BAB I
PENDAHULUAN
Pembaharuan mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan upaya untuk memahami kembali sumber Islam dengan melepaskan diri dari pemahaman lama dengan maksud untuk merelevankan Islam dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Maksud pembaharuan disini bukan ditujukan untuk mempertanyakan keabsahan sumber ajaran Islam, melainkan upaya mengubah pola pemikiran umat Islam agar tidak terikat secara kaku kepada pola pemahaman dan pemikiran masa lampau.
Istilah pembaharuan ini sudah sering kita dengar pada era 80an yang digulirkan oleh para cendekiawan Islam pada saat itu. Sebut saja Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Amin Rais. Tidak ketinggalan juga yang ikut meramaikan wacana pembaharuan ini adalah Munawir Sjadzali, yang pada waktu itu sedang menjabat Menteri Agama Republik Indonesia selama dua periode (1983-1988 dan 1988-1993).
Hal ini terlihat pada sikap dan cara yang mereka tempuh dalam menyelesaikan persoalan keagamaan khususnya yang menyangkut perbankan dan kewarisan. Dalam pembaruan pemikiran dan pengembangan hukum kewarisan islam dengan perangkat metodologis yang terangkum dalam diktum ushul fiqh menjadi agenda yang tak pernah berkesudahan, yang mana memunculkan berbagai tokoh pembaharu dalam islam.
Munawir Sjadzali sendiri mencoba untuk menganalisis sebuah konsep kewarisan sebagai bagian dari diskursus hukum islam kontemporer di Indonesia, dan sekaligus menggambarkan prangkat metodologis yang digunakannya dalam pembaruan pemikiran dan pengembangan hukum islam di Indonesia. Dalam hal ini banyak sekali ide dan gagasan yang memunculkan pro dan kontra hingga saat ini, terutama mengenai pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan serta mengenai Tata Negara dan Islam. Terhadap kewarisan, Munawir menggunakan konsep dalam ushul fiqh dengan tujuan keadilan bagi semua masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Munawir Sjadzali
Munawir Sjadzali lahir didesa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, pada tanggal 7 Novenber 1925. Munawir adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan Tas’iyah (putri Badruddin). Dari delapan bersaudara yang masih hidup hingga sekarang tinggal tiga orang, yaitu Munawir sendiri, Hamnah Qasim (anak kelima), dan Hifni (anak keenam). Hasyim (anak ketiga) gugur dalam perang kemerdekaan 1948, empat lainnya meninggal sebelum mencapai usia lima tahun, satu orang meninggal karena terbakar lampu minyak, dan satu lagi meninggal, menurut Munawir dikarenakan kurang gizi. Dari segi ekonomi, keluarga Munawir memang jauh dari sejahtera, tetapi dari segi agama keluarga ini adalah santri yang mana keluarga itu menghiasinya rumah tangga dengan nilai-nilai religius dan menjadikannya orang yang memiliki pengetahuan agama yang cukup luas.
Dari kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan, menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan yaitu madrasah. Tidak hanya biaya pendidikan dilembaga ini relatif murah, tetapi juga di karena lembaga pendidikan ini mengutamakan ilmu-ilmu tradisional islam. Dan karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di kampungnya Munawir melanjutkan ke Mambaul Ulum, Solo yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari desa karanganom. Pada tahun 1943 tepat pada usia 17 tahun, dengan segala penderitaan dan perjuangannya, Munawir berhasil menamatkan di Mambaul Ulum dengan mengantongi ijazah dari madrasah terkenal ini. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari Munawir adalah kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik islam dan akhirnya membawa implikasi kepada luasnya wawasan keagamaan Munawir. [1]
Selepas dari Mambaul Ulum, Munawir berencana mencari pekerjaan, tetapi tidak satu pun lamarannya diterima. Kemudian beliau mengembara dan sampailah di Salatiga. Disana ia mendengar bahwa sekolah Muhammadiyah memerlukan seorang guru dan Munawir pun mengajukan lamaran. Tanpa kesulitan ia pun diterima sebagai guru Sekolah Rakyat Muhammadiyah dengan masa percobaan. Karena merasa ada yang kurang disekolah itu ia pun pindah ke Gunungpati, Semarang menjadi guru. Dari sinilah keterlibatan Munawir dengan kegiatan-kegiatan umat islam dalam sekala nasional dimulai. Yang dulunya hanya terlibat dalam masalah mengajar, sekarang berkembang kearah kegiatan yang bersifat sosial dan dilibatkan dalam pembentukan badan-badan semi resmi maupun swasta. Di Gunungpati inilah pertama kalinya Munawir bertemu dengan Bung Karno yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Meskipun dialog antara Munawir dan Bung Karno hanya berlangsung singkat, pertemuan ini menggoreskan kesan mendalam dalam diri Munawir.
Proklamasi kemerdekaan RI 1945 membawa perubahan-perubahan diwilayah Gunungpati. Hal ini mengakibatkan timbulnya masalah-masalah politik, keamanan daan sosial yang di luar kemampuan aparat pemerintahan. Menghadapi hal ini. Masyarakat Gunungpati membentuk Angkatan muda Gunungpati yang diketuai oleh Munawir, yang mana Munawir di kenal sebagai pemuda aktif dalam beberapa organisasi. Munawir juga menjabat sebagai ketua Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS), dan ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Kehidupan di Semarang sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya, yaitu Munawir bertemu dengan jodohnya, seorang gadis yang bernama Murni yang waktu itu aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII).
Kemudian pada tanggal 25 Mei 1950 Munawir melangsungkan pernikahan siri dengan Murni putri Tas Sekti cucu Tasripin yang merupakan konglomerat pribumi di Semarang. Pernikahan ini dianugrahi enam orang anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Dan juga setelah muktamar GPII, Munawir mencoba mnelaah kensepsi politik islam yang berkembang di masa klasik. Dengan memanfaatkan perpustakaan KH. Munawar Cholil, Munawir berhasil menulis buku “Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikat Islam” yang selanjutnya mengantarkan Munawir bekerja di Kementrian Luar Negeri. Setelah itu ia menghabiskan waktu sebagai diplomat di luar negeri. Kemudian dia diberi kepercayaan oleh Soeharto untuk menjabat sebagai Menteri Agama. Yang mana merupakan pahlawan terhadap penerimaan ide asas tunggal pancasila, pembenahan terhadap lembaga pendidikan agama, pengiriman dosen IAIN ke Eropa dan Amerika, Penyelesaian UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan penyelesaian Kompilasi Hukum Islam yang kepemimpinannya dipercayakan kepada Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H, ketua Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Dalam penyusunan rancangan UU No.7 tahun 1989, profesor ini juga ikut andil dan berperan penting sebagai salah seorang penggerak utama.
B. Aplikasi Pemikiran
1. Reaktulisasi Hukum Islam
Reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum islam mulai merebak dan ramai dibicarakan kembali di Indonesia, serta mendapatkan perhatian serius dari para ahli hukum islam ketika pada awal tahun 1985. Munawir Sjadzali yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Agama RI melemparkan wacana pentingnya reaktualisasi hukum islam yang disertai dengan beberapa contoh kasus hukum yang sangat kontroversial pada waktu itu, seperti pembagian waris antara laki-laki dan perempuan yang harus sama dan juga tentang bunga bank.[2]
Ajakan Munawir Sjadzali untuk mengaktualisasi hukum islam dalam Negara Pancasila ini mempunyai dasar teori yang kuat dalam sejarah toeri-teori perkembangan dan berlakunya hukum islam di negeri ini. Ichtijanto merumuskan enam teori berlakunya hukum islam di Indonesia, yaitu teori ajaran islam tentang penataan kepada hukum, teori penerimaan autoritas hukum, teori reception in complex, teori receptive, teori receptie exit, dan teori receptio a contrario.[3] Reaktualisasi yang dikemukakan oleh Munawir tersebut berbarengan dengan keluarnya proyek” Kompilasi Hukum Islam” yang kemudian disahkan dengan instruksi presiden RI tahun 1991 khususnya mengenai hukum kewarisan.
Munculnya pemikiran reaktualisasi hukum islam menurut Munawir, sebenarnya berangkat dari beberapa pandangan dasar, yakni pertama, pintu ijtihad selalu terbuka. kedua, didalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat naskh. ketiga, hukum islam bersifat dinamis dan elastis. Keempat, kemaslahatan dan keadilan merupakan tujuan syari’at dan kelima, keadilan adalah dasar kemaslahatan. Dengan ada pandangan ini maka terlihat bahwa metode penafsiran dan penemuan hukum yang selama ini telah bejalan (konvensional) terasa anakronitik, sehingga satu tatanan metode baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah aktual menjadi sangat mendesak dan mutlak diperlukan.[4]
Reaktualisasi sendiri mengandung arti upaya melakukan reinterpretasi terhadap doktrin islam yang dalam rentang waktu panjang telah memiliki validitas sendiri, sebagai gerak alami terhadap reaktualisasi yang harus dilakukan untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Reaktualisasi menurut Munawir adalah kontekstualisasi ajaran islam sendiri dan untuk mempertahankan ajaran islam yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan dan muamalah. Menurut Munawir untuk menghindari akibat yang tidak di inginkan maka sebaiknya pembahasan dan pengkajian masalah-masalah hukum dilakukan secara kolektif antar mereka yang memahami betul ilmu hukum disertai ahli-ahli dalam ilmu yang terkait.[5]
Menurut Munawir terdapat adanya rasa ambigu dari umat islam di indonesia terhadap ajaran islam, sebagai contoh banyak umat muslim indonesia yang mengharamkan bunga Bank. Disatu sisi umat islam menganggap bahwa bunga bank adalah riba, namun disisi lain, tanpa merasa terganggu mereka hidup dari bunga deposito dan juga santainya menggunakan jasa perbankkan konvensional. Demikian terhadap waris, umat islam jarang sekali menunjuk pada hukum waris islam dalam pembagian hukum harta warisan. Pada suatu sisi masyarakat menganggap relevan segala ketentuan hukum tekstual mengenai waris dalam Al-Qur’an, namun pada sisi lain masyarakat Indonesia lebih senang terhadap munculnya fatwa baru tentang pembagian waris, karna dianggap lebih adil. Jika tidak dilakukan maka akan melakukan tindakan pre-emptive (membagi harta peninggalan dengan model hibah sebelum orang tua meninggal), sikap mendua umat islam ini merangsang Munawir untuk berijtihad.
Menurut Munawir, esensi reaktualisasi adalah kontekstualisasi ajaran islam itu sendiri. Untuk mempertahankan ajaran islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan mu’amalah, dengan dunia yang terus bergerak maju dan berubah ini, model pemahaman yang hanya mendasarkan pada pemahaman harfiyah atau tekstual ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits harus segera diakhiri. Sebaliknya, harus dilempangkan sebuah jalan bagi pilihan pendekatan dan metode baru yang dapat digunakan dalam proses kontekstualisasi atau bahkan situasionalisasi ajaran, yaitu satu usaha yang tetap mematrik pada esensi dari petunjuk ilahi dan tuntutan nabi, serta didasari keyakinan bahwa islam merupakan suatu agama yang memiliki kelenturan.Menurut Munawir hukum islam adalah hukum Allah yang terbagi dalam ranah Qath’iyyah yaitu suatu hukum yang harus diterima tanpa adanya bantahan, terutama yang berkenaan dengan persoalan ibadah, sehingga menurutnya akal manusia tidak memiliki banyak peran.
Di bidang muamalah Munawir memandang untuk sangat menganjurkan peranan akal (kebebasan berfikir) secara optimal dalam menemukan jawaban hukum. Hal ini berpijak pada aspek sosiologis historis kemanusiaan, sekalipun betentangan dengan dalil nash yang sharih dan qoth’I, yang hal ini di orentasikan pada kemaslahatan duniawi yang akan membawa manusia kepada kemaslahatan ukhrawi[6]. Manhaj atau metode berfikir dalam kaidah fiqh dan ushul fiqh inilah yang dalam amatan Munawir, hendaknya menjadi bagian dari sejarah pemikiran hokum islam klasik yang harus kedepankan sebagai ajuan dalam proyek reaktualisiai hukum islam. Dengan demikian, reaktualisasi hukum islam menurut Munawir sebenarnya juga masih mengikatkan hukum yang ada.
Menurut Munawir dalam islam terhadap prinsip persamaan antara sesama manusia tanpa ada perbedaan derajat atau tingkat yang didasarkan atas kebangsaan, kesukuan dan keturunan. Hal ini didasarkan pada surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:”
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bansa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mendengar.”
Maka dari dasar ini menurut munawir bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama terhadap bagian ahli waris antar anak laki-laki dan perempuan, namun jika ketentuan ini menbawa implikasi tanggung jawab penuh. Menurut Munawir apabila penafsiran Al-Qur’an dilakukan secara menyeluruh, dalam arti bahwa penafsiran yang dilakukan senantiasa mengkaitkan ayat yang satu dengan ayat yang lain. Seperti halnya dalam surat An-Nisa’ ayat 176 yang artinya:
“ Mereka meminta fatwa kepadamu, katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara permpuan maka bagi saudara yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),jika dia tidak mempunyai anak tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dari yang jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hokum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Yang secara eksplisit mengatakan bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih dari anak perempuan, kemudian Munawir mengkaitkan dengan QS.An-Nahl : 90 yang berisi perintah untuk berbuat adil dan kebajikan, maka menurutnya akan lahir suatu pemahaman bahwa suatu ketentuan hukum itu harus sesuai dengan rasa dan semangat keadilan ditengah masyarakat, dimana hukum itu akan di berlakukan. Sehingga secara implisit, dari dasar ini muncul konsep pembagian warisan dengan ketentuan sama (satu banding satu) antara anak laki-laki dan perempuan.[7]
2. Islam dan Negara
Adapun pemikiran Munawir tentang Islam dan Negara, dalam bukunya berjudul Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, dalam buku ini Munawir menyajikan tiga pandangan, yakni :
a. Pandangan yang menekankan islam sebagai agama yang paling sempurna dan lengkap dengan segala aturan yang mampu mengatur kehudupan setiap aspek manusia, masyarakat, maupun termasuk kehidupan Negara. Kesempurnaan islam itu dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
b. Pandangan yang memahami islam sebagai “Agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad SAW adalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan nabi tidak pernah memaksudkan untuk mendirikan Negara atau mengepalai suatu Negara.”
c. Pandangan ini menolak berpendapat bahwa islam adalah agama yang serba lengkap dan dalam islam terdapat system ketatanegaraan, pandangan ini juga menolak bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan maha penciptanya. Pandangan ibni berpendirian bahwa islam terdapat sistem ketatanegaraan, melainkan islam mengajarkan tat nilai etika bagi kehidupan bernegara.[8]
Penolakan terhadap pandangan pertama dan kedua, bahwa menurut Munawir dalam Al-Qur’an tidak ditemukan tata politik pemerintahan yang khas islami, demikian pula mengenai konsep pemerintahan pada masa sahabat (khulafaur Rasyidin) maupun setelahnya atau sistem politik kontemporer tidak ditemukan suatu yang islami, meskipun demikian dia berkeyakinan bahwa islam menyajikan suatu tauhid yang dari padanya terpancar hokum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang mampu dijadikan sumber inspirasi bagi umat islam yang bergairah untuk menaati ajaran-ajaran Tuhan pada situasi dan kondisi di Negara.
Terhadap pandangan ketiga, Munawir menerima atas pandangan aliran yang ketiga ini. Menurutnya aliran yang pada satu menolak anggapan bahwa dalam islam terdapat segala-galanya, termasuk sistem politik, pada satu sisi tidak setuju, dengan anggapan bahwa islam adalah agama yang sama sekali sama dengan ajaran bermasyarakat dan bernegara, seperti kita temukan didalam Al-Qur’an, yang memiliki kelenturan dalam pelaksanaan maupun penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara zaman dengan zaman lainnya serta satu budaya dengan budaya lainnya. Dalam pemikiran tersebut Munawir berusaha menunjukkan kepada umat islam pada umumnya dan umat islam khususnya bahwa pertanyaan” apakah islam mengajarkan suatu konsep baku tentang system pemerintahan atau Negara, perlu dicermati secara doktrinal maupun secara historis.” Pengkajian secana doktrinal maupun historis membuahkan suatu pernyataan dari dalam diri Munawir yang menekankan bahwa tidak ditemukan suatu konsep baku apapun dalam Islam tentang sistem pemenintahan atau negara. Yang ditemukan oleh Munawir dalam hal sistem pemerintahan atau negara termasuk sistem pemindahan kekuasaan adalah keharusan untuk bermusyawarah sebagai prinsip utama keyakinan Islam.
Bagi Munawir, prinsip utama Islam telah diberlakukan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, yaitu terjadinya musyawarah untuk mufakat dalam proses pembentukan dasar negara Indonesia. Melalui musyawarah untuk mufakat itulah tauhid menjadi dasar pokok bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia. Hal ini berarti bahwa secara dogmatis, Islam yang diyakini oleh Munawir memiliki peran yang amat besar di Indonesia karena umat Islam merupakan pendukung utama ditegakkannya ideologi utama Pancasila. Dengan
kata lain, jika bangsa ini ingin Pancasila tetap langgeng hendaknya pemerintah mengadakan pendekatan yang akomodatif terhadap umat
Islam, karena umat Islam meyakini bahwa dasar kebangsaan Indonesia adalah ketuhanan yang mahaesa yang menjiwai sila-sila lainnya dalam Pancasila. Dengan demikian, ibadah kepada Allah melalui pemberlakuan hukum-hukum dan ajaran agama, yang tentu saja telah dikontekstualisasikan di Indonesia merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar untuk dijalankan di Indonesia.[9]
C. Metode aplikasi pemikiran hukum Munawir
Pengembangan hukum islam yang melalui proses rasio (ijtihad) sehingga hukum islam dapat dimasukkan kedalam rumpun ilmu pengetahuan, sehingga untuk menguji dan mengkritik hukum islam ijtihad menjadi suatu keharusan. Dari dasar tersebut Munawir memiliki tiga metedologi terhadap penerapan ijtihah, yakni:
1) Al -‘Aadah (kebiasaaa)
Munawir menerapkan metode Al -‘Aadah berpedoman dari Abu yusuf, yaitu bahwa jika suatu nash berasal dari adat istiadat atau dari tradisi kemudian adat itu berubah (datang adat baru), maka gugur hokum dalam nash itu. Hal ini dikarenakan bahwa hokum islam itu bersifat rahmatan lil alamin disamping memberikan paket pedoman dan petunjuk yang harus di amalkan dan di patuhi disamping juga memberikan kebebasan untuk melakukan aktivitas maupun kreativitas positif, sepanjang berpedoman dalam berbagai komonikasi dan ineraksi social. Maka dari itu hukum islam yang dikemukakan secara mutlak dan tidak penjelasan secara konkrit baik dalam syara’ maupun bahasa, sehingga penjelasannya diserahkan pada tradisi yang kiranya tidak menimbulkan masalah apabila tradisi tersebut dapat dijadikan landasan perumusan hokum yang tidak bertentangan dengan nash syara’. Namun apabila hal itu bertentangan dengan nash, menurut Munawir memiliki kemungkinan yakni: pertama, apabila pertentangan antara tradisi dengan nash itu secara total, sehingga pengakuan terhadap tradisi tersebut dipandang sebagai meninggalkan dan mengabaikan nash, maka tradisi demikian haruslah di tinggalkan, tidak dapat dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum, missal tradisi membuka aurat dan penetapan anak zina sebagai anak sah. Kedua, apabila terjadi petentangan antara tradisi baru dengan nash dan nash itu di dasarkan pada tradisi yan berlaku pada saat turunnya dan tradisi tersebut di pandang sebagai illah hukumnya, maka Munawir berpedoman pada pendapat Abu yusuf yaitu tradisi baru yang bertentangan dengan tradsisi yang terkandung dalam nash itulah yan harus di jadikan pedoman, sehingga hal ini tidak di pandang sebagai pengabaian nash namun sebagai salah satu cara penta’wilan yang sejalan dengan kaidah Alhukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa’adaman.
2) Naskh
Dalam pandangan Munawir, nasakh adalah pergeseran atau pembatalan hukum-hukum atau petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayat yang diterima oleh Rasulullah pada masa-masa sebelumnya. Munawir juga sering mengutip pendapat penafsir besar, seperti ibn Katsir, Al-Maraghi, Muhammad Rasyid Ridha, dan Sayyid Qutb, bahwa mereka mendefinisikan nasakh adalah suatu keharusan, karena perubahan hukum sangat erat kaitannya dengan perubahan tempat dan waktu. Karena nasakh sangat diperlukan dan Munawir sangat menginginkan kemaslahatan yang merupakan muara dari keseluruhan hasil ijtihadnya.
3) Maslahah
Dengan merujuk pada konsep maslahah at-Thufi, yakni jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma’, maka wajib mendahulukan kepentingan masyarakat atas nash dan ijma’. Pemikiran ini dibangun atas empat prinsip dasar, yaitu :
a. Kebebasab akal untuk menentukan baik buruk tanpa harus dibimbing oleh wahyu (Istiqlal al-‘uqul bi idrak al mashalih wa al- mafasid)
b. Kemaslahatan dalil syara’ adalah terkait dengan ketentuan nash (al- maslahah dalil syar’iy mustaqillun’an nushus)
c. Maslahah hanya dapat dijadikan dalil syara’ atas bidang mu’amalah tidak terhadap bidang ibadah (majal’ amal bi al- maslahah hawa al- mu’malat dun al-‘ibadat)
d. Adanya maslahah terhadap dalil syara’ yang terkuat (al-masalah aqwa dalil asy-syar’i)
Al-‘Aadah, naskh, dan maslahah selalu menjadi landasan metodologis Munawir dalam melakukukan ijtihad. Kadang ketiganya digunakan secara terpisah, dan tidak jarang digunakan secara bersama-sama. Ketika menerapkan ijtihadnya dibidang hukum waris, Munawir menggabungkan ketiga metodologi tersebut dengan mengangkat latar sosial masyarakat Solo, Jawa Tengah. Disitu kaum perempuan merupakan pelaku aktif dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.
Dalam konteks masyarakat ini dalam ketentuan pembagian warisan sebagaimana dalam Al-Qur’an tidak memberikan kemaslahatan dan sangat tidak adil. Pada masyarakat Arab bahwa dalam sistem pembagian warisan, perempuan mendapat bagian setengah dari bagian laki-laki. Ini berbeda dengan kondisi sebelumnya bahwa perempuan sebagai bagian dari harta warisan (harta peninggalan) itu sendiri. Perempuan dianggap sama dengan benda, dapat dialih tangankan dan bisa menjadi hak milik seseorang dan perempuan adalah sosok manusia pingitan. Berbeda halnya dengan masyarakat solo yang mana perempuan adalah sosok yang aktif dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian ketentuan hukum yang harus diberlakukan terhadap kedua komunitas perempuan tersebut harus berbeda pula.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Munawir Sjadzali adalah salah satu pembaharu pemikiran hukum islam di indonesia. Dalam pemikirannya terdapat dua poin pokok pemikiran hukum islam yaitu reaktualisasi hukum islam dan hubungan antara islam dan negara. Dengan memanfaatkan perpustakaan KH. Munawar Cholil, Munawir berhasil menulis buku “Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikat Islam” yang selanjutnya mengantarkan Munawir bekerja di Kementrian Luar Negeri. Setelah itu ia menghabiskan waktu sebagai diplomat di luar negeri. Kemudian dia diberi kepercayaan oleh Soeharto untuk menjabat sebagai Menteri Agama. Yang mana merupakan pahlawan terhadap penerimaan ide asas tunggal pancasila, pembenahan terhadap lembaga pendidikan agama, pengiriman dosen IAIN ke Eropa dan Amerika, Penyelesaian UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan penyelesaian Kompilasi Hukum Islam.
Sebagai Menteri Agama RI, beliau juga melemparkan wacana pentingnya reaktualisasi hukum islam yang disertai dengan beberapa contoh kasus hukum yang sangat kontroversial pada waktu itu, seperti pembagian waris antara laki-laki dan perempuan yang harus sama dan juga tentang bunga bank
Dan dalam metode pemikirannya, Munawir memiliki tiga metodologis terhadap penerapan ijtihad, yaitu Al-’Aadah, Naskh,dan juga maslahah yang mana terkadang ketiganya digunakan secara terpisah, dan tidak jarang digunakan secara bersama-sama.
B. Komentar
Munawir Sjadzali adalah seorang yang memiliki banyak ide mengenai kemajuan bangsa. Sebagai Menteri Agama yang menduduki jabatannya dua periode berturut-turut (1983-1993) Bapak Munawir telah banyak mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupan keagamaan dan lembaga-lembaga keagamaan. Perubahan dan pembaharuan merupakan suatu hal yang positif bagi kaum muslim karena ia sejalan dengan semangat dasar Islam tentang kesesuaian agama dalam berbagai keadaan. Sebagai pembaharu pemikiran islam yang tergolong memiliki gagasan, ia amat beminat dalam pengembangan Islam dengan dasar penguasaan terhadap hukum islam.
Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat sebagai Mentri Agama pemerintahan Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan umat islam. Pemikiran politik dan keagamaan Munawir, sebagaimana tercermin dalam karya-karya intelektualnya dan kebijakan-kebijakan yang diambilnya sebagai Menteri Agama, yang secara umum terekspresikan dalam agenda reaktualisasi ajaran islam.
Munawir Sjadzali lebih menekankan pentingnya substansi dari pada yang formal dan legal, baik secara keagamaan maupun sosial. Dengan konsep semacam ini, sejalan dengan mobilitas sosial ekonomi umat, aspirasi umat islam tidak lagi didasarkan atas simbolisme ideologis yang formalistis dan legalistik.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI (Biografi Sosial-Politik), Jakarta: INIS, PPIM, dan Badan Litbang Agama Depertemen Agama RI, 1998
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam (Menjawab Tantangan Zaman Yang terus Berkembang), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006
Juhaya S.Praja, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1994
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipator Hingga Emansipatoris, Yogyakarta : LkiS Pelangi Aksara, 2005
Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Mataram, Istinbath Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam (Pemikiran hokum kewarisan Islam Munawir sjadzali, Salahuddin)
Http ://:wikipedia.com, di akses pada tangal 30 Desember 2011 jam 13.00 WIB.
www.sttb.ac.id/2007/newlook/uploads, di akses pada tangal 30 Desember 2011 jam 13.00 WIB.
Http ://: Syukriab.Wordpress.com, di akses pada tangal 30 Desember 2011 jam 13.00 WIB.
[1]Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI (Biografi Sosial-Politik), (Jakarta: INIS, PPIM, dan Badan Litbang Agama Depertemen Agama RI, 1998 ) Hal. 372-374
[2] Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam (Menjawab Tantangan Zaman Yang terus Berkembang), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006) Hal. 22
[3] Juhaya S.Praja, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1994 ) Hal. 45
[4] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipator Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta : LkiS Pelangi Aksara, 2005) Hal. 91-92
[5] Http ://:wikipedia.com
[6] Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Mataram, Istinbath Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam (Pemikiran hokum kewarisan Islam Munawir sjadzali, Salahuddin),Hal. 58-59
[7] Ibid, Mahsun Fuad, hal.95
[8] www.sttb.ac.id/2007/newlook/uploads
[9] Http ://: Syukriab.Wordpress.com
[10] Ibid, Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Mataram.62
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !