A.
Pendahuluan
Dalam sejarah
Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang
pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam,
sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800
M).
Pemikiran
rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Pemikiran ulama filsafat dan ulama
sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat
pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan
demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan
penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan Al-Quran dan
Hadits (Harun, 1995, hal. 7).
Zaman
pertengahan di dunia Islam berkembang pemikiran tradisional, menggantikan
pemikiran rasional agamis yang ada sebelumnya. Dalam pemikiran tradisional ini,
para ulama bukan hanya terikat pada Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga pada
ajaran hasil ijtihad ulama klasik yang amat banyak jumlahnya. Oleh karena itu,
ruang lingkup pemikiran ulam zaman pertengahan sangat sempit. Mereka tidak
punya kebebasan berpikir. Akibatnya sains dan Filsafat, bahkan juga ilmu-ilmu
agama tidak berkembang.
Ketika umat
Islam Timur Tengah menjalin kontak dengan barat pada abad ke 18 M. mereka amat
terkejut melihat kemajuan Eropa. Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang
belajar pada mereka pada abad ke 12 dan 13 M telah begitu maju. Hal ini membuat
ulama-ulama abad ke 19 merenungkan apa yang perlu mereka dilakukan umat Islam
untuk mencapai kemajuan kembali seperti zaman Islam klasik dulu. Meka lahirlah
tokoh pembaharuan di Mesir seperti Al-Thahtawi, Jamaluddin Al Afgani dan
Muhammad Abduh. Di Turki ada Mehmet Shidik Rifat, Nemik Kamal dan Zia Gokalp.
Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali. Pakistan ada Muhammad Iqbal. Semua
pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan umat Islam harus
menghidupkan lagi pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian yang
besar pada sains dan teknologi.
Dalam pemikiran
rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai kedudukan tinggi
dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal hanya terikat
pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-ajaran
yang disebut dalam istilah qath‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat
Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal.[1]
B.
Harun
Nasution dalam Teologi Islam Rasional[2]
Dari segi
pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang
paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua
negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh,
terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap
qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang
banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi,
filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi
kehidupan kaum Muslim.
1. Teologi Islam dan Upaya Peningkatan Produktivitas
Dalam agama
terdapat dua ajaran yang erat kaitannya dengan produktivitas. Pertama, agama
mengajarkan bahwa sesudah hidup pertama di dunia yang bersifat materialini, ada
hidup kedua nanti di akhirat yang bersifat spiritual. Bagaimana ajaran ini
terhadap produktivitas dari penganut agama bersangkutan sangat bergantung dari
kedua corak hidup tersebut. Apabila kehidupan duniawi dipandang penting, maka
produktivitas akan meningkat. Tetapi, sebaliknya, kalau hidup akhirat yang
diutamakan, produktivitas akan menurun.
Kedua agama
memiliki ajaran mengenai nasib dan perbuatan manusia. Kalau nasib manusia telah
ditentukan Tuhan sejak semula, dalam arti bahwa perbuatam manusia adalah
ciptaan Tuhan. Maka produktivitas masyarkat yang menganut paham keagamaan
seperti demikian akan sangat rendah sekali. Tetapi dalam masyarkat yang
menganut paham bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, produktivitas
akan tinggi. Paham pertama dikenal dengan filsafat fatalisme (Jabariyah) dan
paham kedua disebut Qodariyah atau kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan.
Di dalam
Al-Qur’an dan hadis, hidup di dunia yang bersifat material dam hidup di akhirat
yang bersifat spiritual sama pentingnya.
Carilah apa
yang dianugerahkan Allah bagimu di akhirat dan jangan lupakan bagianmu di
dunia.(QS 28:77)
Suatu doa yang
diambil dari bunyi al-Qur’an berbunyi:
Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. (QS 2: 201).
Sebuah hadis
menyatakan:
Berbuatlah
untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan berbuatlah
untuk kahiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari.
Al-Qur’an
sendiri mengandung ajaran-ajaran yang dapat melahirkan baik filsafat fatalism
(Jabariyah) maupun Qodariyyah. Yang dapat membawa orang pada faham fatalisme
dapat ditemukan misalnya pada ayat-ayat berikut:
Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (QS
57:22).
Maka (yang
sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah
yang melempar (QS 8: 17)
Sementara itu
yang dapat membawa orang pada paham Qodariyah, dapat dilihat misal dalam ayat
berikut:
Dan katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir" (QS 18:29).
Pada sejarah
Islam, yang bisanya dibagi ke dalam tiga periode yakni periode Klasik (650-1250
M) Periode pertengahan (1250-1800) dan Periode Modern (1800-seterusnya). Kedua
macam ajaran pernah mempengaruhi Islam untuk masa tertentu. Sebagaimana telah
penulis jelaskan secara singkat di atas.
a. Periode Klasik
Pada Periode
Klasik bekembang teologi sunnatullah. Sunnatullah adalah hukum alam, yang di
barat disebut dengan natural laws. Bedanya natural laws adalah ciptaan alam,
sedangkan sunnatullah adalah ciptaan Tuhan.
Ciri-ciri
Teologi Sunnatullah adalah:
1. Kedudukan akal yang
tinggi.
2. Kebebasan manusia dalam
kemauan dan perbuatan
3.
Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar Al-Qur’an dan hadis
yang sedikit sekali jumlahnya.
4. Percaya adanya
sunnatullah dan kausalitas
5. Mengambil arti
metamorphosis dari teks wahyu
6. Dinamika dalam sikap
dan berfikir.
Ulama Periode
Klasik itu memakai metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis. Dan yang
cocok dengan metode berfikir ini adalah filsafat Qodariyah, yang menggambarkan
kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Oleh kerena itu sikap umat
Islam zaman itu adalah dinamis, orietasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh
orientasi akhirat. Keduanya berjalan berimbang. Tidak mengherankan kalau pada
periode klasik itu, soal dunia dan akhirat sama-sama dipentingkan, dan
produktifitas meningkat pesat.
Sekiranya ulama
Islam pada zaman klasik itu hanya berorientasi pada akhirat saja, tanpa
orietasi dunia, dan memakai filsafat fatalisme (Jabariyah), kemajuan dalam
berbagai bidang tidak akan tercapai.
Teologi
sunnatullah dengan filsafat Qodariyahnya serta orientasi duniawi disamping
akhirat, juga membuat umat Islam produktif dalam bidang ekonomi dan peradaban
pada zaman klasik tersebut. Mesir, Suriah, Irak dan Persia pada waktu itu
menjadi pusat perdangangan di Timur Tengah. Kemajuan juga ada dalam bidang
pertanian.
Pada periode
klasik ini, dalam bidang sains juga mengalami kemajuan yang pesat. Ilmu
kedokteran, Kimia, Matematika, Astronomi dan ilmu-ilmu lain. Ulama-ulama klasik
bukan hanya produktif dalam soal keduniaan. Sejalan dengan sikap tidak
meninggalkan hidup spiritual, ilmu agama juga berkembang pada zaman itu,
seperti Ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah, Tasawuf dan lan-lain.
Demikianlah
teologi sunnatullah zaman klasik dengan pemikiran rasional agamais, filosofis
dan ilmiahnya, yang membuat ulama dan umat Islam produktif dalam hidup
keduniawian di bidang politik, ekonomi, industry, pertanian, sains. Juga
produktif dalam bidang hidup keakhiratan di bidang akidah, teologi, tafsir,
filsafat, tasawuf dan lain-lain.
b. Periode Pertengahan
Teologi
sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik tidak
dapat dipertahankan oleh umat Islam dan gantikan oleh teologi kehendak mutlak
Tuhan (Jabariyah atau Fatalisme) yang besar pegaruhnya bagi umat Islam di
dunia, mulai dari pertengahan abad 12 sampai zaman kita sekarang ini.
Ciri-ciri
teologi fatalisme itu adalah:
1. Kedudukan akal yang
rendah
2. Ketidak bebasan manusia
dalam kemauan dan perbuatan.
3. Kebebasan berpikir yang
diikat banyak dogma.
4. Ketidak percayaan pada
sunnatullah dan kausalitas.
5. Terikat pada arti
tekstual dariAL-Quaran dan Hadis
6. Statis dalam sikap dan
berfikir.
Sikap-sikap
yang dimiliki oleh orang-orang berteologi fatalisme itu mempengaruhi umat
secara umum. Di kalangan mereka terdapat sikap lebih mementingkan hidup
spiritual dan sikap tawakal serta menunggu dengan sabar datangnya rahmat Tuhan.
Sikap ini di kalangan awam di perkuat lagi oleh paham fatalisme dengan teologi
kehendak mutlak Tuhan. Akibatnya berbagai sektor yang sebelumnya sangat maju
pada periode klasik menjadi sangat mundur. Produktifitas ulama dan umat Islam
periode pertengahan statis jalan ditempat.
c. Periode Modern
Abad ke 19,
dimana orang Eropa yang dahulu mundur sekarang terlah maju itu, datang ke Dunia
Islam. Dunia Islam terkejut dan tidak menyangka bahwa Eropa yang telahmereka
kalahkan pada Periode Klasik dahulu, pada zaman modern menguasai mereka.
Kerajaan turki utsmani, adikuasa pada zaman pertengahan mulai mengalami
kekalahan-kekalahan dalam peperangannnya di Eropa. Napoleon Bonaparte dalam
waktu tiga minggu mampu menguasai seluruh Mesir pada 1798 M. Inggris memasuki
India dan menghancurkan kerajaan Mughal pada 1857 M.
Hal ini membuat
ulama-ulama abad ke 19 merenungkan apa yang perlu mereka dilakukan umat Islam
untuk mencapai kemajuan kembali seperti zaman Islam klasik dulu. Maka lahirlah
tokoh pembaharuan di Mesir seperti Al-Thahtawi, Jamaluddin Al Afgani dan
Muhammad Abduh. Di Turki ada Mehmet Shidik Rifat, Nemik Kamal dan Zia Gokalp. Di
India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali. Pakistan ada Muhammad Iqbal. Semua
pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan umat Islam harus
menghidupkan lagi pemikiran rasional agamis zaman klasik dengan perhatian yang
besar pada sains dan teknologi.
Teologi ini
sangat besar pengaruhnya terhadap umat Islam di Indonesia sejak semula. Banyak
umat Islam indoensia yang sangat percaya bahwa nasib secara mutlak terletak di
tangan Tuhan. Manusia tak berdaya dan hanya menyerah kepada qadha dan qadar
Tuhan.
Dalam hal ini,
ada dua obsesi Harun yang paling menonjol.
Pertama,
bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait
dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh
pengakuan atas kapasitas manusia qadariah.
Harun sering
menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat
dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada
takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal
dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan
Al-Quran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi
dalam tradisi intelektual dan akademis cosmopolitan (Barat). Tapi, sesungguhnya
hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan.
Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filusuf Islam,
termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia Tasawuf, membuat Ia dapat
merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat
Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya
ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harus berdasarkan
pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu
sendiri.
Harun
meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya,
dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan
mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran
yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir berada dalam kelompok ini.
Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah
dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada
dalam kelompok ini. Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam
Rasional, yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad
SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa
direformasi. Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit
banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama,
semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya.
Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit.
Harun juga
secara revolusioner merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar ilmu
agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian
pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset.
Menurut dia, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus diubah
karena hal itu membuat pikiran mahasiswa jumud.
Berbagai
gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode
ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan Mu'tazilah
dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari
karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun
tetap melaju membumikan Islam.
C.
Kesimpulan
Islam merupakan agama yang sesuai dimanapun dan
kapanpun. Di zaman rasional ini pemeluk agama islam juga harus dapat
menempatkan diri dengan benmasyar. Harun Nasution dengan perjuangan panjangnya
telah mendobrak kebudayaan tradisional islam yang banyak dianut umat muslim
Indonesia.
Daftar Pustaka
Harun Nasution, Islam Rasional, 1996, Mizan. Jakarta.
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Mu’atazillah, 1987, UI Press, Jakarta.
http://imajialiardianto.blogspot.com/2011/03/teologi-islam-rasional-dalam-pemikrian
.html diakses pada 14.10, 14/11/2011
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !