Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » Pancasila dalam Perspektif Al-Qur'an

Pancasila dalam Perspektif Al-Qur'an

PANCASILA DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
Akhir-akhir ini banyak bermunculan upaya-upaya yang dilakukan baik oleh golongan yang pro maupun yang kontra terhadap keberadaan Pancasila. M. Syafi’i Anwar mengklasifikasikan paradigma pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum muslimin, yang masing-masing memiliki pandangan tersendiri tentang Islam sebagai dasar negara Indonesia. Pertama, Substantif-Inklusif, yang memandang dan meyakini bahwa Islam sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang berhubungan dengan politik, apalagi kenegaraan. Kedua, Legal-Eksklusif, yang memandang dan meyakini bahwa Islam bukah hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia.
Dua kelompok besar ini juga tampak secara jelas di negara Indonesia. Satu kelompok yang berupaya keras untuk mempertahankan agar Pancasila tetap menjadi pondasi NKRI, dan kelompok lainnya getol dan rutin selalu mengobarkan semangat tentang konsep negara Islam (dan al-Qur’an) sebagai pilar negara Indonesia.
Makalah ini mencoba untuk memaparkan secara singkat tentang Pancasila dalam pandangan Islam, pandangan Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI, pandangan Islam terhadap kesanggupan Pancasila dalam menjawab problematika bangsa, dan konsepsi Islam dalam penerapan ideologi bangsa.
a. Pancasila dalam pandangan Islam
Dalam suatu negara dibutuhkan suatu tata aturan yang bisa mengakomodir seluruh masyarakat di bawah naungan negara tersebut.
Demikian halnya dengan Indonesia sebagaimana kita ketahui bersama dalam sejarah bahwa sejak lama Pancasila telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia. Pancasila dirasa sangat sesuai dan tepat untuk mengakomodir seluruh ras, suku bangsa, dan agama yang ada di Indonesia. Hal ini dibuktikan bahwa sila-sila Pancasila selaras dengan apa yang telah tergaris dalam al-Qur’an.
Ketuhanan Yang Maha Esa. al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan (misalkan QS. al-Baqarah: 163). Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata. Namun, dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kedua ini mencerminkan nilai kemanusiaan dan bersikap adil (Qs. al-Maa’idah: 8). Islam selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam.
Persatuan Indonesia. Semua agama termasuk Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersatu dan menjaga kesatuan dan persatuan (Qs. Ali Imron: 103).
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Pancasila dalam sila keempat ini selaras dengan apa yang telah digariskan al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam selalu mengajarkan untuk selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan (Shaad: 20) dan selalu menekankan untuk menyelesaikannya dalam suasana demokratis (Ali Imron: 159).
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila yang menggambarkan terwujudnya rakyat adil, makmur, aman dan damai. Hal ini disebutkan dalam surat al-Nahl ayat 90.
Namun, di sisi lain Hizbut Tahrir Indonesia (Zahro, 2006:98-99) secara tegas menolak keabsahan UUD 1945. Asas demikrasi yang dianut oleh UUD 1945 merupakan titik awal penolakan mereka terhadap UUD 1945 dan Pancasila. Mereka memandang UUD 1945 dan Pancasila tidak sesuai dengan nurani ajaran al-Qur’an. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
1. Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang berwenang untuk menetapkan hukum atas segala perbuatan adalah akal manusia. Hal ini sangat bertentangan dengan Islam, di mana yang berwenang menetapkan segala hukum adalah Allah, bukan akal.
2. Akidah yang melahirkan ide demokrasi adalah akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Akidah ini memang tidak mengingkari eksistensi agama, namun ia menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Konsekuensinya adalah akidah ini memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan kehidupannya sendiri.
3. Ide pokok demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat sebagai sumber kedaulatan, menyebabkan rakyat dapat menetapkan konstitusi, peraturan dan undang-undang apapun berdasarkan pertimbangan mereka sesuai dengan kemaslahatan yang mereka perlukan. Dengan begitu, rakyat melalui para wakilnya berhak melegalkan perbuatan murtad, keyakinan paganisme atau animisme, perzinahan, homoseksual, dan perbuatan lainnya yang diharamkan oleh syari’at Islam.
4. Asas nasionalisme yang terkandung pada UUD 1945 merupakan bagian dari ta’assub (kefanatikan) yang dilarang dalam Islam. Semua aktivitas politik umat Islam seharusnya ditujukan untuk kejayaan Islam dan umatnya secara universal. Nasionalisme secara tidak langsung memecah-belah kesatuan teritorial Islam yang universal.
b. Pandangan Islam terhadap Daulah Khilafah Islam di NKRI
Dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia, Islam harus dijalankan secara kaffah, menyeluruh, total dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka memandang bahwa penegakkan syari’at Islam tidak dapat ditunda-tunda lagi. Ia harus mutlak dan segera untuk diterapkan. Untuk itu, Hizbut Tahrir tidak mengenal adanya tadarruj (penahapan) dalam proses penerapan syari’at Islam dalam suatu wilayah muslim. Hal ini didasarkan pada Qs. al-Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Hizbut Tahrir memandang bahwa setelah turunnya ayat ini, kaum muslimin dituntut secara global untuk melaksanakan dan menerapkan seluruh hukum Islam secara penuh.
Menurut Hizbut Tahrir, kegamangan negara-negara muslim dalam mengaplikasikan hukum-hukum Islam secara kaffah sebagaimana konsep mereka di atas, adalah disebabkan oleh pengaruh-pengaruh ideologi penjajah Barat yang berupa sosialisme, kapitalisme dan demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa pendirian Daulah Islamiyah merupakan syarat yang utama untuk melestarikan dan menjamin berlakunya hukum Islam secara kaffah. Tanpa itu, maka syari’at Islam tidak dapat lestari dan terjamin penerapannya dalam setiap aspek kehidupan. Daulah Islamiyah itu sendiri mempunyai beberapa aspek pokok yaitu: al-Khalifah, al-Mu’awinun (para pembantu Khalifah), al-Wulat (para Gubernur), al-Qudat (para hakim), al-Jihaz al-Idary (aparat administrasi negara), al-Jaisy (angkatan bersenjata) dan Majlis al-Shura. Kesemua aspek-aspek pokok dalam Daulah Islamiyah tersebut harus ada secara sempurna. Namun jika salah satu dari aspek-aspek Daulah Islamiyah tersebut tidak ada, maka hal tersebut tidak menjadi masalah selama sang Khalifah masih ada, karena menurut Hizbut Tahrir, Khalifah tunggal merupakan aspek yang utama dalam pendirian Daulah Islamiyah, tanpanya Daulah Islamiyah tidak bisa berdiri. (Zahro, 2006: 97-98)
Namun, satu kesulitan terbesar yang akan dihadapi oleh konsep Daulah Islamiyah adalah negara Indonesia yang majemuk, yang hidup didalamnya berbagai ras, suku bangsa dan agama. Sehingga ketika Daulah Islamiyah benar-benar diterapkan dan konsekuensinya adalah aturan-aturan dan perundang-undangan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits pun diaplikasikan, maka yang terjadi adalah tabrakan dan benturan pemahaman antara Islam dengan agama-agama lain, yang mana hal ini akan semakin memicu permasalahan yang semakin besar.
Islam dalam pandangan yang lebih egaliter menilai bahwa Pancasila mampu untuk mengakomodir berbagai bentuk keanekaragaman di Indonesia. Dalam semua sila Pancasila berbagai etnis bangsa dapat terayomi. Demikian halnya dengan agama-agama yang ada di Indonesia. Dan hendaknya Pancasila dipelajari dengan penuh penghayatan, bukan hanya sekedar menjadi hapalan wajib saja.
al-Qur’an menjelaskan bahwa hidup adalah untuk berta’abbud, beribadah kepada Yang Maha Esa (Qs. ad-Dzariyat: 56). Pengejawantahan ta’abbud ini tidak hanya dilakukan dalam ritual resmi sholat saja, melainkan dalam berbagai bidang kehidupan harus dilandasi dengan tujuan ta’abbud. Sehingga ketika kehidupan dijalani dengan ikhlas untuk berta’abbud, maka konsekuensinya adalah keadilan terhadap diri sendiri, keadilan terhadap sesama, keadilan terhadap alam; kejujuran dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan; selalu berusaha untuk menciptakan rasa kedamaian, kerukunan, kesatuan dan persatuan; yang pada dasarnya Islam mengajarkan untuk selalu bersikap tawazzun, seimbang dalam segala hal.
Hal ini selaras dengan apa yang tercermin dalam sila Pancasila. Sila ketuhanan Yang Maha Esa menjadi core dari semua sila Pancasila lainnya. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab diterapkan dengan dilandasi oleh sila pertama. Sila persatuan Indonesia harus dilaksanakan atas dasar sila pertama. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan juga dilandasi oleh sila pertama. Dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pun demikian (Tafsir, 2007).
Dengan demikian Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan Indonesia, sehingga tidak mungkin dipaksakan konsep khilafah untuk diterapkan di negeri ini. Indonesia bukan negara Islam, dan Islam pun tidak memerintahkan untuk menciptakan negara Islam. Nabi Saw. telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada kita tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah. Bahkan dalam suatu sabda beliau: Antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengerti tentang urusan dunia kalian). Mengenai urusan keduniaan kita diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi oleh ta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini niscaya kehidupan yang kita jalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.
Rujukan:
  • Zahro, Ahmad, at. al., Antologi Kajian Islam, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006.
  • Tafsir, Ahmad. Filasafat Ilmu, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2007.


PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting karena tanpa melalui pendidikan proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji. Karena tanpa melalui proses ini pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah.
Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.
Islam juga menekankan akan pentingnya membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini. Membaca, menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena hanya manusia makhluk yang memiliki akal dan hati. Selanjutnya dengan kelebihan akal dan hati, manusia mampu memahami fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya, termasuk pengetahuan. Dan sebagai implikasinya kelestarian dan keseimbangan alam harus dijaga sebagai bentuk pengejawantahan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh.
Dalam makalah ini akan dipaparkan pandangan Islam tentang pendidikan, pemerolehan pengetahuan (pendidikan), dan arah tujuan pemanfaatan pendidikan.
Pendidikan Menurut al-Qur’an
al-Qur’an telah berkali-kali menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an bahkan memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi. al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:
6
…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”.
al-Qur’an juga telah memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122 disebutkan:
7
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Dari sini dapat dipahami bahwa betapa pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan pengetahuan manusia akan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang membawa manfaat dan yang membawa madharat.
Dalam sebuah sabda Nabi saw. dijelaskan:
8
Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya untuk mendapatkan pengetahuan. Yaitu, kewajiban bagi mereka untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Islam menekankan akan pentingnya pengetahuan dalam kehidupan manusia. Karena tanpa pengetahuan niscaya manusia akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang tersesat, yang implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di hari akhirat.
Imam Syafi’i pernah menyatakan:
9
Barangsiapa menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu”.
Dari sini, sudah seyogyanya manusia selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu pengetahuan dengan terus berusaha mencarinya hingga akhir hayat.
Dalam al-Qur’an surat Thahaa ayat 114 disebutkan:
10
Katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.”
Pemerolehan Pengetahuan dan Objeknya (Proses Pendidikan)
Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian dia belajar: mula-mula melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan panca indranya sebagai jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat diindra kepada yang abstrak, dan dari yang dapat dilihat kepada yang dapat difahami. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam teori empirisme dan positivisme dalam filsafat. Dalam firman Allah Q.s. an-Nahl ayat 78 disebutkan:
12
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.[1]
Dengan pendengaran, penglihatan dan hati, manusia dapat memahami dan mengerti pengetahuan yang disampaikan kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua makhluk sesuai dengan kehendak dan kekuasaannya. Dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 13 disebutkan:
13
Dan dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Namun, pada dasarnya proses pemerolehan pengetahuan adalah dimulai dengan membaca, sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5:
14
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[2]
Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101 disebutkan:
15
Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi”.
Al-Qur’an membimbing manusia agar selalu memperhatikan dan menelaah alam sekitarnya. Karena dari lingkungan ini manusia juga bisa belajar dan memperoleh pengetahuan.
Dalam al-Qur’an surat asy-Syu’ara ayat 7 juga disebutkan:
16
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?”.
Demikianlah, al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan bacaan yang tepat.[3]
Namun, pengetahuan tidak hanya terbatas pada apa yang dapat diindra saja. Pengetahuan juga meliputi berbagai hal yang tidak dapat diindra. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat Al-Haqqah ayat 38-39:
17
Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak kamu lihat (39)”.
Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam al-Qur’an surat Al-Nahl ayat 8 disebutkan:
18
Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”.[4]
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, namun juga semua pengetahuan yang dapat menyelamatkannya di akhirat kelak.
Islam mengehendaki pengetahuan yang benar-benar dapat membantu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia. Yaitu pengetahuan terkait urusan duniawi dan ukhrowi, yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Pengetahuan duniawi adalah berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan urusan kehidupan manusia di dunia ini. Baik pengetahuan moderen maupun pengetahuan klasik. Atau lumrahnya disebut dengan pengetahuan umum. Sedangkan pengetahuan ukhrowi adalah berbagai pengetahuan yang mendukung terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia kelak di akhirat. Pengetahuan ini meliputi berbagai pengetahuan tentang perbaikan pola perilaku manusia, yang meliputi pola interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Atau biasa disebut dengan pengetahuan agama.
Pengetahuan umum (duniawi) tidak dapat diabaikan begitu saja, karena sulit bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui kehidupan dunia ini yang mana dalam menjalani kehidupan dunia ini pun harus mengetahui ilmunya. Demikian halnya dengan pengetahuan agama (ukhrowi), manusia tanpa pengetahuan agama niscaya kehidupannya akan menjadi hampa tanpa tujuan. Karena kebahagiaan di dunia akan menjadi sia-sia ketika kelak di akhirat menjadi nista.
Islam selalu mengajarkan agar manusia menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dhohir maupun batin, keseimbangan dunia dan akhirat. Dalam Qs. Al-Mulk ayat 3 disebutkan:
19
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang! Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.
Dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 8 juga disebutkan:
20
Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran”.
Dari sini dapat dipahami bahwa Allah selalu menciptakan segala sesuatu dalam keadaan seimbang, tidak berat sebelah. Demikian halnya dalam penciptaan manusia. Manusia juga tercipta dalam keadaan seimbang. Dari keseimbangan penciptaannya, manusia diharapkan mampu menciptakan keseimbangan diri, lingkungan dan alam semesta. Karena hanya manusia yang mampu melakukannya sebagai bentuk dari kekhalifahan manusia di muka bumi.


 
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved