bekerja disana.
Namun di kemudian hari, setelah peristiwa penaklukan Baghdad (10 Februari 1258 M/ 656 H) yang mengakhiri 500 tahun kekuasaan rezim dinasti Abbasiyah, muncul pernyataan bahwa al-Thusi berperan dalam peristiwa tersebut. [1] Al-Thusi melihat bahaya besar bagi Islam dan kaum muslimin akibat masuknya dan berkuasanya Mongol di dunia Islam. Penguasa Mongol telah meruntuhkan kota-kota Islam di sepanjang jalan dan membasmi populasi muslimin. Semua warisan budaya, termasuk perpustakaan, dihancurkan tanpa ampun. Ia melihat tak ada yang bisa menghalangi hal ini, dan sejarah telah membuktikannya. Bila hal ini berlarut-larut, maka Mongol akan mengubah dunia Islam menjadi tak berbudaya dan tak beradab (barbar), dan kaum musliminakankembalikemasajahiliyah. Oleh karena itu, ia berpikir mumpung penguasa baru saat itu menunjukkan penghormatan kepada para ulama, maka ia bisa memanfaatkan ini untuk menyelamatkan Islam dan kaum muslimin. Selain itu, siapa tahu ada di antara mereka yang kemudian mau memeluk Islam. Al-Thusi dipercaya untuk mengurus harta pemerintah. Dan ia memanfaatkan ini untuk membagikannya secara adil kepada kaum muslimin, terutama rakyat yang tertindas. Ia juga menggunakan harta tersebut untuk membangun observatorium “Easad Khanah”, dan menggaji para ulama yang bekerja disana.
Al-Thusi membangun perpustakaan-perpustakaan, membangkitkan
kembali ilmu pengetahuan Islam, dan membina para pelajar. Ia juga mampu
mengkoleksi 400.000 buku di perpustakaan yang dibangunnya tersebut.
Al-Thusi berhasil menggalang simpati Hulagu sedemikian luas, sampai-sampai Hulagu tidak akan menunggang kuda dan melakukan perjalanan tanpa persetujuan al-Thusi. Dan ia memanfaatkan ini untuk melindungi para ulama Islam, yang telah membuat gusar penguasa Mongol, tanpa melihat mazhabnya. Seperti ketika ia menyelamatkan nyawa Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, Muwaffaq al-Dan, serta Ala’uddin al-Juwayni. Al-Thusi juga berhasil menarik simpati Abaqan, putera Hulagu yang berkuasa sepeninggal Hulagu. Hal ini ia gunakan untuk melindungi para pelajar. Akibatnya, Abaqan memberikan hadiah kepada hampir seratus pelajar yang pernah menjadi murid al-Thusi. Dan bahkan ia pun sempat menyeru dan mengingatkan Abaqan agar ia menyenangkan Allah SWT, berbuat adil, menyelesaikan permasalahan rakyat dengan cara yang baik dan luhur, tidak berbuat tiran terutama kepada orang-orang saleh dan rakyat tak-berdosa, serta menyuburkan tanah-tanah sehingga kekayaan bisa diperoleh tanpa penindasan dan penderitaan rakyat. Setelah al-Thusi wafat, hasil dari upayanya tersebut terlihat dengan makin populernya Islam di kalangan penguasa Mongol dan warga Mongol di Iran. Karenanya, matahari Islam bersinar dan kegelapan pun sirna.[2]
Al-Thusi berhasil menggalang simpati Hulagu sedemikian luas, sampai-sampai Hulagu tidak akan menunggang kuda dan melakukan perjalanan tanpa persetujuan al-Thusi. Dan ia memanfaatkan ini untuk melindungi para ulama Islam, yang telah membuat gusar penguasa Mongol, tanpa melihat mazhabnya. Seperti ketika ia menyelamatkan nyawa Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili, Muwaffaq al-Dan, serta Ala’uddin al-Juwayni. Al-Thusi juga berhasil menarik simpati Abaqan, putera Hulagu yang berkuasa sepeninggal Hulagu. Hal ini ia gunakan untuk melindungi para pelajar. Akibatnya, Abaqan memberikan hadiah kepada hampir seratus pelajar yang pernah menjadi murid al-Thusi. Dan bahkan ia pun sempat menyeru dan mengingatkan Abaqan agar ia menyenangkan Allah SWT, berbuat adil, menyelesaikan permasalahan rakyat dengan cara yang baik dan luhur, tidak berbuat tiran terutama kepada orang-orang saleh dan rakyat tak-berdosa, serta menyuburkan tanah-tanah sehingga kekayaan bisa diperoleh tanpa penindasan dan penderitaan rakyat. Setelah al-Thusi wafat, hasil dari upayanya tersebut terlihat dengan makin populernya Islam di kalangan penguasa Mongol dan warga Mongol di Iran. Karenanya, matahari Islam bersinar dan kegelapan pun sirna.[2]
2. Karyanya
1.
Tentang logika : Asas al – iqtibas, Al – Tajrid fi ‘llm al –
mantiq,
2.
Tentang metafisika : Risalah dar ithbat-i wajib, Istbat-I
jauhar al- mufariq
3.
Tentang etika : Akhlaq-I Nasiri, Ausaf ul- Asyraf
4.
Tentang teologi : Tajrid al-aqa’id, Qawa’id al-‘Aqa’id
5.
Tentang Astronomi, tentang aritmatika, tentang Optik,
tentang music dan tentang medical.
3. Filsafatnya
a.
Metafisika
Metafisika terdiri atas dua bagian :
1.
Ilmu ketuhanan ( ‘ilm-i ilahi ), mencangkup persoalan
tentang ketuhanan, akal, jiwa, dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut,
seperti kenabian ( nubuwwat ) kepemimpinen ( imamat ) dan hari pengadilan (
qiyamat )
2.
Filsafat pertama ( falsafah-i ula ), meliputi alam semesta
dah hal hal yang berhubungan dengan alam semesta. Termasuk dalam hal ini
penegtahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian atau kemungkinan,
esensi dan eksistensi, kekekalan dan tidak kekekalan. Bagi al – thusi, tuhan
tidak perlu di buktikan secara logis. Eksistensi tuhan harus di terima dan di
anggap sebagai postulat, bukanya di buktikan. Mustahil bagi manusia yang
terbatas untuk memahami tuhan di dalam keseluruhannya, termasuk membuktikan
eksistensinya.
b.
Jiwa
Menurut at – thusi, jiwa merupakan
subtansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Kebebasan jiwa
tidak memerlukan pembuktian. Jiwa mengontrol tubuh melalui otot otot dan alat
alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat di rasa oleh alat alat
tubuh.berbagai ragam yang di terima oleh jiwa, seperti persoalan logika, fisia,
matematika dan lain lain yang tidak terjadi campur baur, dan dapat di inggat
dengan jelas. Tentu hal ini tidak
mungkin terdapat pada suatu subtansi material yang kapasitasnya terbatas.
Karena itu, jiwa adalah substansi immaterial. Kalau pun jiwa memerlukan tubuh
sebagai alat penyempurnaan dirinya, tetapi ia tidak begitu karena pemilikanya
akan tubuh.[3]
c.
Moral
Menurut at thusi, bahwa kebahagiaan
utama adalah tujuan moral utama, yang di tentukan oleh tempat dan kedudukan manusia
dan di wujutkan lewat kesediaanya untuk berdisiplin dan patuh. At thusi
mendukung pemikiran plato bahwa kebaikan kebaikan mengacu kepada kebijaksanaan,
keberanian, kesderhanaan, dan keadilan yang berasal dari tiga kekuatan jiwa,
yakni akal, kemarahan dan hasrat. At thusi juga menempatkan kebajikan di atas
keadilan, dan cinta sebagai sumber alami kesatuan, di atas kebajikan. Bagi at
thusi, masyarakat berperan menentukan kehidupan moral, sebab pada dasarnya
manusia adalah makhuk sosial, bahkan kesempurnaanya terletak pada tindakan yang
bersifat sosial kepada sesamanya, dengan kata lain dia mendukung konsep cinta
dan persahabatan.
d.
Politik
Thusi menggunakan istilah siyasat-i
mudum untuk ilmu kemasyarakatan dan ilmu pemerintahan menurut thusi, pada dasarnya
manusia adalah makhuk sosial. Hal itu sesuai dengan istilah insan yang secara
harfiyah berarti orang yang suka berkumpul dan berhubungan. Karena kemampuan
alamiah untuk berteman itu merupakan ciri khas manusia, maka kesempurnaan
manusia dapat di capai dengan menunjukan sepenuhnya watak ini terhadap
sesamanya. Itulah sebabnya Islam menekankan keutamaan sholat jamaah.
Kata tamaddun berasal dari kata madinah
( kota ) yang berarti kehidupan bersama manusia yang memiliki pekerjaan yang
berbedabeda dengan tujuan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Karena tidak satu manusia pun bisa memcukupi dirinya sendiri, maka setiaporang
membutuhkan bantuan dan kerja sama orang lain.
e.
Kenabian
Menurut at thusi, manusia mempunyai
kebebasan bertindak dan kelak akan di bangkitkan kembali tubuhnya. Pendapat ini
membawa konsekwensi beragamnya minat serta kemungkinanya terjadi kekacauan
dalam kehidupan sosial. Untuk itu di perlukan aturan suci dari tuhan untuk
mengatur kehidupan manusia. Oleh karena tuhan berada di luar jangkauan indra,
ia mengutus para nabi untuk menuntun manusia. Jadi kehadiran nabi sangat di
perlukan manusia, termasuk dalam hal ini pemimpin spiritual untuk melanjutkan aturan suci yang di terapkan para
nabi.
C.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa:
Meski bermacam-macam pandangan dan metode dan
sikap dalam gerakan eksistensialisme, para filsuf dari kelompok ini senantiasa
memperhatikan kedudukan manusia. Titik sentral pembicaraan mereka adalah soal
keterasingan manusia dengan dirinya dan dengan dunia.
Gerakan
eksistensialisme ini muncul sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat
terdahulu, yaitu materialisme dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia
pada umumnya yang tidak menentu. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh
imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut
konvensi atau tradisi.
Kierkegaard
dan Sartre merupakan tokoh yang mewakili aliran eksistensialime ini. Dari latar
belakang yang berbeda yang satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung
konsep tentang keberdaan manusia sebagai subyek di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kh. Jamil Ahmad, 100 muslim terkemuka,
terjemahan dari “ hundred great muslims” ( jakarta: pustaka firdaus, 1994 )
hlm. 166-167.
A.H. Hairi, “Nasiruddin Tusi: His Alleged
Role in the Fall of Baghdad”, hal. 255-266.
Dr. Hasyimsyah Nasution , M.A. ( gaya
media pratama jakarta 1999 ) hlm. 139 .
.
[1]
Kh. Jamil Ahmad, 100 muslim terkemuka, terjemahan dari “ hundred great
muslims” ( jakarta: pustaka firdaus, 1994 ) hlm. 166-167
[2] A.H.
Hairi, “Nasiruddin Tusi: His Alleged Role in the Fall of Baghdad”, hal.
255-266
[3]
Dr. Hasyimsyah Nasution , M.A. ( gaya media pratama jakarta 1999 ) hlm. 139
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !