Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » Rasionalisme

Rasionalisme


A.     Pendahuluan
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M).
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Pemikiran ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits (Harun, 1995, hal. 7).
Zaman pertengahan di dunia Islam berkembang pemikiran tradisional, menggantikan pemikiran rasional agamis yang ada sebelumnya. Dalam pemikiran tradisional ini, para ulama bukan hanya terikat pada Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama klasik yang amat banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ruang lingkup pemikiran ulam zaman pertengahan sangat sempit. Mereka tidak punya kebebasan berpikir. Akibatnya sains dan Filsafat, bahkan juga ilmu-ilmu agama tidak berkembang.
Ketika umat Islam Timur Tengah menjalin kontak dengan barat pada abad ke 18 M. mereka amat terkejut melihat kemajuan Eropa. Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang belajar pada mereka pada abad ke 12 dan 13 M telah begitu maju. Hal ini membuat ulama-ulama abad ke 19 merenungkan apa yang perlu mereka dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali seperti zaman Islam klasik dulu. Meka lahirlah tokoh pembaharuan di Mesir seperti Al-Thahtawi, Jamaluddin Al Afgani dan Muhammad Abduh. Di Turki ada Mehmet Shidik Rifat, Nemik Kamal dan Zia Gokalp. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali. Pakistan ada Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan umat Islam harus menghidupkan lagi pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian yang besar pada sains dan teknologi.
Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran yang disebut dalam istilah qath‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.[1]

B.     Harun Nasution dalam Teologi Islam Rasional[2]
Dari segi pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh, terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan kaum Muslim.

1. Teologi Islam dan Upaya Peningkatan Produktivitas
Dalam agama terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas. Pertama, agama mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat materialini, ada hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Bagaimana ajaran ini terhadap produktivitas dari penganut agama bersangkutan sangat bergantung dari kedua corak hidup tersebut. Apabila kehidupan duniawi dipandang penting, maka produktivitas akan meningkat. Tetapi, sebaliknya, kalau hidup akhirat yang diutamakan, produktivitas akan menurun.
Kedua agama memiliki ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah ditentukan Tuhan sejak semula, dalam arti bahwa perbuatam manusia adalah ciptaan Tuhan. Maka produktivitas masyarkat yang menganut paham keagamaan seperti demikian akan sangat rendah sekali. Tetapi dalam masyarkat yang menganut paham bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme (Jabariyah) dan paham kedua disebut Qodariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
Di dalam Al-Qur’an dan hadis, hidup di dunia yang bersifat material dam hidup di akhirat yang bersifat spiritual sama pentingnya.

Carilah apa yang dianugerahkan Allah bagimu di akhirat dan jangan lupakan bagianmu di dunia.(QS 28:77)
Suatu doa yang diambil dari bunyi al-Qur’an berbunyi:
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. (QS 2: 201).
Sebuah hadis menyatakan:
Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan berbuatlah untuk kahiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari.
Al-Qur’an sendiri mengandung ajaran-ajaran yang dapat melahirkan baik filsafat fatalism (Jabariyah) maupun Qodariyyah. Yang dapat membawa orang pada faham fatalisme dapat ditemukan misalnya pada ayat-ayat berikut:
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (QS 57:22).
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS 8: 17)
Sementara itu yang dapat membawa orang pada paham Qodariyah, dapat dilihat misal dalam ayat berikut:
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" (QS 18:29).
Pada sejarah Islam, yang bisanya dibagi ke dalam tiga periode yakni periode Klasik (650-1250 M) Periode pertengahan (1250-1800) dan Periode Modern (1800-seterusnya). Kedua macam ajaran pernah mempengaruhi Islam untuk masa tertentu. Sebagaimana telah penulis jelaskan secara singkat di atas.

a. Periode Klasik
Pada Periode Klasik bekembang teologi sunnatullah. Sunnatullah adalah hukum alam, yang di barat disebut dengan natural laws. Bedanya natural laws adalah ciptaan alam, sedangkan sunnatullah adalah ciptaan Tuhan.
Ciri-ciri Teologi Sunnatullah adalah:
1. Kedudukan akal yang tinggi.
2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an dan hadis yang sedikit sekali jumlahnya.
4. Percaya adanya sunnatullah dan kausalitas
5. Mengambil arti metamorphosis dari teks wahyu
6. Dinamika dalam sikap dan berfikir.
Ulama Periode Klasik itu memakai metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis. Dan yang cocok dengan metode berfikir ini adalah filsafat Qodariyah, yang menggambarkan kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Oleh kerena itu sikap umat Islam zaman itu adalah dinamis, orietasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh orientasi akhirat. Keduanya berjalan berimbang. Tidak mengherankan kalau pada periode klasik itu, soal dunia dan akhirat sama-sama dipentingkan, dan produktifitas meningkat pesat.
Sekiranya ulama Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi pada akhirat saja, tanpa orietasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme (Jabariyah), kemajuan dalam berbagai bidang tidak akan tercapai.
Teologi sunnatullah dengan filsafat Qodariyahnya serta orientasi duniawi disamping akhirat, juga membuat umat Islam produktif dalam bidang ekonomi dan peradaban pada zaman klasik tersebut. Mesir, Suriah, Irak dan Persia pada waktu itu menjadi pusat perdangangan di Timur Tengah. Kemajuan juga ada dalam bidang pertanian.
Pada periode klasik ini, dalam bidang sains juga mengalami kemajuan yang pesat. Ilmu kedokteran, Kimia, Matematika, Astronomi dan ilmu-ilmu lain. Ulama-ulama klasik bukan hanya produktif dalam soal keduniaan. Sejalan dengan sikap tidak meninggalkan hidup spiritual, ilmu agama juga berkembang pada zaman itu, seperti Ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah, Tasawuf dan lan-lain.
Demikianlah teologi sunnatullah zaman klasik dengan pemikiran rasional agamais, filosofis dan ilmiahnya, yang membuat ulama dan umat Islam produktif dalam hidup keduniawian di bidang politik, ekonomi, industry, pertanian, sains. Juga produktif dalam bidang hidup keakhiratan di bidang akidah, teologi, tafsir, filsafat, tasawuf dan lain-lain.

b. Periode Pertengahan
Teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik tidak dapat dipertahankan oleh umat Islam dan gantikan oleh teologi kehendak mutlak Tuhan (Jabariyah atau Fatalisme) yang besar pegaruhnya bagi umat Islam di dunia, mulai dari pertengahan abad 12 sampai zaman kita sekarang ini.
Ciri-ciri teologi fatalisme itu adalah:
1. Kedudukan akal yang rendah
2. Ketidak bebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.
3. Kebebasan berpikir yang diikat banyak dogma.
4. Ketidak percayaan pada sunnatullah dan kausalitas.
5. Terikat pada arti tekstual dariAL-Quaran dan Hadis
6. Statis dalam sikap dan berfikir.
Sikap-sikap yang dimiliki oleh orang-orang berteologi fatalisme itu mempengaruhi umat secara umum. Di kalangan mereka terdapat sikap lebih mementingkan hidup spiritual dan sikap tawakal serta menunggu dengan sabar datangnya rahmat Tuhan. Sikap ini di kalangan awam di perkuat lagi oleh paham fatalisme dengan teologi kehendak mutlak Tuhan. Akibatnya berbagai sektor yang sebelumnya sangat maju pada periode klasik menjadi sangat mundur. Produktifitas ulama dan umat Islam periode pertengahan statis jalan ditempat.

c. Periode Modern
Abad ke 19, dimana orang Eropa yang dahulu mundur sekarang terlah maju itu, datang ke Dunia Islam. Dunia Islam terkejut dan tidak menyangka bahwa Eropa yang telahmereka kalahkan pada Periode Klasik dahulu, pada zaman modern menguasai mereka. Kerajaan turki utsmani, adikuasa pada zaman pertengahan mulai mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangannnya di Eropa. Napoleon Bonaparte dalam waktu tiga minggu mampu menguasai seluruh Mesir pada 1798 M. Inggris memasuki India dan menghancurkan kerajaan Mughal pada 1857 M.
Hal ini membuat ulama-ulama abad ke 19 merenungkan apa yang perlu mereka dilakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali seperti zaman Islam klasik dulu. Maka lahirlah tokoh pembaharuan di Mesir seperti Al-Thahtawi, Jamaluddin Al Afgani dan Muhammad Abduh. Di Turki ada Mehmet Shidik Rifat, Nemik Kamal dan Zia Gokalp. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali. Pakistan ada Muhammad Iqbal. Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan umat Islam harus menghidupkan lagi pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian yang besar pada sains dan teknologi.
Teologi ini sangat besar pengaruhnya terhadap umat Islam di Indonesia sejak semula. Banyak umat Islam indoensia yang sangat percaya bahwa nasib secara mutlak terletak di tangan Tuhan. Manusia tak berdaya dan hanya menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan.
Dalam hal ini, ada dua obsesi Harun yang paling menonjol.
Pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia qadariah.
Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Al-Quran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis cosmopolitan (Barat). Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filusuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia Tasawuf, membuat Ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri.
Harun meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini. Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional, yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi. Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit.
Harun juga secara revolusioner merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset. Menurut dia, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus diubah karena hal itu membuat pikiran mahasiswa jumud.
Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan Mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam.



C.     Kesimpulan
Islam merupakan agama yang sesuai dimanapun dan kapanpun. Di zaman rasional ini pemeluk agama islam juga harus dapat menempatkan diri dengan benmasyar. Harun Nasution dengan perjuangan panjangnya telah mendobrak kebudayaan tradisional islam yang banyak dianut umat muslim Indonesia.









Daftar Pustaka
Harun Nasution, Islam Rasional, 1996, Mizan. Jakarta.
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’atazillah, 1987, UI Press, Jakarta.




[1] Nasution, Harun , Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’atazillah, 1987, UI Press, Jakarta.
[2] Nasution, Harun , Islam Rasional, 1996, Mizan. Jakarta. h.

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved