Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » TAFSIR MODERN DI MESIR

TAFSIR MODERN DI MESIR

TAFSIR MODERN DI MESIR

I.         PENDAHULUAN
Kajian Alqur’an dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah berhenti, bahkan dalam setiap zamannya kajian Alqur’an mengenai bidang tafsir terus mengalami kemajuan dan perkembangan.
Dalam Alqur’an sendiri menyatakan dengan tegas (eksplisit) bahwa Alqur’an sebagai hudan li al-nas dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan dan menuju terang benderang.[1]
Q.S. Ibrahim [14]: 1.
!9# 4 ë=»tGÅ2 çm»oYø9tRr& y7øs9Î) yl̍÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ÈbøŒÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuŽÅÀ ÍƒÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ  
“Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Berangkat dengan tujuan bahwa Alqur’an sebagai hudan li al-nas, para mufasir modern berbeda pandangan dengan para mufasir sebelumnya (tradisional, klasik). Para mufasir merasakan perlunya mengkaji ulang tafsir, mengingat permasalahan yang dihadapi semakin kompleks.
Survei yang dilakukan J.J.G.Jansen terhadap corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tafsir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Praktis.
II.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Modernisasi Tafsir
Tafsir  berasal dari kata kerja fassara yufassiru dengan arti “keterangan dan takwil”. Namun secara etimologis berarti “penjelasan dan penguraian. Sedangkan tafsir dari sisi terminologis adalah “penjelasan tentang arti atau hanya maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir).[2] Tafsir dapat juga diartikan sebuah usaha cerminan produk pemikiran manusia secara umum dengan kata lain tafsir akan mengalami perkembangan dan selalu dibawah pengaruh dinamika kehidupan itu sendiri.[3]
Sedang arti modern, adalah perubahan dari pola lama yang sudah tidak sesuai kemudian diganti dengan pola baru agar bisa sesuai dengan zaman. Istilah modern dalam kajian tafsir akan berbeda dengan kajian ilmu-ilmu yang lain. Dalam kajian tafsir istilah modern dikaitkan dengan periodesasi perkembangan pemikiran dalam Islam. Sementara itu tidak ada kesepakatan yang  jelas tentang cakupan istilah modern, apakah meliputi abad 19 atau abad 20 atau hanya merujuk pada abad 21.
Sedangkan modernisasi tafsir menurut Quraish Shihab adalah penjelasan ulang dalam bentuk kemasan yang lebih baik dan sesuai, menyangkut ajaran-ajaran agama yang pernah diungkap oleh para pendahulu dan masih tetap relevan hingga kini, namun disalah pahami oleh masyarakat.  Quraish Shihab juga menambahkan bahwa modernisasi tafsir juga dapat berarti mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru, baik karena belum dikenal pada masa lalu maupun telah dibahas pada masa lalu, tetapi yang lalu tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.[4]
Walaupun begitu, tidak sepantasnyalah menolak pendapat  ulama klasik dengan dalih bahwa itu pendapat lama yang tidak relevan. Paling tidak kita harus ulama masa lalu telah berjasa memberi pengalaman dan pemikiran mereka. Namun bentuk penghormatan itu bukan berarti menyakralkan pendapat mereka, atau menganggap bahwa yang benar telah mereka ungkap semua. Al-Muhafadzah ‘ala alQodimi al-Sholih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (memelihara yang lalu yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik) merupakan rumusan yang paling tepat.[5]

B.     Awal Kemunculan Tafsir Modern.
Kemunculan metode tafsir modern diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran Alqur’an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi  dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Shah Wali Allah (1701-1762) seorang  pembaharu Islam dari Delhi, India.  Merupakan  orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “modern”, dua karyanya yang monumental, yaitu Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits  fi Rumuz Qishash al Anbiya adalah karya yang memuat tentang pemikiran modern. Usaha yang telah dilakukan oleh Shah Wali Allah ternyata telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa, seperti yang terjadi di Mesir.[6]
Perkembangan tafsir modern di Mesir pertama kali di pelopori oleh Muhammad Abduh (w. 1905). Abduh menegaskan, bahwa kitab-kitab tafsir yang berkembang pada masa sebelumnya, rata-rata telah kehilangan fungsinya sebagai kitab yang menjelaskan bahwa Alqur’an menjadi petunjuk bagi umat manusia. Bagi Abduh, kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa sebelumnya tidak lebih kecuali sekadar pemaparan berbagai pendapat para ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Alqur’an.[7] Yang menjadi pokok pemikiran Abduh diantaranya yaitu, ingin membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa pengertian). Sebab menurut Abduh, hal seperti itulah yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana  salaf al-Ummah (ulama sebelum abad ketiga Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan, yakni dengan memahami langsung dari sumber pokoknya yaitu Alqur’an.[8]
Penafsiran yang dilakukan oleh para ulama sebelumnya jelas sudah tidak relevan lagi bila dihadapkan dengan permasalahan yang ada pada masa modern. Melihat bahwa Alqur’an Shalih li kulli zaman wa makan, maka para ulama kontemporer merasa perlu mengkaji ulang terhadap penafsiran-penafsiran Alqur’an.

C.    Corak Pemikiran Mufasir Modern
Menurut J.J.G.Jansen corak pemikiran mufassir modern memperlihatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu tafsir Ilmi, tafsir Filologis dan tafsir Praktis.
1.      Tafsir Ilmi
Tafsir Ilmi adalah salah satu bentuk penafsiran yang menitik beratkan pada pembuktian bahwa ilmu pengetahuan modern tidaklah berlawanan dengan Alqur’an.[9] Tafsir ini dapat juga diartikan sebuah usaha yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam ajaran-ajaran tertentu Alqur’an.[10]Keyakinan para mufasir tersebut didasarkan pada 2 ayat dalam Alqur’an, yaitu
Q.S. an-Nahl [16]: 89.
 $uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ  
“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.

Q.S. al-An’am [6]: 38.
 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u šcrçŽ|³øtä ÇÌÑÈ  
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”.

Dengan dasar kedua ayat diatas para mufasir ini berpendapat bahwa jika Alqur’an memuat segala sesuatu, tentunya ilmu pengetahuan termasuk disana.[11]
Namun, di lain pihak, para mufasir berbeda pendapat tentang maksud “al-Kitab” yang disebut dalam dua ayat tersebut diatas. Az-Zamakhsyari dan beberapa mufasir mengasumsikan bahwa maksud “al-Kitab” dalam ayat tersebut bukanlah Alqur’an yang seperti yang dikenal manusia sekarang, melainkan sebuah kitab yang ada disurga.[12]
Selain itu, hadis Nabi juga dijadikan dasar untuk mendukung metode penafsiran ini yaitu:
Nabi bersabda: kelak akan terjadi banyak fitan (fitnah). Kami bertanya “Bagaimana keluar dari hal itu?” beliau menjawab Kitabullah. Ia memuat segala sesuatu yang ada di masa lalu, dan memberikan petunjuk terhadap apa yang terjadi di masa yang akan datang.[13]

Yang perlu diperhatikan adalah kalimat terakhir dalam hadis diatas yaitu “memberikan petunjuk terhadap apa yang terjadi dimasa yang akan datang”.
Penafsiran ilmiah sebenarnya telah diperkenalkan oleh para ulama terdahulu seperti al-Mursi (w. 1257) dan al-Ghozali (w. 1111). Diantara tokoh yang mengikuti penafsiran ini adalah Muhammad Taufik Sidqi, al-Iskandarani, Ahmad Mukhtar al-Ghazi, Abdallah Fikri Basha, Tanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad, Farid Wajdi (w. 1940).
Salah satu contoh tafsir ilmiah yang ditulis Hanafi Ahmad dalam kitabnya at-Tafsir al-‘Ilmi lil Ayat al-Kawniyah, yang berkaitan dengan Q.S. al-Anbiya [21]: 33
uqèdur Ï%©!$# t,n=y{ Ÿ@ø©9$# u$pk¨]9$#ur }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur ( @@ä. Îû ;7n=sù tbqßst7ó¡o ÇÌÌÈ  
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”.

Ayat ini sering digunakan untuk membuktikan kosmologi Copernican. Hanafi Ahmad menjelaskan bahwa kendati “malam dan siang” tidak bisa dianggap “beredar” (yusbahuna dalam literal bahasa Arab berarti “berenang”). Namun, malam dan siang dalam ayat ini bisa dipahami sebagai “bumi dan bintang”.[14]

2.       Tafsir Filologis
Metode penafsiran ini dipelopori oleh Amin al-Khuli (1895-1965), dia menggunakan teori sastra kontemporer dengan menggabungkan antara kritik ekstrintik dan intrinsik. Kritik ekstrintik diarahkan pada kritik sumber, kajian holistik terhadap faktor-faktor eksternal munculnya sebuah karya seperti halnya sosial-geografis, religio-kultural maupun politis. Sedangkan kritik intrinsik diacukan pada teks sastra itu sendiri dengan analisa linguistik yang hati-hati sehingga mampu menguak makna yang dikehendaki teks. Disini, Amin al-Khuli sama sekali tidak bermaksud mensejajarkan teks religius dengan teks kemanusiaan. Akan tetapi, hanya ingin bermaksud menemukan “angan-angan” sosial kebudayaan Qur’ani, hidayah, yang terkandung dalam komposisi Alqur’an.[15]
Dalam memperkenalkan metode penafsirannya Amin al-Khuli melakukan 3 tahap. Pertama, seoraong mufassir harus mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa. Kedua, mempelajari setiap makna kata dalam Alqur`an yang tidak hanya menggunakan kamus saja, tetapi juga dengan kata-kata Alqur`an sendiri yang memiliki akar kata serupa. Ketiga, analis terhadap bagaimana Alqur`an mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat.[16]
Amin al-Khuli sendiri dalam perjalanan hidupnya tidak sempat menyelesaikan metodenya. Kemudian metode ini diterapkan dengan  baik oleh istrinya yaitu Aisyah Abdurrahman bint Syathi’ dalam al-Tafsir al-Bayani al-Qur’an al-Karim. Salah satu contohnya adalah analisis terhadap kosakata Alqur’an yang berbicara tentang manusia, yakni lafal Basyar, al-Naas serta Insan. Menurut Asy-Syathi’ meski memiliki makna dasar yang sama yaitu “manusia” namun memiliki konsekuensi dan relasional yang berbeda. Untuk Basyar maksudnya adalah manusia dalam pengertian biologis, sama halnya dengan makhluk lainnya yang melakukan aktivitas biologis. Sementara untuk lafal al-Nas dan al-Insan mengacu pada pengertian manusia sebagai makhluk budaya dan kreator peradaban.[17]


 
Share this article :

1 comment:

  1. syah walinya sediikiit.. i need moree.. :H

    ReplyDelete

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved