Berita Terbaru :
 photo Graphic1-31_zpsc1f49be2.jpg
Home » » Andrew Rippin Dan William Montgomery Watt

Andrew Rippin Dan William Montgomery Watt

I.         Pendahuluan
Usaha memahami makna al-Quran muncul sejak ayat-ayatnya diterima Nabi Muhammad pada tahun 610 M. usaha pemahaman tersebut kemudian dikenal dengan tafsir, yaitu studi yang teratur memahami makna al-Quran. Mulai huruf  per huruf, kata per kata, kalimah per kalimah, hingga surah per surah. Ada yang melakukannya dengan tafisr ayat dengan ayat , ada juga ayat dengan hadis. Adapula dengan  pendekatan pemikiran  (bi al-ra’yi), namun dalam pendekatan modern, tafsir kemudian berkembang seiring dengan perhatian non-muslim atau terutama barat (orientalis) dalam studi tafsir. Terma-terma serta konsep-konsep yang digunakan tentu juga muncul berdasarkan pengalaman, tradisi, dan pengetahuan mereka itu. Teori, pendekatan, dan metodologi Barat, serta jargon dan terminologinya, kemudian tidak terhindarkan.
Makalah ini akan membahas bagaimana orientalis dalam islam studies. Terutama dalam hal ini akan dibahas dua sosok orientalis yaitu Andrew Rippin dan
II.      Pembahasan
A.    Tokoh orientalis
1.      Andrew Rippin
a.       Sekilas tentang
Andrew Rippin adalah seorang mahasiswa di University of Toronto di sana  ia mendapat gelar BA pada tahun 1974 dan 3 tahun kemudian dia berhasil menyelesaikan magisternya dalam bidang kajian Islam dengan desertasi dengan judul The Quranic asbabu nuzul material (bahan asbabun nuzul al-Quran). Rippin berhasil memperoleh gelar P.Hd dalam bidang kajian tafsir di Universitas Mc Gill pada tahun 1981.
Sejak itu, Rippin amat produtif dalam bdang studi islam serta al-Quran dan sejarah penafsirannya. Dalam banyak pertemuan ilmiah di luar kampus tempat kerjannya, Rippin cukup aktif, baik sebagai anggota ataupun sebagai pengurus berbagai organesiasi professional dan keilmuan. Rippin banyak menerima award dari social sciences n humaties of Canada.[1]
a.       Metodologi dan pendekatan Andrew Rippin
Rippin dalam penelitiannya menggunakan metodologi analisis literer sebagaimana gurunya wonsbrough, dia, pada sebagian besar karyanya senang meneliti satu konsep atau terma tertentu. Umpamanya kata نحن atau kami atau وجه الله  dalam al-Quran, namun demikian berbeda dari analisis maudlu’I. Rippin mendekati suatu kata berdasarkan karya historisitas penulis muslim awal. Kendati hanya pada literature yang hanya dia dapat akses (maksudnya tentu masih banyak karya yang belum tersingkap atau terakses olehnya. Dia juga membatasi dirinya pada karya-karya Arab kalautoh ada dari Persia hanya segelintir saja, bahasa Turki dan bahasa muslim lainnya belum sempat ia gunakan.
Salah satu artikel Rippin adalah tentang fungsi asbabun nuzul dalam tafsir al-Quran (1988), dia menelusuri apakah asbabun nuzul itu mengikuti pola haggadig atau halakhiq dengan mengaplikasikan pendekatan analisis litere terhadap naratif asbabun nuzul. Kesimpulannya adalah fungsi utama asbabun nuzul itu dalam teks tafsir bukanlah bentuk halakhiq namun peran utama bahan-bahan tersebut ditemukan dalam bentuk haggadig yaitu, asbabun nuzul berfungsi untuk menyediakan interpretasi tentang satu ayat dalam sebuah kerangka naratif.
Karya terakhir yang dapat di elaborasi adalah nilai puisi permainan kata-kata dalam al-Quran karya Rippin (1994), ini juga menggunakan analisis literer tapi, kali ini lebih kepada bagaimana permainan kata-kata ini membawa pesan terhadap pembaca al-Quran. Dan melihat bagaimana memahami suara music yang bercampur dengan suara argumentasi dalam teks itu, dengan kata lain apakah permainan kata-kata itu produktif dalam melahirkan diskursus yang bersifat Qurani? Dalam tulisan ini, Rippin mendekati permasalahan dengan memilih kata-kata yang punya makna ganda padahal diletakkan dalam satu ayat umpamanya, kata السّاعة QS. 30: 55, yang bisa bermakna waktu biasa tetapi juga bisa bermakna hari kiamat. Rippin berkesimpulan bahwa kata-kata dalam al-Quran itu tentu saja sebuah fenomena yang merupakan bagian dari proses temuan pembaca terhadap al-Quran dan contoh-contoh yang dikemukakan tersebut merupakan suatu tekanan retorika dalam teks. Jadi retorikal analisis juga digunakan. Bagaimana cara sebuah kata dianalisis merupakan bagian dari makna yang disampaikannya serta pesan ditekankan melalui fokabolari yang digunakannya, hal ini menggaris bawahi bahwa kata-kata itu pada kenyataanya dapat menghantarkan makna hanya melalui konteks. Sebaliknya kesederhanaan pertanyaan sebuah permainan kata-kata tersebut dalam al-Quran sering dibutuhkan ketika menanyakan soal produktifitasnya. Permainan kata bukanlah landasan utama bagi elaborasi negative yang Qurani.[2]
b.      Andrew Rippin “Kritik Kodifikasi al-Quran”
Andrew Rippin mengamini pendapat Wansbrough bahwa kanonisasi teks al-Quran terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis yang menyatakan tentang himpunan al-Quran harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikuti model periwayatan teks orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci Ibrani.
Masih menurut keduanya, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Quran baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi Rippin mengatakan, Al-Quran tidak diturunkan kepada satu orang, tetapi merupakan kumpulan atau pengeditan oleh sekelompok orang selama beberapa abad.[9] Jadi, al-Quran yang kita baca sekarang tidak sama dengan apa yang ada pada abad ke 7M. kemungkinan merupakan hasil abad 8M dan 9M.
Akibatnya tahap pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa Muhammad, namun berkembang selama 200-300 tahun berikutnya. Sumber-sumber materi bagi periode ini, sangat sedikit. Dan di luar dugaan, semua sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum 750 M tidak ada dokumen yang bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode pembentukan Islam ini. Periode klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari sudut pandangnya sendiri, seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yang cenderung mengingat hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini bersifat tidak obyektif dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik.
Menurut Rippin, muslim ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi ilahi lewat Jibril selama periode 22 tahun, masa yang menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya membentuk Islam. Tetapi hal ini diragukan, kata Rippin, bahwa pada abad ke 7, Islam, sebuah agama yang terdiri dari hukum dan tradisi yang njlimet dibentuk dalam sebuah budaya nomad terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 tahun. Wilayah Arabia sebelumnya tidak dikenal sebagai dunia beradab. Periode ini bahkan dicap sebagai periode jahiliyah. Wilayah Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki budaya maju, apalagi infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan keadaan yang mendukung pembentukan Islam. Jadi, bagaimana Islam diciptakan secepat dan serapih itu? Dalam lingkungan padang pasir yang terbelakang lagi.
2.      William Montgomery Watt
a.       Sekilas tentang Watt
Perlu kita ketahui bahwa tidak semua orientalis berpandangan miring terhadap islam terbukti sebagaimana William Montgomery Watt. Watt seorang orientalis asal skotlandia. Ia pernah mendapat gelar Emiritus Professor sebuah penghormatan tertinggi bagi ilmuan yang diberikan oleh Edinburgh Universiti. Gelar ini diberikan kepada Watt atas keahliannya dalam bidang Islamic student. Dulu dia adalah seorang dosen filsafat di Universitas Edinburgh. Beliau adalah peneliti terkenal dan karena itu ia memiliki karya-karya  yang berhasil ia ciptakan, di antaranya;free will and predestination in early islam (tesis 1947) dan lain-lain.[3]
Buku dari karyanya yang lain yang membahas tentang islam adalah Islamic Refelation in the modern world, buku ini tidak semata-mata akademis tetapi juga mengandung unsure personal atas refleksi terhadap pengamatannya tentang islam dan Kristen, beliau mencermati apa yang terjadi pada kedua agama itu. Watt tertarik dengan islam berawal dari bertemunya ia dengan mahasiswa dari lahor yang menganut ahmadiah Qadian yang sangat argumentative, melalui inilah ia sadar bahwa dirinya tidak hanya berhadapan secara personal tetapi juga dengan seluruh system pemikiran klasik.[4]
b.      Konsep wahyu
Penjelasan Watt tentang wahyu bertolak dari pemahamannya tentang ayat-ayat al-Quran tentang wahyu. Karena itu pandangannya dalam hal ini tidak jauh beda dengan apa yang dipahami oleh umat islam. Bagi islam Al-Quran adalah kitab yang diwahyukan kepada Muhammad melalui malaikat. Al-Quran bukanlah kata-kata Muhammad tetapi kata-kata tuhan. Muhammad tidak lebih dari seorang utusan yang ditunjuk untuk membawa pesan itu.
Watt mencoba menguji data al-Quran secara historis dan mendeskripsikan beberapa ayat yang menurutnya cukup membuktikan tentang kebenaran al-Quran dengan melihat pengalaman Muhammad dalam menerima wahyu. Dari surat 53 ayat 2-18, watt memahami bahwa al-Quran memang menyebut dua bentuk peristiwa nabi dalam melihat bayangan. Dalam ayat tersebut sebagai mana juga dalam surat 81 ayat 24,  Watt mengajak untuk memperhatikan kata ‘abd (hamba). Kata ini membawa pada pengertian tentang hubungan manusia dengan tuhan. Tetapi kata ini juga dapat dipahami tentang hubungan manusia dan malaikat. Ini menunjukkan adanya perubahan hal-hal spiritual-spiritual dalam pikiran Muhammad dan orang islam. Awalnya mereka berasumsi bahwa Muhammad melihat allah. Tetapi karena tidak mungkin, disimpulkan bahwa itu bayangan malaikat. 
Di samping itu, kata wahy juga sering dipahami untuk mengungkapkan pengalaman Muhammad dalam bahasa arab kata ini menjadi istilah tehknis teologis. Kata ini dipakai untuk bentuk komunikasi yang istimewa tetapi tidak terbatas untuk itu. Selain kata wahyu, kata kerja yang mengandunmg makna mewahyukan adalah kata nazala yang berarti menurunkan. Kata ini mengandung pengertian bahwa ada utusan yang mrmbawa pesan dari tuhan kepada nabi.
Yang jelas bagi Watt,  pengalaman Muhammad dalam menerima wahyu sangat beragam. Pertama Muhammad sadar bahwa kata-kata itu  hadir dalam hati atau pikiran yang sadar. Kedua, ayat tersebut bukan hasil pemikiran sadar Muhammad dan ketuka ayat itu ditempatkan dalam pikiran ya oleh malaikat. Karena itu Muhammad percaya bahwa kata-kata itu berasal dari tuhan[5].
Permasalahan yang sering dikedepankan oleh orang modern adalah bagaimana kat-kata itu dating dalam kesadaran Muhammad. Watt memang menerima bahwa al-Quran bukanlah hasil berbagai proses pemikiran alam sadar. Bagi  orang modern jawaban yang paling mudah adalah bahwa kata-kata itu dating dari alam bawah sadar Muhammad. Pandangan ini bias dikombinasikan dengan pandangan islam tradisional yang menganggap bahwa malaikat-malaikat memasukkan kata-kata itu kealam bawah sadar Muhammad, dan bahwa dari alam bawah sadar inilah ayat-ayat itu muncul dalam alam bawah sadar Muhammad.
Dengan mengambil konsep tentang Collektfe unconscious sebagaimana yang digagas oleh jung, Watt berpendapat bahwa wahyu baik dalam pandangan yahudi, Kristen, maupun islam adalah kandungan yang muncul dari alam bawah sadar. Berdasarkan teori alam sadar ini Watt membenarkan gagasan bahwa agama berasal dari sumber yang sama.
Ada hal yang harus diperhatikan dalam konsep kolektif unscouncious ini yakni bahwa ada bagian yang bekerja sebagai pengfungsian alam bawah sadar yakni life-energi (kemampuan untuk hidup). Tanpa ini kreatifitas tuhan yang diberikan kepada manusia melalui alam bawah sadar tidak akan berfungsi karena itu, kreatifitas tuhan melalui alam bawah sadar. Alam bawah sadar disebut sebagai agen antara seorang figure yang dikehendaki dengan sumber zat yang transenden. Karena alam bawah sadar merupakan bagian dari pengfungsian energy hidup (life energy). Maka yang menyebabkan manusia berkembang adalah daya yang menggerakkan alam bawah sadar itu. Di samping alam sadar dan alam bawah sadar ada hal lain yang menyebabkan manusia atau seorang figure bias berkomunikasi dengan zat transenden. bagi Watt unsure itu adalah ketidakpuasan (unsatis factori) dalam hidup. Karena ketidak puasan inilah life energy menuntut ide-ide muncul dibawah alam bawah sadar. Dengan demikian perpaduan akan ketiga hal itu yakni alam sadar, alam bawah sadr, dan ketidakpuasan yang digerakkan oleh suatu life energy membawa seseorang hidup lebih sempurna. Inilah yang dimaksud Watt bahwa orang bias berhubungan dengan zat yang transenden hanya dengan collektif unsconcious.[6]

III.   Penutup
Untuk mengahiri tulisan ini penulis mencoba menyimpulkan dari berbagai pemaparan diatas bahwa Andrew Rippin adalah seorang orientalis yang mempunyai pandangan miring tentang islam akan tetapi terlepas dari semua itu bahwa ia juga mengajarkan kepada kita bagaimana menggunakan khazanah peninggalan intelektual muslim secara kritis sambil mengaplikasikan dan mengkritisi analisis orientalis yang lain. Sedangkan bagi Watt itu sendiri ia lebih menyeimbangkan antara islam dan Kristen dalam masalah keagamaan, ia tidak terlalu pedas ketika mengkritisi kajian-kajian keislaman bahkan ketika orienyalis lain menghujat nabi Muhammad justru ia membelanya.

DAFTAR PUSTAKA
Andrew Rippin, “The Function of Asbab an-Nuzul Qur’anic Exegesis”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006, h. 82
Andi Faisal Bakti, “Paradigma Andrew Rippin”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006, h. 82
Abd al-Wahid, islam and orientalism, penterjemah machnun husein (Jakarta; Raja grafindo Persada, 1994), hal 12
http//088_masduki.Pdf
Montogomeri Watt, muslim Christian encousters; perception and Misperseption,  penterj. Zaimuddin (Jakarta; media pratama, 1996), hal 3
Al-Fikra Jurnal ilmiah keislaman, Vol7, no, 2, Juli-desember 2008



[1] Andrew Rippin, “The Function of Asbab an-Nuzul Qur’anic Exegesis”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006, h. 82
[2] Andi Faisal Bakti, “Paradigma Andrew Rippin”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006, h. 82
[3] Abd al-Wahid, islam and orientalism, penterjemah machnun husein (Jakarta; Raja grafindo Persada, 1994), hal 12
[4] http//088_masduki.Pdf
[5] Montogomeri Watt, muslim Christian encousters; perception and Misperseption,  penterj. Zaimuddin (Jakarta; media pratama, 1996), hal 3
[6] Al-Fikra Jurnal ilmiah keislaman, Vol7, no, 2, Juli-desember 2008


 
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Next Prev home
 
Support : Creating Website | Mas Imam
Copyright © 2009. GREEN GENERATION - All Rights Reserved